Senin, 19 Desember 2011

Filsafat Ilmu


EPISTEMOLOGI FRANCIS BACON
DAN
RELEVANSINYA BAGI ILMU PENDIDIKAN ISLAM
Oleh : Agus Suroyo, S.Pd.I


“Sedikit filsafat dapat membawa orang kepada ateisme, namun filsafat yang mendalam membawa orang kepada agama”
(Sir Francis Bacon)


A.    PENDAHULUAN
Jika kita ingat mata kuliah Pengantar Filsafat atau Filsafat Umum pasti kita pernah mendengar istilah-istilah seperti ontology, epistemology, ontology, etika, estetika, ataupun metafisika. Beberapa istilah tersebut merupakan cabang dari filsafat. Diantara istilah-istilah di atas yang akan penulis bahas pada makalah ini adalah epistemology. Lalu apa itu epistemology?
Epistemologi lazimnya disebut teori pengetahuan yang secara umum membicarakan mengenai sumber-sumber, karakteristik, dan kebeneran pengetahuan.[1] Istilah epistemology berasal dari bahasa Yunani, yang terdiri dari dua kata, yaitu  episteme (pengetahuan) dan logos (kata, pikiran, percakapan, atau ilmu). Jadi epistemology berarti kata, pikiran, percakapan tentang pengetahuan atau ilmu pengetahuan.[2]
Persoalan-persoalan yang akan dibahas dalam epistemology meliputi: Bagaimanakah manusia dapat mengetahui sesuatu? Dari mana pengetahuan itu dapat diperoleh? Bagaimana validitas pengatahuan itu dapat dinilai? Apa perbedaan anatara pengetahuan a priori (pengetahuan pra pengalaman) dengan pengetahuan a posteriori (pengetahuan purna pengalaman).[3]
Pada makalah yang sederhana ini penulis akan membahas epistemology induktivisme Francis Bacon dan relevansinya bagi Ilmu Pendidikan (Islam). Pada makalah ini akan mencoba menjawab pertanyaan-pertanyaan:
1.      Bagaimana epistemology Induktivisme Francis Bacon itu?
2.      Bagaimana relevansi epistemology Induktivisme Francis Bacon bagi Ilmu Pendidikan Islam?
B.     RIWAYAT HIDUP FRANCIS BACON
Sebelum membahas epistemology Bacon terlebih dahulu akan penulis uraiakan sekilas tentang riwayat hidup Francis Bacon. Francis Bacon (1561-1626) adalah seorang Filsuf Inggris yang terkenal sebagai pelopor emperisme Inggris. Ia lahir pada 22 Januari 1561  di York House, London. Ayahnya, Lord Nicholas Bacon, adalah seorang pejabat tinggi kerajaan Inggris.[4]
Pada usia 12 tahun, Francis Bacon telah belajar di Trinity College, Cambridge University.[5] Sesudah belajar di Cambridge, selama dua tahun ia diberi tugas pada kedutaan besar Inggris di Paris. Kemudian ia masuk dalam bidang praktek hokum dan menjadi anggota parlemen pada tahun 1584.[6] Pada usia  23 tahun ia telah diangkat menjadi anggota parlemen. Pada tahun 1618, James I mengangkat Francis Bacon menjadi Lord Chancellor dan kemudian menjadi Viscount St. Albans.[7]
Francis Bacon juga pernah menjadi penasihat Essex. Namun dalam perjalanan waktu Bacon turut serta menyiksa Essex ketika Essex jatuh. Atas peristiwa ini, dia dikecam habis-habisan. Lytton Strachey, misalnya, dalam bukunya Elizabeth and Essex menggambarkan Bacon sebagai seorang monster penghianat dan tidak tahu terimakasih. Ia sangat tidak adil. Dia bekerja dengan Essex ketika Essex loyal, tetapi meninggalkannya ketika loyalitas pada Essex justru dikhianati, disini, zaman dengan moralitas paling rigid sekalipun tidak bisa menyalahkannya.[8]
Meskipun meninggalkan Essex, dia tidak pernah melakukannya dengan sepenuh hati disepanjang kehidupan Ratu Elizabet. Namun  demikian, dengan naiknya James, prospeknya semakin cerah. Pada tahun 1617, dia mendapatkan jabatan yang pernah diduduki ayahnya, Keeper of the Great Seal, dan pada tahun 1618 dia menjadi Lord Chancellor. Tetapi setelah memegang jabatan penting selama dua tahun, dia dituduh menerima suap dari para penggugat. Dia mengakui tuduhan itu, tetapi beralibi bahwa hadiah-hadiah itu tidak pernah mempengaruhi keputusan-keputusan yang dibuat Bacon berpihak pada penggugat. Dia dipersalahkan untuk membayar denda 40.000, dipenjara di Tower selama yang diinginkan raja, dibuang selamanya dari kerajaan, dan dipecat dari jabatannya. Hukuman ini hanya dilaksanakan sebagaian kecil saja. Dia tidak dipaksa untuk membayar denda dan dia dipenjara di Tower hanya empat hari. Akan tetapi dia terpaksa meninggalkan kehidupan public, dan menghabiskan sisa waktunya untuk menulis buku-buku penting.[9]
Francis Bacon selama hidupnya ia menekuni studi, dan penuh perhatian akan dunia sekitarnya. Ia merencanakan dan menerbitkan beberapa buku. Beberapa karyanya antara lain The Advancement of Learning (1606), yang kemudian disadur kembali pada tahun 1623 dengan judul De Dignitate et augmentis scientiarum (tentang perkembangan luhur ilmu-ilmu) sebagai bagian pertama dari suatu karya raksasa yang direncanakannya namun tak pernah diselesaikan yang berjudul umum Instauratio magna (Pembaharuan Besar). Bagian kedua dari Instauratio itu sudah terbit pada tahun 1602, yaitu Novum Organum (Organum Baru).[10]
Buku terpenting Bacon, The Advancement of Learning dalam banyak hal sangat modern. Dia umumnya dipandang sebagai orang yang pertama kali mengatakan “Ilmu pengetahuan adalah kekuasaan”, dan meskipun para pendahulunya mungkin juga telah mengatakannya, dia mengungkapkannya dengan penekanannya yng baru. Seluruh landasan filsafatnya bersifat praktis membuat manusia bisa menguasai kekuatan-kekuatan alam dengan penemuan dan penciptaan ilmiah.[11]
Francis Bacon termasuk tokoh aliran empirisme seperti Thomas Hobbes, John Locke, David Hume, dan Herbert Spencer. Empirisme adalah suatu aliran dalam filsafat yang menekankan peranan pengalaman dalam memperoleh pengetahuan serta pengetahuan itu sendiri.[12]

