EPISTEMOLOGI FRANCIS BACON
DAN
RELEVANSINYA BAGI ILMU PENDIDIKAN ISLAM
Oleh : Agus Suroyo, S.Pd.I
“Sedikit filsafat
dapat membawa orang kepada ateisme, namun filsafat yang mendalam membawa orang
kepada agama”
(Sir Francis Bacon)
A.
PENDAHULUAN
Jika kita ingat mata kuliah Pengantar Filsafat atau
Filsafat Umum pasti kita pernah mendengar istilah-istilah seperti ontology,
epistemology, ontology, etika, estetika, ataupun metafisika.
Beberapa istilah tersebut merupakan cabang dari filsafat. Diantara
istilah-istilah di atas yang akan penulis bahas pada makalah ini adalah
epistemology. Lalu apa itu epistemology?
Epistemologi lazimnya disebut teori pengetahuan yang
secara umum membicarakan mengenai sumber-sumber, karakteristik, dan kebeneran
pengetahuan.[1] Istilah epistemology
berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu episteme (pengetahuan) dan logos
(kata, pikiran, percakapan, atau ilmu). Jadi epistemology berarti kata,
pikiran, percakapan tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan.[2]
Persoalan-persoalan yang akan dibahas dalam
epistemology meliputi: Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu? Dari mana
pengetahuan itu dapat diperoleh? Bagaimana validitas pengatahuan itu dapat
dinilai? Apa perbedaan anatara pengetahuan a priori (pengetahuan pra
pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna
pengalaman).[3]
Pada makalah yang sederhana ini penulis akan membahas
epistemology induktivisme Francis Bacon dan relevansinya bagi Ilmu Pendidikan
(Islam). Pada makalah ini akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan:
1. Bagaimana
epistemology Induktivisme Francis Bacon itu?
2. Bagaimana
relevansi epistemology Induktivisme Francis Bacon bagi Ilmu Pendidikan Islam?
B.
RIWAYAT HIDUP FRANCIS BACON
Sebelum membahas epistemology Bacon terlebih dahulu
akan penulis uraiakan sekilas tentang riwayat hidup Francis Bacon. Francis
Bacon (1561-1626) adalah seorang Filsuf Inggris yang terkenal sebagai pelopor
emperisme Inggris. Ia lahir pada 22 Januari 1561 di York House, London. Ayahnya, Lord Nicholas
Bacon, adalah seorang pejabat tinggi kerajaan Inggris.[4]
Pada usia 12 tahun, Francis Bacon telah belajar di Trinity
College, Cambridge University.[5]
Sesudah belajar di Cambridge, selama dua tahun ia diberi tugas pada kedutaan
besar Inggris di Paris. Kemudian ia masuk dalam bidang praktek hokum dan
menjadi anggota parlemen pada tahun 1584.[6]
Pada usia 23 tahun ia telah diangkat
menjadi anggota parlemen. Pada tahun 1618, James I mengangkat Francis Bacon
menjadi Lord Chancellor dan kemudian menjadi Viscount St. Albans.[7]
Francis Bacon juga pernah menjadi penasihat Essex.
Namun dalam perjalanan waktu Bacon turut serta menyiksa Essex ketika Essex
jatuh. Atas peristiwa ini, dia dikecam habis-habisan. Lytton Strachey,
misalnya, dalam bukunya Elizabeth and Essex menggambarkan Bacon sebagai
seorang monster penghianat dan tidak tahu terimakasih. Ia sangat tidak adil.
Dia bekerja dengan Essex ketika Essex loyal, tetapi meninggalkannya ketika
loyalitas pada Essex justru dikhianati, disini, zaman dengan moralitas paling
rigid sekalipun tidak bisa menyalahkannya.[8]
Meskipun meninggalkan Essex, dia tidak pernah
melakukannya dengan sepenuh hati disepanjang kehidupan Ratu Elizabet.
Namun demikian, dengan naiknya James,
prospeknya semakin cerah. Pada tahun 1617, dia mendapatkan jabatan yang pernah
diduduki ayahnya, Keeper of the Great Seal, dan pada tahun 1618 dia
menjadi Lord Chancellor. Tetapi setelah memegang jabatan penting selama
dua tahun, dia dituduh menerima suap dari para penggugat. Dia mengakui tuduhan
itu, tetapi beralibi bahwa hadiah-hadiah itu tidak pernah mempengaruhi
keputusan-keputusan yang dibuat Bacon berpihak pada penggugat. Dia
dipersalahkan untuk membayar denda ₤
40.000, dipenjara di Tower selama yang diinginkan raja, dibuang selamanya dari
kerajaan, dan dipecat dari jabatannya. Hukuman ini hanya dilaksanakan sebagaian
kecil saja. Dia tidak dipaksa untuk membayar denda dan dia dipenjara di Tower
hanya empat hari. Akan tetapi dia terpaksa meninggalkan kehidupan public, dan
menghabiskan sisa waktunya untuk menulis buku-buku penting.[9]
Francis Bacon selama hidupnya ia menekuni studi, dan
penuh perhatian akan dunia sekitarnya. Ia merencanakan dan menerbitkan beberapa
buku. Beberapa karyanya antara lain The Advancement of Learning (1606),
yang kemudian disadur kembali pada tahun 1623 dengan judul De Dignitate et
augmentis scientiarum (tentang perkembangan luhur ilmu-ilmu) sebagai bagian
pertama dari suatu karya raksasa yang direncanakannya namun tak pernah
diselesaikan yang berjudul umum Instauratio magna (Pembaharuan Besar).