C.    KRITIK FRANCIS BACON TERHADAP SILOGISME ARISTOTELES
Aristoteles mengatakan bahwa ada dua metode yang dapat digunakan untuk menarik kesimpulan demi memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru. Kedua metode inidisebut metode induktif  dan deduktif. Induksi (epagogi) ialah cara menarik konklusi yang bersifat umum dari hal – hal yang khusus. Adapun deduksi (apodiktik) ialah cara menarik konklusi berdasarkan dua kebenaran yang pasti dan tidak diragukan, yang bertolak dari sifat umum kek husus. Induksi berangkat dari pengamatan dan pengetahuan inderawi yang berdasarkan pengalaman, sedangkan deduksi sebaliknya terlepas dari pengamatan dan pengetahuan inderawi yang berdasarkan pengalaman itu.[13]
Menurut Aristoles, deduksi merupakan metode terbaik untuk memperoleh konklusi demi meraih pengetahuan dan kebenaran baru. Bentuk formal dari penalaran deduktif adalah silogisme. Silogisme  adalah suatu alat dan mekanisme penalaran untuk menarik konklusi yang benar berdasarkan premis-premis yang benar.[14]
Silogisme, sebagai bentuk formal dari deduksi terdiri atas tiga proposisi. Proposisi pertama dan proposisi kedua disebut premis, sedangkan proposisi ketiga merupakan konklusi yang ditarik dari dua premis dan satu konklusi. Jadi, setiap silogisme terdiri dari dua premis dan satu konklusi. Tiap-tiap poposisi harus memiliki dua term. Jadi setiap silogisme haruslah memiliki enam term. Akan tetapi, karena setiap term dalam setiap silogisme  senantiasa disebut dua kali, sebenarnya dalam setiap silogisme hanya ada tiga term. Apabila proposisi yang ketiga, yaitu proposisi yang disebut konklusi, diperhatikan dengan seksama, pada proposisi ketiga itu terdapat dua term dari ketiga term yang disebut tadi. Yang menjadi subjek konklusi disebut term minor, dan yang menjadi predikat konklusi disebut term mayor. Term yang terdapat pada kedua proposisi disebut term tengah (terminus medius).[15]
Berikukut contoh silogisme :
Semua anjing adalah hewan berkaki empat   (umum/universal)
Si hitam adalah seekor anjing                          (khusus/particular)
Si hitam adalah hewan berkaki empat
Berbeda dengan Aristoteles yang lebih menekankan metode deduksi sebagai metode terbaik dalam menemukan konklusi. Bacon adalah orang pertama dari deretan filosof yang berorientasi ilmiah dan menekankan pentingnya induksi sebagai lawan deduksi. Sebagaimana kebanyakan penerusnya, dia berusaha menemukan suatu jenis induksi yang lebih baik dari pada apa yang disebut “induksi dengan penjumlahan sederhana”.[16]
Menurut Bacon, logika silogistis tradisional tidak sanggup menghasilkan penemuan-penemuan empiris. Ia mengatakan bahwa silogistis tradisional hanya dapat membantu  mewujudkan konsekuensi deduktif dari apa yang sebenarnya telah diketahui. Agar pengetahuan itu berkembang dan demi memperoleh pengetahuan yang benar-benar berguna, konkret, dan praktis, metode deduktif harus ditinggalkan dan diganti dengan metode induktif.[17] Sebagaimana pernyataan Bacon di bawah ini :
As the sciences which we now have do not help us in finding out new works, so neither does the logic which we now have help us in finding out new sciences.[18]
Menurut Bacon logika (silogisme: red) yang dipakai sekarang ini lebih banyak melestarikan kesalahan daripada membantu manusia untuk mencari kebenaran sehingga hal ini lebih berbahaya.
The logic now in use serves rather to fix and give stability to the errors which have their foundation in commonly received notions than to help the search after truth. So it does more harm than good.[19]
Bacon mengkritik silogisme karena silogisme ini terdiri dari proposisi, proposisi terdiri dari kata-kata, kata-kata menjadi simbol pengertian. Karena itu, jika gagasan itu sendiri (yang merupakan akar dari masalah ini)   membingungkan maka akan menimbulkan kesimpulan yang salah. Oleh karena itu ia menawarkan metode induksi sejati.
The syllogism consists of propositions, propositions consist of words, words are symbols of notions. Therefore if the notions themselves (which is the root of the matter) are confused and overhastily abstracted from the facts, there can be no firmness in the superstructure. Our only hope therefore lies in a true induction.[20]
Bacon juga menuduh dan menanggapi ilmu yang dirintis oleh Aristoteles, yaitu bahwa ilmu sempurna tak boleh mencari untung, namun harus bersifat kontemplatif. Sebaliknya justru ilmu harus mencari untung, artinya dipakai untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi ini dan bahwa dalam rangka itulah ilmu-ilmu betul-betul berkembang, menjadi nyata dalam sejarah Barat sejak abad ke- 25, menurut Bacon. Pengetahuan manusia hanya berarti jika nampak dalam kekuasaan manusia. Human knowledge adalah human power, seperti disaksikan dalam percetakan (mengakibatkan penyebarluasan buku-buku pengetahuan), mesin (menghasilkan kemenangan dalam perang modern), dan pemakaian magnet (yang memugkinkan manusia mengarungi samudera). Ketiganya itu telah mengakibatkan berubahnya muka bumi, sesuatu yang belum pernah terjadi sebagai hasil ilmu-ilmu yang dikembangkan Aristoteles.[21]
Bacon tidak hanya menyepelekan silogisme, tetapi memandang rendah matematika, agaknya karena tidak cukup eksperimental. Dia sangat memusuhi Aristoteles, tetapi menjujung tinggi Demokritus. Meskipun dia tidak menolak bahwa perjalanan alam semesta ini menunjukkan sebuah tujuan Tuhan, dia keberatan dengan campuran penjelasan teleologis dalam penelitian sebenarnya atas fenomena, segala sesuatu, menurutnya harus dijelaskan dengan menelusuri penyebab-penyebabnya yang pasti.[22] Demikianlah pernyataan Bacon pada pasal LVII :
The most conspicuous example of the first class was Aristotle, who corrupted natural philosophy by his logic: fashioning the world out of categories; assigning to the human soul, the noblest of substances, a genus from words of the second intention; doing the business of density and rarity (which is to make bodies of greater or less dimensions, that is, occupy greater or less spaces), by the frigid distinction of act and power; asserting that single bodies have each a single and proper motion, and that if they participate in any other, then this results from an external cause; and imposing countless other arbitrary restrictions on the nature of things; being always more solicitous to provide an answer to the question and affirm something positive in words, than about the inner truth of things; a failing best shown when his philosophy is compared with other systems of note among the Greeks. For the homoeomera of Anaxagoras; the Atoms of Leucippus and Democritus.[23]
Pendapat Bacon yang tidak menyukai silogisme Aristoteles adalah hal wajar mengingat filsafat Bacon bersifat praktis, yaitu untuk menjadikan manusia menguasi kekuatan – kekuatan alam dengan perantaraan penemuan-penemuan ilmiah. Ia menginginkan filsafat tidak hanya bersifat abstrak yang tidak memiliki manfaat langsung bagi manusia, tetapi filsafat harus membantu manusia pada tataran praksis untuk menguasai alam.
Pemikiran Bacon yang berorientasi pada pemikiran yang praktis tersebut tidak dapat terlepas dari kondisi masyarakat Eropa kala itu yang memasuki masa Renaissance dimana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi berkembang pesat.