Bagian kedua dari Instauratio itu sudah terbit pada tahun 1602, yaitu Novum
Organum (Organum Baru).[10]
Buku terpenting Bacon, The Advancement of Learning
dalam banyak hal sangat modern. Dia umumnya dipandang sebagai orang yang
pertama kali mengatakan “Ilmu pengetahuan adalah kekuasaan”, dan meskipun para
pendahulunya mungkin juga telah mengatakannya, dia mengungkapkannya dengan
penekanannya yng baru. Seluruh landasan filsafatnya bersifat praktis membuat
manusia bisa menguasai kekuatan-kekuatan alam dengan penemuan dan penciptaan
ilmiah.[11]
Francis Bacon termasuk tokoh aliran empirisme seperti
Thomas Hobbes, John Locke, David Hume, dan Herbert Spencer. Empirisme adalah
suatu aliran dalam filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh
pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri.[12]
C.
KRITIK FRANCIS BACON TERHADAP SILOGISME
ARISTOTELES
Aristoteles mengatakan bahwa ada dua metode yang dapat digunakan untuk
menarik kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru. Kedua metode
inidisebut metode induktif dan deduktif.
Induksi (epagogi) ialah cara menarik konklusi yang bersifat umum
dari hal – hal yang khusus. Adapun deduksi (apodiktik) ialah cara
menarik konklusi berdasarkan dua kebenaran yang pasti dan tidak diragukan, yang
bertolak dari sifat umum kek husus. Induksi berangkat dari pengamatan dan
pengetahuan inderawi yang berdasarkan pengalaman, sedangkan deduksi sebaliknya
terlepas dari pengamatan dan pengetahuan inderawi yang berdasarkan pengalaman
itu.[13]
Menurut Aristoles, deduksi merupakan metode terbaik untuk memperoleh
konklusi demi meraih pengetahuan dan kebenaran baru. Bentuk formal dari
penalaran deduktif adalah silogisme. Silogisme adalah suatu alat dan mekanisme penalaran
untuk menarik konklusi yang benar berdasarkan premis-premis yang benar.[14]
Silogisme, sebagai bentuk formal dari deduksi terdiri atas tiga proposisi.
Proposisi pertama dan proposisi kedua disebut premis, sedangkan proposisi
ketiga merupakan konklusi yang ditarik dari dua premis dan satu konklusi. Jadi,
setiap silogisme terdiri dari dua premis dan satu konklusi. Tiap-tiap
poposisi harus memiliki dua term. Jadi setiap silogisme haruslah memiliki enam
term. Akan tetapi, karena setiap term dalam setiap silogisme senantiasa disebut dua kali, sebenarnya dalam
setiap silogisme hanya ada tiga term. Apabila proposisi yang ketiga, yaitu
proposisi yang disebut konklusi, diperhatikan dengan seksama, pada proposisi
ketiga itu terdapat dua term dari ketiga term yang disebut tadi. Yang menjadi
subjek konklusi disebut term minor, dan yang menjadi predikat konklusi
disebut term mayor. Term yang terdapat pada kedua proposisi disebut term
tengah (terminus medius).[15]
Berikukut contoh silogisme :
Semua anjing adalah hewan berkaki empat (umum/universal)
Si hitam adalah seekor anjing (khusus/particular)
Si hitam
adalah hewan berkaki empat
Berbeda dengan Aristoteles yang lebih menekankan metode deduksi sebagai
metode terbaik dalam menemukan konklusi. Bacon adalah orang pertama dari
deretan filosof yang berorientasi ilmiah dan menekankan pentingnya induksi
sebagai lawan deduksi. Sebagaimana kebanyakan penerusnya, dia berusaha
menemukan suatu jenis induksi yang lebih baik dari pada apa yang disebut
“induksi dengan penjumlahan sederhana”.[16]
Menurut Bacon, logika silogistis
tradisional tidak sanggup menghasilkan penemuan-penemuan empiris. Ia mengatakan
bahwa silogistis tradisional hanya dapat membantu mewujudkan konsekuensi deduktif dari apa yang
sebenarnya telah diketahui. Agar
pengetahuan itu berkembang dan demi memperoleh pengetahuan yang benar-benar
berguna, konkret, dan praktis, metode deduktif harus ditinggalkan dan diganti
dengan metode induktif.[17] Sebagaimana pernyataan Bacon di bawah ini
:
As the
sciences which we now have do not help us in finding out new works, so neither
does the logic which we now have help us in finding out new sciences.[18]
Menurut Bacon logika (silogisme: red) yang
dipakai sekarang ini lebih banyak melestarikan kesalahan daripada membantu
manusia untuk mencari kebenaran sehingga hal ini lebih berbahaya.
The logic
now in use serves rather to fix and give stability to the errors which have
their foundation in commonly received notions than to help the search after
truth. So it does more harm than good.[19]
Bacon mengkritik silogisme karena
silogisme ini terdiri dari proposisi, proposisi terdiri dari kata-kata,
kata-kata menjadi simbol pengertian. Karena itu, jika gagasan itu sendiri (yang
merupakan akar dari masalah ini)
membingungkan maka akan menimbulkan kesimpulan yang salah. Oleh karena
itu ia menawarkan metode induksi sejati.