D.    METODE INDUKSI YANG DITAWARKAN BACON
Bacon adalah seorang filosof yang berpengaruh pada zamannya. Menurut para ilmuan, Bacon dianggap sebagai perintis perkembangan yang cukup besar pada abad ke 17. Rintisan terkait keinginan Bacon untuk meninggalkan ilmu pengetahuan lama dan mengusahakan ilmu yang baru. Menurut pemikirannya, ilmu pengetahuan lama tidak sanggup memberikan kemajuan, tidak dapat memberikan hasil-hasil yang bermanfaat serta tidak dapat melahirkan hal-hal baru yang berfaedah bagi kehidupan umat manusia.
Bacon berpendapat bahwa orang Yunani terlalu terpesona dengan masalah etis, orang Romawi dengan soal hukum, dan orang pada abad pertengahan dengan teologi. Menurut anggapan Bacon, mereka semua tidak memusatkan diri pada ilmu pengetahuan. Misalnya saja pada Abad Pertengahan, ilmu diperlukan sebagai abdi teologi. Perlakuan ini dianggapnya keliru, karena melalui ilmu itulah, manusia akan dapat memperlihatkan kemampuan kodratinya. Atas dasar pemikiran tersebut, Bacon menyatakan “Knowledge is power” (pengetahuan adalah kuasa). Menurut pemahaman Bacon, pengetahuan inderawi tidak dapat menguasai  segalanya, namun pengetahuan inderawi bersifat fungsional, dapat dipergunakan untuk memajukan kehidupan manusia. Sedangkan “kuasa” dipahaminya sebagai kuasa atas alam (natura non nisi parendo vincitur artinya alam hanya dapat ditaklukkan dengan mematuhinya). Maksud Bacon, bahwa alam hanya bisa dikuasai oleh pikiran kalau pikiran dapat mematuhinya dengan cara memahami hokum-hukumnya, memperlajari sifat-sifat universalnya dan perkecualiannya. Dengan menaklukkan alam, Bacon sangat percaya percaya umat manusia dapat sejahtera melalui ilmu pengetahuannya.
Berdasarkan pemikirannya tersebut, Bacon merumuskan dasar-dasar berpikir induktif modern. Menurutnya, metode induksi yang tepat adalah induksi yang bertitik pangkal pada pemeriksaan yang diteliti dan telaten mengenai data-data particular, yang pada tahap selanjutnya rasio dapat bergerak maju menuju penafsiran terhadap alam (Interpretatio natura). Untuk mencari dan menemukan kebenaran dengan menggunakan metode induksi, Bacon mengemukakan dua cara yang harus dilakukan, yaitu:
1.      Rasio yang digunakan harus mengacu pada pengamatan inderawi yang particular, kemudian mengungkapnya secara umum. Seperti pernyataan Francis Bacon di bawah ini :
One method of delivery alone remains to us which is simply this: we must lead men to the particulars themselves, and their series and order; while men on their side must force themselves for a while to lay their notions by and begin to familiarize themselves with facts.[24]