The
syllogism consists of propositions, propositions consist of words, words are
symbols of notions. Therefore if the notions themselves (which is the root of
the matter) are confused and overhastily abstracted from the facts, there can
be no firmness in the superstructure. Our only hope therefore lies in a true
induction.[20]
Bacon juga menuduh dan menanggapi ilmu
yang dirintis oleh Aristoteles, yaitu bahwa ilmu sempurna tak boleh mencari
untung, namun harus bersifat kontemplatif. Sebaliknya justru ilmu harus mencari
untung, artinya dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi ini dan
bahwa dalam rangka itulah ilmu-ilmu betul-betul berkembang, menjadi nyata dalam
sejarah Barat sejak abad ke- 25, menurut Bacon. Pengetahuan manusia hanya
berarti jika nampak dalam kekuasaan manusia. Human knowledge adalah human
power, seperti disaksikan dalam percetakan (mengakibatkan penyebarluasan
buku-buku pengetahuan), mesin (menghasilkan kemenangan dalam perang modern),
dan pemakaian magnet (yang memugkinkan manusia mengarungi samudera). Ketiganya
itu telah mengakibatkan berubahnya muka bumi, sesuatu yang belum pernah terjadi
sebagai hasil ilmu-ilmu yang dikembangkan Aristoteles.[21]
Bacon tidak hanya menyepelekan silogisme,
tetapi memandang rendah matematika, agaknya karena tidak cukup eksperimental.
Dia sangat memusuhi Aristoteles, tetapi menjujung tinggi Demokritus. Meskipun
dia tidak menolak bahwa perjalanan alam semesta ini menunjukkan sebuah tujuan
Tuhan, dia keberatan dengan campuran penjelasan teleologis dalam penelitian
sebenarnya atas fenomena, segala sesuatu, menurutnya harus dijelaskan dengan
menelusuri penyebab-penyebabnya yang pasti.[22]
Demikianlah pernyataan Bacon pada pasal LVII :
The most
conspicuous example of the first class was Aristotle, who corrupted natural
philosophy by his logic: fashioning the world out of categories; assigning to
the human soul, the noblest of substances, a genus from words of the second
intention; doing the business of density and rarity (which is to make bodies of
greater or less dimensions, that is, occupy greater or less spaces), by the
frigid distinction of act and power; asserting that single bodies have each a
single and proper motion, and that if they participate in any other, then this
results from an external cause; and imposing countless other arbitrary
restrictions on the nature of things; being always more solicitous to provide
an answer to the question and affirm something positive in words, than about
the inner truth of things; a failing best shown when his philosophy is compared
with other systems of note among the Greeks. For the homoeomera of Anaxagoras;
the Atoms of Leucippus and Democritus.[23]
Pendapat Bacon yang tidak menyukai
silogisme Aristoteles adalah hal wajar mengingat filsafat Bacon bersifat
praktis, yaitu untuk menjadikan manusia menguasi kekuatan – kekuatan alam
dengan perantaraan penemuan-penemuan ilmiah. Ia menginginkan filsafat tidak
hanya bersifat abstrak yang tidak memiliki manfaat langsung bagi manusia,
tetapi filsafat harus membantu manusia pada tataran praksis untuk menguasai
alam.
Pemikiran Bacon yang berorientasi pada
pemikiran yang praktis tersebut tidak dapat terlepas dari kondisi masyarakat
Eropa kala itu yang memasuki masa Renaissance dimana perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi berkembang pesat.
D.
METODE INDUKSI YANG DITAWARKAN BACON
Bacon adalah seorang filosof yang berpengaruh pada zamannya.
Menurut para ilmuan, Bacon dianggap sebagai perintis perkembangan yang cukup
besar pada abad ke 17. Rintisan terkait keinginan Bacon untuk meninggalkan ilmu
pengetahuan lama dan mengusahakan ilmu yang baru. Menurut pemikirannya, ilmu
pengetahuan lama tidak sanggup memberikan kemajuan, tidak dapat memberikan
hasil-hasil yang bermanfaat serta tidak dapat melahirkan hal-hal baru yang
berfaedah bagi kehidupan umat manusia.
Bacon berpendapat bahwa orang Yunani terlalu terpesona dengan
masalah etis, orang Romawi dengan soal hukum, dan orang pada abad pertengahan
dengan teologi. Menurut anggapan Bacon, mereka semua tidak memusatkan diri pada
ilmu pengetahuan. Misalnya saja pada Abad Pertengahan, ilmu diperlukan sebagai
abdi teologi. Perlakuan ini dianggapnya keliru, karena melalui ilmu itulah,
manusia akan dapat memperlihatkan kemampuan kodratinya. Atas dasar pemikiran
tersebut, Bacon menyatakan “Knowledge is power” (pengetahuan adalah
kuasa). Menurut pemahaman Bacon, pengetahuan inderawi tidak dapat
menguasai segalanya, namun pengetahuan
inderawi bersifat fungsional, dapat dipergunakan untuk memajukan kehidupan
manusia. Sedangkan “kuasa” dipahaminya sebagai kuasa atas alam (natura non
nisi parendo vincitur artinya alam hanya dapat ditaklukkan dengan mematuhinya).
Maksud Bacon, bahwa alam hanya bisa dikuasai oleh pikiran kalau pikiran dapat
mematuhinya dengan cara memahami hokum-hukumnya, memperlajari sifat-sifat
universalnya dan perkecualiannya. Dengan menaklukkan alam, Bacon sangat percaya
percaya umat manusia dapat sejahtera melalui ilmu pengetahuannya.
Berdasarkan
pemikirannya tersebut, Bacon merumuskan dasar-dasar berpikir induktif modern.