2.      Rasio yang berpangkal pada pengamatan inderawi yang particular digunakan untuk merumuskan ungkapan umum yang terdekat dan masih dalam jangkauan pengamatan itu sendiri, kemudian secara bertahap mengungkap yang lebih umum di luar pengamatan. Seperti ungkapan Bacon :
“….from the senses and particulars, and rest in the highest generalities; but the difference between them is infinite.

Metode induksi yang ditawarkan Bacon tidak sekedar induksi dengan penjumlahan sederhana. Contoh metode induksi dengan penjumlahan sederhana adalah sebagai berikut :
Pada suatu ketika ada seorang petugas sensus mencatat seluruh kepala keluarga disebuah desa di Wales. Orang pertama yang ditanyai bernama William Williams; kemudian ada orang kedua, ketiga, keempat…terakhir dia berkata pada diri sendiri, “Membosankan; nyata-nyata semuanya bernama William Williams. Saya akan menulis semuanya dengan nama ini dan selesailah pekerjaan saya”. Tetapi dia keliru, ada seorang yang bernama John Jones. Ini menunjukkan bahwa kita bisa terjerumus pada kesalahan jika kita percaya secara terlalu implicit pada induksi dengan penjumlahan sederhana.[25]

Bacon berhasil menemukan suatu metode induksi baru yang benar-benar dapat dipertanggungjawabkan. Metode induksi tradisional yang dikenal dengan nama induction by simple enumeration (induksi melalui penjumlahan sederhana) tidak dapat diandalkan untuk meraih pengetahuan yang benar. Bacon menegaskan bahwa kita tidak boleh menjadi sama seperti laba-laba yang memital jaringnya dari apa yang ada di dalam tubuhnya, atau seperti semut yang semata-mata hanya tahu mengumpulkan, melainkan kita harus sama seperti lebah yang tahu bagaimana mengumpulkan tetapi tahu bagaimana menata. Metode silogisme deduktif digambarkan dengan laba-laba itu, metode induktif tradisional seperti semut yang hanya tahu mengumpul dan metode induktif seperti semut yang hanya tahu mengumpul, dan metode induktif yang telah disepmurnakannya sama dengan lebah yang tahu mengumpul dan menata.[26]
Metode induktif yang dikembangkan oleh Bacon dapat diuraikan lewat contoh berikut ini:
“Bacon ingin mengetahui tentang sifat panas  yang diduganya merupakan gerakan-gerakan tidak teratur yang cepat dari bagian-bagian kecil dari suatu benda. Ia lalu membuat daftar dari benda-benda yang memiliki tingkatan panas berbeda. Lewat penelitian dan penyilidikan yang seksama terhadap daftar masing-masing kelompok benda itu, ia berupaya menemukan karakteristik yang senantiasa hadir pada benda-benda panas, karakteristik yang tidak terdapat pada benda-benda dingin, dan yang selalu ada pada benda-benda yang memiliki tingkatan panas berbeda. Dengan demikian, ia berharap akan berhasil menemukan  suatu hokum yang berlaku umum tentang apa yang diselidikinya”[27]


Untuk menghindari penggunaan metode induksi yang keliru. Bacon menyarankan agar menghindari empat macam idola atau rintangan dalam berpikir, demikian kata Bacon
There are four classes of Idols which beset men's minds. To these for distinction's sake I have assigned names, calling the first class Idols of the Tribe; the second, Idols of the Cave; the third, Idols of the Market Place; the fourth, Idols of the Theater.[28]

1.      Idola tribus (tribus: umat manusia pada umumnya), maksudnya menarik kesimpulan menarik kesimpulan tanpa dasar secukupnya, berhenti pada sebab-sebab yang diperiksa secara dangkal, jasmani dan inderawi saja, suatu wishfull thinking tanpa percobaan dan pengamatan yang memadai. Antara lain tafsiran antropomorphis khususnya dengan menggunakan sebab final.[29] Sebagaimana pernyataan Bacon di bawah ini :
The Idols of the Tribe have their foundation in human nature itself, and in the tribe or race of men. For it is a false assertion that the sense of man is the measure of things. On the contrary, all perceptions as well of the sense as of the mind are according to the measure of the individual and not according to the measure of the universe. And the human understanding is like a false mirror, which, receiving rays irregularly, distorts and discolors the nature of things by mingling its own nature with it.[30]

Berdasarkan pernyataan di atas Idola Tribus menurut Bacon merupakan dasar dalam alam manusia sendiri. Untuk itu sebuah kesalahan manakala kita menganggap bahwa perasaan manusia adalah ukuran dari segala sesuatu karena persepsi manusia itu sesuai dengan ukuran individual dan belum tentu sesuai dengan ukuran universal. Oleh karena itu dalam menggunakan metode induksi jangan sampai terjebak pada pemikiran yang dangkal tetapi diperlukan eksperimen.

2.      Idols of the Cave (cave: gua). Yang dimaksud ialah prasangka dan selera khas pada setiap orang yang membuat manusia seolah-oleh terkurung dalam guanya sendiri dan tertutup seolah-olah terkurung dalam guanya sendiri dan tertutup matanya terhadap apa yang ada di luar gua itu. Demikian pernyataan Bacon :
The Idols of the Cave are the idols of the individual man. For everyone (besides the errors common to human nature in general) has a cave or den of his own, which refracts and discolors the light of nature, owing either to his own proper and peculiar nature; or to his education and conversation with others; or to the reading of books, and the authority of those whom he esteems and admires; or to the differences of impressions, accordingly as they take place in a mind preoccupied and predisposed or in a mind indifferent and settled; or the like. So that the spirit of man (according as it is meted out to different individuals) is in fact a thing variable and full of perturbation, and governed as it were by chance. Whence it was well observed by Heraclitus that men look for sciences in their own lesser worlds, and not in the greater or common world.[31]

Bacon menganggap bahwa Idols of the Cave adalah berhala bagi setiap individu dimana dalam memahami realitas alam terkadang pemikiran manusia menjadi bias sehingga terkadang pemahaman manusia tersebet bisa keliru dalam menangkap realitas hal ini disebabkan karena roh manusia itu penuh dengan gangguan.
3.      Idola fori (forum: pasar), maksudnya anggapan dan pembicaraan umum yang diterima begitu saja tanpa dipersoalkan atau dipertanyakan lagi. Bacon memberi istilah Idols of the Market Place.
There are also Idols formed by the intercourse and association of men with each other, which I call Idols of the Market Place, on account of the commerce and consort of men there. For it is by discourse that men associate, and words are imposed according to the apprehension of the vulgar. And therefore the ill and unfit choice of words wonderfully obstructs the understanding. Nor do the definitions or explanations wherewith in some things learned men are wont to guard and defend themselves, by any means set the matter right. But words plainly force and overrule the understanding, and throw all into confusion, and lead men away into numberless empty controversies and idle fancies[32]

4.      Idola theatri (theatrum: panggung). Yang dimaksud ialah semua system filsafat yang pernah muncul seolah-olah suatu sandiwara raksasa.[33] Disebut theater karena dalam penilaian Bacon semua sistem yang diterima tapi memainkan panggung begitu banyak, yang mewakili dunia ciptaan mereka sendiri setelah mode nyata dan indah. Demikian pernyataan Bacon :
Lastly, there are Idols which have immigrated into men's minds from the various dogmas of philosophies, and also from wrong laws of demonstration. These I call Idols of the Theater, because in my judgment all the received systems are but so many stage plays, representing worlds of their own creation after an unreal and scenic fashion.[34]

E.     EPISTEMOLOGI INDUKTIVISME FRANCIS BACON
a.      Hakikat Pengetahuan
Bacon adalah orang yang sangat mencolok minatnya pada ilmu pengetahuan. Ungkapan Bacon yang terkenal adalah “knowledge is power” (pengetahuan adalah kuasa). Dia sangat berkeyakinan  bahwa pengetahuan adalah sumber kemenangan dan kemakmuran manusia di dunia ini. Dengan pengetahuan, manusia dapat menciptakan mesin untuk memperoleh kemenangan dalam perang. Dengan pengetahuan, manusia juga dapat membuat kompas yang bisa digunakan sebagai petunjuk arah dalam mengarungi lautan atau membuat mesin cetak untuk mempercepat penyebaran ilmu pengetahuan. Seperti pernyataan Bacon di bawah ini :
Human knowledge and human power meet in one; for where the cause is not known the effect cannot be produced. Nature to be commanded must be obeyed; and that which in contemplation is as the cause is in operation as the rule.[35]