Menurutnya, metode induksi yang tepat adalah induksi yang bertitik pangkal pada
pemeriksaan yang diteliti dan telaten mengenai data-data particular, yang pada
tahap selanjutnya rasio dapat bergerak maju menuju penafsiran terhadap alam (Interpretatio
natura). Untuk mencari dan menemukan kebenaran dengan menggunakan metode
induksi, Bacon mengemukakan dua cara yang harus dilakukan, yaitu:
1. Rasio yang digunakan harus mengacu pada
pengamatan inderawi yang particular, kemudian mengungkapnya secara umum. Seperti
pernyataan Francis Bacon di bawah ini :
One
method of delivery alone remains to us which is simply this: we must lead men
to the particulars themselves, and their series and order; while men on their
side must force themselves for a while to lay their notions by and begin to
familiarize themselves with facts.[24]
2. Rasio
yang berpangkal pada pengamatan inderawi yang particular digunakan untuk
merumuskan ungkapan umum yang terdekat dan masih dalam jangkauan pengamatan itu
sendiri, kemudian secara bertahap mengungkap yang lebih umum di luar
pengamatan. Seperti ungkapan Bacon :
“….from the senses and particulars, and rest in the
highest generalities; but the difference between them is infinite.
Metode induksi yang ditawarkan Bacon tidak sekedar induksi
dengan penjumlahan sederhana. Contoh metode induksi dengan penjumlahan
sederhana adalah sebagai berikut :
Pada
suatu ketika ada seorang petugas sensus mencatat seluruh kepala keluarga
disebuah desa di Wales. Orang pertama yang ditanyai bernama William Williams;
kemudian ada orang kedua, ketiga, keempat…terakhir dia berkata pada diri
sendiri, “Membosankan; nyata-nyata semuanya bernama William Williams. Saya akan
menulis semuanya dengan nama ini dan selesailah pekerjaan saya”. Tetapi dia
keliru, ada seorang yang bernama John Jones. Ini menunjukkan bahwa kita bisa
terjerumus pada kesalahan jika kita percaya secara terlalu implicit pada
induksi dengan penjumlahan sederhana.[25]
Bacon berhasil
menemukan suatu metode induksi baru yang benar-benar dapat
dipertanggungjawabkan. Metode induksi tradisional yang dikenal dengan
nama induction by simple enumeration (induksi melalui penjumlahan sederhana)
tidak dapat diandalkan untuk meraih pengetahuan yang benar. Bacon menegaskan
bahwa kita tidak boleh menjadi sama seperti laba-laba yang memital jaringnya
dari apa yang ada di dalam tubuhnya, atau seperti semut yang semata-mata hanya
tahu mengumpulkan, melainkan kita harus sama seperti lebah yang tahu bagaimana
mengumpulkan tetapi tahu bagaimana menata. Metode silogisme deduktif
digambarkan dengan laba-laba itu, metode induktif tradisional seperti semut
yang hanya tahu mengumpul dan metode induktif seperti semut yang hanya tahu
mengumpul, dan metode induktif yang telah disepmurnakannya sama dengan lebah
yang tahu mengumpul dan menata.[26]
Metode induktif yang dikembangkan oleh Bacon dapat diuraikan
lewat contoh berikut ini:
“Bacon
ingin mengetahui tentang sifat panas yang
diduganya merupakan gerakan-gerakan tidak teratur yang cepat dari bagian-bagian
kecil dari suatu benda. Ia lalu
membuat daftar dari benda-benda yang memiliki tingkatan panas berbeda. Lewat
penelitian dan penyilidikan yang seksama terhadap daftar masing-masing kelompok
benda itu, ia berupaya menemukan karakteristik yang senantiasa hadir pada benda-benda
panas, karakteristik yang tidak terdapat pada benda-benda dingin, dan yang
selalu ada pada benda-benda yang memiliki tingkatan panas berbeda. Dengan
demikian, ia berharap akan berhasil menemukan
suatu hokum yang berlaku umum tentang apa yang diselidikinya”[27]
Untuk menghindari
penggunaan metode induksi yang keliru. Bacon menyarankan agar menghindari empat
macam idola atau rintangan dalam berpikir, demikian kata Bacon
There are four classes of Idols which
beset men's minds. To these for distinction's sake I have assigned names,
calling the first class Idols of the Tribe; the second, Idols of the Cave; the
third, Idols of the Market Place; the fourth, Idols of the Theater.[28]
1. Idola
tribus (tribus: umat manusia pada umumnya), maksudnya menarik
kesimpulan menarik kesimpulan tanpa dasar secukupnya, berhenti pada sebab-sebab
yang diperiksa secara dangkal, jasmani dan inderawi saja, suatu wishfull
thinking tanpa percobaan dan pengamatan yang memadai. Antara lain tafsiran
antropomorphis khususnya dengan menggunakan sebab final.[29] Sebagaimana
pernyataan Bacon di bawah ini :
The
Idols of the Tribe have their foundation in human nature itself, and in the
tribe or race of men. For it is a false assertion that the sense of man is the
measure of things. On the contrary, all perceptions as well of the sense as of
the mind are according to the measure of the individual and not according to
the measure of the universe. And the human understanding is like a false
mirror, which, receiving rays irregularly, distorts and discolors the nature of
things by mingling its own nature with it.[30]
Berdasarkan pernyataan di atas Idola
Tribus menurut Bacon merupakan dasar dalam alam manusia sendiri. Untuk itu
sebuah kesalahan manakala kita menganggap bahwa perasaan manusia adalah ukuran
dari segala sesuatu karena persepsi manusia itu sesuai dengan ukuran individual
dan belum tentu sesuai dengan ukuran universal. Oleh karena itu dalam
menggunakan metode induksi jangan sampai terjebak pada pemikiran yang dangkal
tetapi diperlukan eksperimen.
2. Idols
of the Cave (cave: gua). Yang dimaksud ialah prasangka dan selera khas pada
setiap orang yang membuat manusia seolah-oleh terkurung dalam guanya sendiri
dan tertutup seolah-olah terkurung dalam guanya sendiri dan tertutup matanya
terhadap apa yang ada di luar gua itu. Demikian pernyataan Bacon :
The
Idols of the Cave are the idols of the individual man. For everyone (besides
the errors common to human nature in general) has a cave or den of his own,
which refracts and discolors the light of nature, owing either to his own
proper and peculiar nature; or to his education and conversation with others;
or to the reading of books, and the authority of those whom he esteems and
admires; or to the differences of impressions, accordingly as they take place
in a mind preoccupied and predisposed or in a mind indifferent and settled; or
the like. So that the spirit of man (according as it is meted out to different
individuals) is in fact a thing variable and full of perturbation, and governed
as it were by chance. Whence it was well observed by Heraclitus that men look
for sciences in their own lesser worlds, and not in the greater or common world.[31]
Bacon menganggap bahwa Idols of the
Cave adalah berhala bagi setiap individu dimana dalam memahami realitas
alam terkadang pemikiran manusia menjadi bias sehingga terkadang pemahaman
manusia tersebet bisa keliru dalam menangkap realitas hal ini disebabkan karena
roh manusia itu penuh dengan gangguan.
3. Idola
fori (forum: pasar), maksudnya anggapan dan pembicaraan umum yang diterima
begitu saja tanpa dipersoalkan atau dipertanyakan lagi. Bacon memberi istilah Idols
of the Market Place.
There
are also Idols formed by the intercourse and association of men with each
other, which I call Idols of the Market Place, on account of the commerce and
consort of men there. For it is by discourse that men associate, and words are
imposed according to the apprehension of the vulgar. And therefore the ill and
unfit choice of words wonderfully obstructs the understanding. Nor do the
definitions or explanations wherewith in some things learned men are wont to
guard and defend themselves, by any means set the matter right. But words
plainly force and overrule the understanding, and throw all into confusion, and
lead men away into numberless empty controversies and idle fancies[32]
4. Idola
theatri (theatrum: panggung). Yang dimaksud ialah semua system filsafat
yang pernah muncul seolah-olah suatu sandiwara raksasa.[33]
Disebut theater karena dalam penilaian Bacon semua sistem yang diterima tapi
memainkan panggung begitu banyak, yang mewakili dunia ciptaan mereka sendiri
setelah mode nyata dan indah. Demikian pernyataan Bacon :
Lastly,
there are Idols which have immigrated into men's minds from the various dogmas
of philosophies, and also from wrong laws of demonstration. These I call Idols
of the Theater, because in my judgment all the received systems are but so many
stage plays, representing worlds of their own creation after an unreal and
scenic fashion.[34]
E.
EPISTEMOLOGI INDUKTIVISME FRANCIS BACON
a. Hakikat
Pengetahuan
Bacon adalah orang yang sangat mencolok
minatnya pada ilmu pengetahuan. Ungkapan Bacon yang terkenal adalah “knowledge
is power” (pengetahuan adalah kuasa). Dia sangat berkeyakinan bahwa pengetahuan adalah sumber kemenangan
dan kemakmuran manusia di dunia ini. Dengan pengetahuan, manusia dapat
menciptakan mesin untuk memperoleh kemenangan dalam perang. Dengan pengetahuan,
manusia juga dapat membuat kompas yang bisa digunakan sebagai petunjuk arah
dalam mengarungi lautan atau membuat mesin cetak untuk mempercepat penyebaran
ilmu pengetahuan. Seperti pernyataan Bacon di bawah ini :
Human knowledge and human power meet
in one; for where the cause is not known the effect cannot be produced. Nature
to be commanded must be obeyed; and that which in contemplation is as the cause
is in operation as the rule.[35]
Melihat urgensinya ilmu pengetahuan,
makanya manusia harus dapat menguasainya. Untuk mendapatkan pengetahuan yang
benar, seseorang harus mengetahui terlebih dahulu hakikat dari pengetahuan itu
sendiri. Menurut Bacon, hakikat pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan
yang diterima oleh manusia melalui persentuhan inderawi dengan dunia fakta.
Both
ways set out from the senses and particulars, and rest in the highest
generalities; but the difference between them is infinite. For the one just
glances at experiment and particulars in passing, the other dwells duly and
orderly among them.[36]
Persentuhan ini biasanya disebut
pengalaman. Bacon berpendapat, pengalaman dari hasil pengamatan yang bersifat
particular akan menemukan pengetahuan yang benar dan oleh karena itu ia yakin
bahwa pengalaman adalah sumber pengetahuan sejati.
b. Teori
Memperoleh Pengetahuan
Menurut konsepsi Bacon, untuk memperoleh
pengetahuan yang benar, harus dilakukan dengan cara-cara benar sebagai berikut
: 1) alam diwawancarai, 2) menggunakan metode yang benar, 3) bersikap positif
terhadap bahan-bahan yang disajikan alam, artinya orang yang harus
menghindarkan dirinya untuk mengemukakan prasangka terlebih dahulu. Hal ini
dipandang perlu untuk mencegah timbulnya gambaran-gambaran yang keliru.