Melihat urgensinya ilmu pengetahuan, makanya manusia harus dapat menguasainya. Untuk mendapatkan pengetahuan yang benar, seseorang harus mengetahui terlebih dahulu hakikat dari pengetahuan itu sendiri. Menurut Bacon, hakikat pengetahuan yang sebenarnya adalah pengetahuan yang diterima oleh manusia melalui persentuhan inderawi dengan dunia fakta.
Both ways set out from the senses and particulars, and rest in the highest generalities; but the difference between them is infinite. For the one just glances at experiment and particulars in passing, the other dwells duly and orderly among them.[36]

Persentuhan ini biasanya disebut pengalaman. Bacon berpendapat, pengalaman dari hasil pengamatan yang bersifat particular akan menemukan pengetahuan yang benar dan oleh karena itu ia yakin bahwa pengalaman adalah sumber pengetahuan sejati.

b.      Teori Memperoleh Pengetahuan
Menurut konsepsi Bacon, untuk memperoleh pengetahuan yang benar, harus dilakukan dengan cara-cara benar sebagai berikut : 1) alam diwawancarai, 2) menggunakan metode yang benar, 3) bersikap positif terhadap bahan-bahan yang disajikan alam, artinya orang yang harus menghindarkan dirinya untuk mengemukakan prasangka terlebih dahulu. Hal ini dipandang perlu untuk mencegah timbulnya gambaran-gambaran yang keliru.
Metode yang benar yang dimaksud sebagaimana pendapat Bacon di bawah ini :
There are and can be only two ways of searching into and discovering truth. The one flies from the senses and particulars to the most general axioms, and from these principles, the truth of which it takes for settled and immovable, proceeds to judgment and to the discovery of middle axioms. And this way is now in fashion. The other derives axioms from the senses and particulars, rising by a gradual and unbroken ascent, so that it arrives at the most general axioms last of all. This is the true way, but as yet untried[37]

Ada dua cara untuk mencari dan menemukan kebenaran. Yang pertama dari indra dan dari aksioma khusus untuk aksioma yang paling umum, dan dari prinsip-prinsip ini, kebenaran yang diperlukan untuk diselesaikan dan tidak bergerak, dan menemukan aksioma tengah. Yang lain aksioma berasal dari indera dan khusus, naik dengan pendakian bertahap dan tak terputus, sehingga tiba di aksioma yang paling umum yang terakhir dari semuanya. Ini adalah cara benar, tapi masih perlu diuji coba.
One method of delivery alone remains to us which is simply this: we must lead men to the particulars themselves, and their series and order; while men on their side must force themselves for a while to lay their notions by and begin to familiarize themselves with facts.[38]

Tiga tahapan untuk memperoleh pengetahuan di atas harus dilakukan secara sistematis, dimulai dengan mengamati atau dalam istilah Bacon mewawancari alam  semesta tanpa prasangka, kemudian menetapkan fakta berdasarkan percobaan berkali-kali dengan cara yang bervariasi, kemudian fakta tersebut diikhtisarkan.  Tahap selanjutnya dari proses pengenalan fakta adalah pengenalan hukum-hukumnya, kemudian bentuk tertentu dari sifat-sifatnya yang tunggal. Lalu disusun kembali sehingga menemukan pengetahuan dasar.
Untuk memajukan pengetahuan tentang dunia alam, kata Bacon kita membutuhkan prosedur sistematis dan terkendali yaitu :
1.      Kita harus mengamati fakta, mencatat pengamatan kita, mengumpulkan data yang dapat diandalkan. Pada tahap ini kita harus berhati-hati untuk tidak memaksakan ide-ide terhadap fakta sebaliknya biarkan fakta itu berbicara sendiri apa adanya. Keteraturan dan pola akan muncul,hubungan sebab akibat akan tampak dengan sendirinya dan kita akan mulai bisa melihat hokum-hukum alam yang bekerja disana. Namun demikian kita harus awas dan peka terhadap fakta yang bertentangan. Kita cenderung melompat  pada kesimpulan semata-mata hanya berdasarkan pada bukti yang cocok dengan kesimpulan yang sudah diambil[39]. Seperti pernyataan Bacon :
“…while men on their side must force themselves for a while to lay their notions by and begin to familiarize themselves with facts”.[40]
2.      Apabila kita cukup berdisiplin dalam hal ini, kita akan mulai melihat adanya hukum-hukum umum yang ditampilkan oleh contoh-contoh partikuler dan membentuk hipotesis. Francis Bacon menyatakan demikian :
“…The other derives axioms from the senses and particulars, rising by a gradual and unbroken ascent, so that it arrives at the most general axioms last of all. This is the true way, but as yet untried.[41]

3.      Kemudian dilakukan eksperimen untuk menguji hipotesis. Demikian pernyataan Bacon:
Both ways set out from the senses and particulars, and rest in the highest generalities; but the difference between them is infinite. For the one just glances at experiment and particulars in passing, the other dwells duly and orderly among them. The one, again, begins at once by establishing certain abstract and useless generalities, the other rises by gradual steps to that which is prior and better known in the order of nature.[42]