Metode yang benar yang dimaksud sebagaimana
pendapat Bacon di bawah ini :
There
are and can be only two ways of searching into and discovering truth. The one
flies from the senses and particulars to the most general axioms, and from
these principles, the truth of which it takes for settled and immovable,
proceeds to judgment and to the discovery of middle axioms. And this way is now
in fashion. The other derives axioms from the senses and particulars, rising by
a gradual and unbroken ascent, so that it arrives at the most general axioms
last of all. This is the true way, but as yet untried[37]
Ada dua cara untuk mencari dan menemukan kebenaran.
Yang pertama dari indra dan dari aksioma khusus untuk aksioma yang paling umum,
dan dari prinsip-prinsip ini, kebenaran yang diperlukan untuk diselesaikan dan
tidak bergerak, dan menemukan aksioma tengah. Yang lain aksioma berasal dari
indera dan khusus, naik dengan pendakian bertahap dan tak terputus, sehingga
tiba di aksioma yang paling umum yang terakhir dari semuanya. Ini adalah cara
benar, tapi masih perlu diuji coba.
One method of delivery alone remains
to us which is simply this: we must lead men to the particulars themselves, and
their series and order; while men on their side must force themselves for a
while to lay their notions by and begin to familiarize themselves with facts.[38]
Tiga tahapan untuk memperoleh pengetahuan
di atas harus dilakukan secara sistematis, dimulai dengan mengamati atau dalam
istilah Bacon mewawancari alam semesta
tanpa prasangka, kemudian menetapkan fakta berdasarkan percobaan berkali-kali
dengan cara yang bervariasi, kemudian fakta tersebut diikhtisarkan. Tahap selanjutnya dari proses pengenalan
fakta adalah pengenalan hukum-hukumnya, kemudian bentuk tertentu dari
sifat-sifatnya yang tunggal. Lalu disusun kembali sehingga menemukan
pengetahuan dasar.
Untuk memajukan pengetahuan tentang dunia
alam, kata Bacon kita membutuhkan prosedur sistematis dan terkendali yaitu :
1. Kita
harus mengamati fakta, mencatat pengamatan kita, mengumpulkan data yang dapat
diandalkan. Pada tahap ini kita harus berhati-hati untuk tidak memaksakan
ide-ide terhadap fakta sebaliknya biarkan fakta itu berbicara sendiri apa
adanya. Keteraturan dan pola akan muncul,hubungan sebab akibat akan tampak
dengan sendirinya dan kita akan mulai bisa melihat hokum-hukum alam yang
bekerja disana. Namun demikian kita
harus awas dan peka terhadap fakta yang bertentangan. Kita cenderung
melompat pada kesimpulan semata-mata
hanya berdasarkan pada bukti yang cocok dengan kesimpulan yang sudah diambil[39]. Seperti pernyataan Bacon :
“…while men on their side must force themselves for a
while to lay their notions by and begin to familiarize themselves with facts”.[40]
2. Apabila
kita cukup berdisiplin dalam hal ini, kita akan mulai melihat adanya hukum-hukum
umum yang ditampilkan oleh contoh-contoh partikuler dan membentuk hipotesis. Francis
Bacon menyatakan demikian :
“…The
other derives axioms from the senses and particulars, rising by a gradual and
unbroken ascent, so that it arrives at the most general axioms last of all.
This is the true way, but as yet untried.[41]
3. Kemudian
dilakukan eksperimen untuk menguji hipotesis. Demikian pernyataan Bacon:
Both
ways set out from the senses and particulars, and rest in the highest
generalities; but the difference between them is infinite. For the one just
glances at experiment and particulars in passing, the other dwells duly and
orderly among them. The one, again, begins at once by establishing certain
abstract and useless generalities, the other rises by gradual steps to that
which is prior and better known in the order of nature.[42]
4. Apabila
eksperimen menegakkan hipotesis itu maka kita telah berhasil menemukan salah
satu hukum alam.
5. kesimpulan
berdasarkan penalaran itu.[43]
Seperti pernyataan Bacon :
The conclusions of human reason as ordinarily applied in
matters of nature, I call for the sake of distinction Anticipations of Nature
(as a thing rash or premature). That reason which is elicited from facts by a
just and methodical process, I call Interpretation of Nature.[44]
c. Masalah
Kebenaran Pengetahuan
Kebenaran ilmu pengetahuan sifatnya adalah
relatif (sesaat) karena mungkin pada saat ini ilmu itu dianggap benar namun
diwaktu yang lain akan dianggap salah. Hal ini sesuai dengan pemikiran Bacon
yang mencoba mempermasalahkan pengetahuan lama karena pengetahuan tersebut
tidak memberi manfaat dan tidak mampu menghasilkan hal-hal yang baru.
Menurut Bacon, banyak sekali
keyakinan-keyakinan yang dipertahankan orang hingga saat ini, padahal
sebenarnya hal tersebut adalah idola-idola, gambaran-gambaran yang menyesatkan
dan pandangan-pandangan yang keliru. Karena itu pengetahuan yang demikian harus dibasmi dan diganti dengan
pengetahuan baru.
d. Pengujian
Kebenaran Pengetahuan
Pengujian kebenaran pengetahuan menurut
Bacon sama dengan cara memperoleh pengetahuan yaitu dengan observasi. Observasi
merupakan upaya untuk menguji kebenaran pengetahuan melalui indera. Dengan
pengujian melului pengamatan yang bersifat inderawi atas pengetahuan yang
diperoleh, maka akan ditemukan pengetahuan yang memiliki tingkat kebenaran yang
tinggi.
Setelah menemukan pengetahuan yang sudah
dianggap benar, selanjutnya pengetahuan tersebut dirumuskan menjadi sebuah
hukum. Kemudian hukum-hukum tersebut diuji kembali yaitu dengan diterapkan pada
keadaan-keadaan yang baru. Jika hokum tersebut bekerja, maka hukum itu baru
dapat ditetapkan menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang dapat diyakini
kebenarannya.
e. Problem
Induktivisme Bacon
Metode induksi yang diprakarsai Bacon
untuk memperoleh ilmu pengetahuan berdasarkan dari hasil pengamatan, pemikiran
dan uji coba yang dilakukannya, ternyata masih memiliki beberapa sisi kelemahan
antara lain :
1. ketidakmampuan
mewujudkan kemajuan ilmu pengetahuan dari metode induksi yang digunakannya,
sebab dia hanya tahu tentang apa yang telah dicapai orang pada zamannya saja.
2. metode
yang digunakannya tersebut masih memperlihatkan hal-hal yang bertentangan,
misalnya penolakan terhadap prasangka, tetapi dilain waktu ia menggunakan
prsangka untuk menemukan pengetahuan.
3.
Bacon mengklaim bahwa metode induksi yang baru
melampaui metode induksi yang lalu, sebab metodenya menuju kepada generalisasi
“semua” hal, tidak hanya kepada beberapa cirri yang dimiliki oleh
anggota-anggota suatu golongan yang terbatas saja. Klaim demikian merupakan
klaim yang gegabah karena dalam tulisan berikutnya dia menyatakan bahwa akan
sulitnya melakukan generalisasi dari hasil metode induksi. Generalisasi hanya dapat dilakukan dalam kasus
tertentu yang relevan dengan obyek yang sedang diamati.
Disamping itu keterbatasan induktivisme dalam perannya menyumbangkan
pengetahuan melalui metode ilmiah dianalisis dari kritik-kritik yang diberikan
terhadapnya. Kritik terhadap empirisme
yang diungkapkan oleh Honer dan Hunt (1968) dalam Suriasumantri terdiri atas
tiga bagian :
1.
Pengalaman
yang merupakan dasar utam induktivisme seringkali tidak berhubungan langsung
dengan kenyataan objektif. Pengalaman ternyata bukan semata-mata sebagai
tangkapan pancaindera saja. Sebab seringkali pengalaman itu muncul yang
disertai dengan penilaian. Dengan kajian yang mendalam dan kritis diperoleh
bahwa konsep pengalaman merupakan pengertian yang tidak tegas untuk dijadikan
sebagai dasar dalam membanguan suatu teori pengetahuan yang sistematis.
Disamping itu pula, tidak jarang ditemukan bahwa hubungan berbagai fakta tidak
seperti apa yang diduga sebelumnya.
2.
Dalam
mendapatkan fakta dan pengalaman pada alam nyata, manusia sangat tergantung
pada persepsi panca indera. Pegangan induktivisme yang demikian menimbulkan
bentuk kelemahan lain. Pancaindera manusia memiliki keterbatasan. Sehingga
keterbatasan pancaindera, persepsi suatu obyek yang ditangkap dapat saja keliru
dan menyesatkan.
3. Dalam
induktivisme pada prinsipnya pengetauan yang diperoleh bersifat tidak pasti.
Prinsip ini sekalipun merupakan kelemahan, tapi sengaja dikembangkan dalam
induktivisme dan empirisme untuk memberikan sifat kritis ketika membangun
sebuah pengetahuan ilmiah. Semua fakta yang diperlukan untuk menjawab
keragu-raguan harus diuji terlebih dahulu.[45]
F.
RELEVANSI INDUKTIVISME BACON TERHADAP ILMU
PENDIDIKAN ISLAM
Walaupun masih banyak kritikan terhadap metode induksi Bacon,
namun metode induksi Bacon ini telah memberi sumbangan bagi permikir setelahnya
misalnya saja ilmuwan-ilmuwan seperti Boyle, Hooke dan Newton dalam derajat yang berbeda
menyatakan keterikatannya dengan filsafat Bacon.
Pemikiran Bacon tersebut memiliki relevansi dengan Ilmu
Pendidikan Islam dimana Bacon mengajarkan agar tidak terlalu mudah percaya terhadap
pemahaman orang termasuk dalam hal ini adalah pemahaman orang tentang Islam.
Demikian juga dengan teori-teori pendidikan yang telah dihasilkan oleh para
pemikir pendidikan Islam. Sebaliknya kita harus kritis dan berusaha untuk
mengkaji secara mendalam terhadap teori-teori yang mereka bangun.
Disamping itu Bacon juga selalu mendorong agar ilmu
pengetahuan senantiasa mampu memberikan konstribusi bagi perkembangan dan
kemajuan manusia. Demikian juga dengan ilmu pendidikan Islam hendaknya juga
diarahkan untuk dapat mengembangkan pendidikan Islam sehingga dapat memajukan
kembali dunia Islam.
Salah satu pemikiran Bacon yang berbeda dengan pemikiran
filosof sebelumnya adalah perlunya data dalam menyimpulkan segala sesuatu. Hal
ini telah menggiring kita agar di dalam mengkaji Islam dan menyimpulkan segala
hal harus selalu didukung oleh data yang kuat.
.
G.