4.      Apabila eksperimen menegakkan hipotesis itu maka kita telah berhasil menemukan salah satu hukum alam.
5.      kesimpulan berdasarkan penalaran itu.[43] Seperti pernyataan Bacon :
The conclusions of human reason as ordinarily applied in matters of nature, I call for the sake of distinction Anticipations of Nature (as a thing rash or premature). That reason which is elicited from facts by a just and methodical process, I call Interpretation of Nature.[44]

c.       Masalah Kebenaran Pengetahuan
Kebenaran ilmu pengetahuan sifatnya adalah relatif (sesaat) karena mungkin pada saat ini ilmu itu dianggap benar namun diwaktu yang lain akan dianggap salah. Hal ini sesuai dengan pemikiran Bacon yang mencoba mempermasalahkan pengetahuan lama karena pengetahuan tersebut tidak memberi manfaat dan tidak mampu menghasilkan hal-hal yang baru.
Menurut Bacon, banyak sekali keyakinan-keyakinan yang dipertahankan orang hingga saat ini, padahal sebenarnya hal tersebut adalah idola-idola, gambaran-gambaran yang menyesatkan dan pandangan-pandangan yang keliru. Karena itu pengetahuan yang demikian harus dibasmi dan diganti dengan pengetahuan baru.

d.      Pengujian Kebenaran Pengetahuan
Pengujian kebenaran pengetahuan menurut Bacon sama dengan cara memperoleh pengetahuan yaitu dengan observasi. Observasi merupakan upaya untuk menguji kebenaran pengetahuan melalui indera. Dengan pengujian melului pengamatan yang bersifat inderawi atas pengetahuan yang diperoleh, maka akan ditemukan pengetahuan yang memiliki tingkat kebenaran yang tinggi.
Setelah menemukan pengetahuan yang sudah dianggap benar, selanjutnya pengetahuan tersebut dirumuskan menjadi sebuah hukum. Kemudian hukum-hukum tersebut diuji kembali yaitu dengan diterapkan pada keadaan-keadaan yang baru. Jika hokum tersebut bekerja, maka hukum itu baru dapat ditetapkan menjadi sebuah ilmu pengetahuan yang dapat diyakini kebenarannya.

e.       Problem Induktivisme Bacon
Metode induksi yang diprakarsai Bacon untuk memperoleh ilmu pengetahuan berdasarkan dari hasil pengamatan, pemikiran dan uji coba yang dilakukannya, ternyata masih memiliki beberapa sisi kelemahan antara lain :
1.      ketidakmampuan mewujudkan kemajuan ilmu pengetahuan dari metode induksi yang digunakannya, sebab dia hanya tahu tentang apa yang telah dicapai  orang pada zamannya saja.
2.      metode yang digunakannya tersebut masih memperlihatkan hal-hal yang bertentangan, misalnya penolakan terhadap prasangka, tetapi dilain waktu ia menggunakan prsangka untuk menemukan pengetahuan.
3.      Bacon mengklaim bahwa metode induksi yang baru melampaui metode induksi yang lalu, sebab metodenya menuju kepada generalisasi “semua” hal, tidak hanya kepada beberapa cirri yang dimiliki oleh anggota-anggota suatu golongan yang terbatas saja. Klaim demikian merupakan klaim yang gegabah karena dalam tulisan berikutnya dia menyatakan bahwa akan sulitnya melakukan generalisasi dari hasil metode induksi. Generalisasi hanya dapat dilakukan dalam kasus tertentu yang relevan dengan obyek yang sedang diamati.
Disamping itu keterbatasan induktivisme dalam perannya menyumbangkan pengetahuan melalui metode ilmiah dianalisis dari kritik-kritik yang diberikan terhadapnya. Kritik  terhadap empirisme yang diungkapkan oleh Honer dan Hunt (1968) dalam Suriasumantri terdiri atas tiga bagian :
1.      Pengalaman yang merupakan dasar utam induktivisme seringkali tidak berhubungan langsung dengan kenyataan objektif. Pengalaman ternyata bukan semata-mata sebagai tangkapan pancaindera saja. Sebab seringkali pengalaman itu muncul yang disertai dengan penilaian. Dengan kajian yang mendalam dan kritis diperoleh bahwa konsep pengalaman merupakan pengertian yang tidak tegas untuk dijadikan sebagai dasar dalam membanguan suatu teori pengetahuan yang sistematis. Disamping itu pula, tidak jarang ditemukan bahwa hubungan berbagai fakta tidak seperti apa yang diduga sebelumnya.
2.      Dalam mendapatkan fakta dan pengalaman pada alam nyata, manusia sangat tergantung pada persepsi panca indera. Pegangan induktivisme yang demikian menimbulkan bentuk kelemahan lain. Pancaindera manusia memiliki keterbatasan. Sehingga keterbatasan pancaindera, persepsi suatu obyek yang ditangkap dapat saja keliru dan menyesatkan.
3.      Dalam induktivisme pada prinsipnya pengetauan yang diperoleh bersifat tidak pasti. Prinsip ini sekalipun merupakan kelemahan, tapi sengaja dikembangkan dalam induktivisme dan empirisme untuk memberikan sifat kritis ketika membangun sebuah pengetahuan ilmiah. Semua fakta yang diperlukan untuk menjawab keragu-raguan harus diuji terlebih dahulu.[45]