PENUTUP
Kesimpulan
Induktivisme Bacon merupakan kritik terhadap metode deduksi
yang diajukan oleh Aristoles yang menurut Bacon tidak mampu memberikan pengaruh
nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam induktivisme hakikat
pengetahuan adalah power yang harus mendorong kemajuan manusia.
Untuk memperoleh pengetahuan yang benar maka harus dilakukan
dengan cara-cara yang benar yaitu 1) alam diwawancarai, 2) menggunakan metode
yang benar, 3) bersikap pasif terhadap bahan-bahan yang disajikan oleh alam.
Pengetahuan tersebut dinyatakan benar manakala ia dapat diuji melalui proses
observasi. Sekalipin demikian sebagai manusia induktivisme Francis Bacon
tidaklah sempurna. Ada beberapa sisi kelemahan dari Induktivisme Francis Bacon
ini yaitu ketergantungannya pada observasi dan menonjolnya peranan indera. Pada
hal kita tahu bahwa observasi dan peranan indera sangatlah terbatas.
Relevansi pemikiran Francis Bacon dengan Ilmu Pendidikan
Islam adalah merubah paradigma berpikir kita bahwa hendaknya kita tidak selalu
mengikuti teori-teori yang sudah dibangun oleh para tokoh pendidikan Islam
tanpa melalui proses berpikir kritis dengan menggunakan metode yang benar.
DAFTAR PUSTAKA
Bacon,
Francis The New Organon, www.constitution.org/bacon/nov
org.html dalam Google.com
Magee,
Bogan, The Story of philosophy penerjemah: Marcus Widodo, Yogyakarta;
Kanisius, 2008
Mahdi,
adnan, “topik-topik epistemology” http://stai-sambas.blogspot.com/2009/10
dalam google.com, 2009
Rapar, Jan Hendrik , Pengantar Filsafat Yogyakarta:Penerbit
Kanisius,1996
Rusell,
Betrand, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio Politik
Zaman Kuno hingga Sekarang penerjemah: Sigit Jatmiko dkk, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2007
Syadali, Ahmad dan
Mudzakir, Filsafat Umum: Untuk IAIN, STAIN, PTAIS (Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2004
Tim
Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu: Sebagai Dasar
Pengembangan Ilmu Pengetahuan Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003
Verhak, C., R.Haryono Imam,
Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Atas Cara kerja Ilmu-Ilmu Jakarta: PT.
Gramedia Pustaka, 1995
[1] Ahmad Syadali dan
Mudzakir, Filsafat Umum: Untuk IAIN, STAIN, PTAIS (Bandung: CV. Pustaka
Setia, 2004), hlm. 24
[2] Jan Hendrik Rapar,Pengantar
Filsafat (Yogyakarta:Penerbit Kanisius,1996), hlm. 37
[3]Tim Dosen Filsafat Ilmu
Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu: Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu
Pengetahuan (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003), hlm. 32
[4]
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, hlm.113
[5] Ibid,
hlm.113
[6] C. Verhak, R.Haryono Imam,
Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Atas Cara kerja Ilmu-Ilmu (Jakarta:
PT. Gramedia Pustaka, 1995), hlm.137
[7]
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, hlm.113
[8] Betrand Rusell, Sejarah
Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio Politik Zaman Kuno hingga
Sekarang (terj. Sigit Jatmiko dkk) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007),
hlm. 711
[9]
Betrand Rusell, Sejarah Filsafat Barat, hlm. 711-712
[10]
C. Verhak, R.Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, hlm. 138
[11] Betrand Rusell, Sejarah Filsafat Barat, hlm.
712
[12]
Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum,hlm 117
[13] Jan
Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, hlm, 104
[14] Ibid,
hlm. 105
[15] Ibid,hlm
105
[16]
Betrand Rusell, Sejarah Filsafat Barat, hlm. 713
[17] Jan
Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, hlm, 114
[18]
Francis Bacon, The New Organon, www.constitution.org/bacon/nov
org.html dalam Google.com pasal XI
[19] Ibid,pasal
XII
[20] Ibid,pasal
XIV
[21]
C. Verhak, R.Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan,hlm. 139
[22]
Betrand Rusell, Sejarah Filsafat Barat, hlm. 714
[23]
Francis Bacon, The New Organon pasal LXIII
[24]
Francis Bacon, The New Organon, pasal XXXVI
[25] Ibid,hlm.
713-714
[26]
Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, hlm, 114
[27] Ibid,
hlm 114
[28]
Francis Bacon, The New Organon, www.constitution.org/bacon/nov
org.html dalam Google.com pasal XXXIX
[29]
C. Verhak, R.Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan,hlm.143
[30]
Francis Bacon, The New Organon, pasal XLI
[31]
Francis Bacon, The New Organon, pasal XLII
[32] Ibid,
pasal XLIII
[33] C.
Verhak, R.Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan,hlm.143
[34]
Francis Bacon, The New Organon, pasal XLIV
[35]
Francis Bacon, The New Organon, pasal III
[36] Ibid,
pasal XXII
[37] Ibid,pasal
XIX
[38] Ibid,
pasal XXXVI
[39]
Bogan Magee, The Story of philosophy terj: Marcus Widodo, (Yogyakarta;
Kanisius, 2008), hlm. 75-76
[40] Francis
Bacon, The New Organon pasal XXXVIII
[41] Ibid,pasal
XIX
[42] Ibid,
XXII
[43]
Bogan Magee, The Story of philosophy hlm. 76
[44]
Francis Bacon, The New Organon pasal XXVI
[45] http://stai-sambas.blogspot.com/2009/10/
adnan mahdi-topik-topik epistemologi