F.     RELEVANSI INDUKTIVISME BACON TERHADAP ILMU PENDIDIKAN ISLAM
Walaupun masih banyak kritikan terhadap metode induksi Bacon, namun metode induksi Bacon ini telah memberi sumbangan bagi permikir setelahnya misalnya saja ilmuwan-ilmuwan seperti Boyle, Hooke  dan Newton dalam derajat yang berbeda menyatakan keterikatannya dengan filsafat Bacon.
Pemikiran Bacon tersebut memiliki relevansi dengan Ilmu Pendidikan Islam dimana Bacon mengajarkan agar tidak terlalu mudah percaya terhadap pemahaman orang termasuk dalam hal ini adalah pemahaman orang tentang Islam. Demikian juga dengan teori-teori pendidikan yang telah dihasilkan oleh para pemikir pendidikan Islam. Sebaliknya kita harus kritis dan berusaha untuk mengkaji secara mendalam terhadap teori-teori yang mereka bangun.
Disamping itu Bacon juga selalu mendorong agar ilmu pengetahuan senantiasa mampu memberikan konstribusi bagi perkembangan dan kemajuan manusia. Demikian juga dengan ilmu pendidikan Islam hendaknya juga diarahkan untuk dapat mengembangkan pendidikan Islam sehingga dapat memajukan kembali dunia Islam.
Salah satu pemikiran Bacon yang berbeda dengan pemikiran filosof sebelumnya adalah perlunya data dalam menyimpulkan segala sesuatu. Hal ini telah menggiring kita agar di dalam mengkaji Islam dan menyimpulkan segala hal harus selalu didukung oleh data yang kuat.
.

G.    PENUTUP
Kesimpulan

Induktivisme Bacon merupakan kritik terhadap metode deduksi yang diajukan oleh Aristoles yang menurut Bacon tidak mampu memberikan pengaruh nyata bagi perkembangan ilmu pengetahuan. Dalam induktivisme hakikat pengetahuan adalah power yang harus mendorong kemajuan manusia.
Untuk memperoleh pengetahuan yang benar maka harus dilakukan dengan cara-cara yang benar yaitu 1) alam diwawancarai, 2) menggunakan metode yang benar, 3) bersikap pasif terhadap bahan-bahan yang disajikan oleh alam. Pengetahuan tersebut dinyatakan benar manakala ia dapat diuji melalui proses observasi. Sekalipin demikian sebagai manusia induktivisme Francis Bacon tidaklah sempurna. Ada beberapa sisi kelemahan dari Induktivisme Francis Bacon ini yaitu ketergantungannya pada observasi dan menonjolnya peranan indera. Pada hal kita tahu bahwa observasi dan peranan indera sangatlah terbatas.
Relevansi pemikiran Francis Bacon dengan Ilmu Pendidikan Islam adalah merubah paradigma berpikir kita bahwa hendaknya kita tidak selalu mengikuti teori-teori yang sudah dibangun oleh para tokoh pendidikan Islam tanpa melalui proses berpikir kritis dengan menggunakan metode yang benar.



























DAFTAR PUSTAKA

Bacon, Francis The New Organon, www.constitution.org/bacon/nov org.html dalam Google.com

Magee, Bogan, The Story of philosophy penerjemah: Marcus Widodo, Yogyakarta; Kanisius, 2008

Mahdi, adnan, “topik-topik epistemology” http://stai-sambas.blogspot.com/2009/10 dalam google.com, 2009

Rapar, Jan Hendrik , Pengantar Filsafat Yogyakarta:Penerbit Kanisius,1996

Rusell, Betrand, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio Politik Zaman Kuno hingga Sekarang penerjemah: Sigit Jatmiko dkk, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007

Syadali, Ahmad dan Mudzakir, Filsafat Umum: Untuk IAIN, STAIN, PTAIS (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004

Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu: Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003

Verhak, C., R.Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Atas Cara kerja Ilmu-Ilmu Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 1995




[1] Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum: Untuk IAIN, STAIN, PTAIS (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2004), hlm. 24
[2] Jan Hendrik Rapar,Pengantar Filsafat (Yogyakarta:Penerbit Kanisius,1996), hlm. 37
[3]Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu: Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan (Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 2003), hlm. 32
[4] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, hlm.113
[5] Ibid, hlm.113
[6] C. Verhak, R.Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan: Telaah Atas Cara kerja Ilmu-Ilmu (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka, 1995), hlm.137
[7] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, hlm.113
[8] Betrand Rusell, Sejarah Filsafat Barat: Kaitannya dengan Kondisi Sosio Politik Zaman Kuno hingga Sekarang (terj. Sigit Jatmiko dkk) (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 711
[9] Betrand Rusell, Sejarah Filsafat Barat, hlm. 711-712
[10] C. Verhak, R.Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan, hlm. 138
[11]  Betrand Rusell, Sejarah Filsafat Barat, hlm. 712
[12] Ahmad Syadali dan Mudzakir, Filsafat Umum,hlm 117
[13] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, hlm, 104
[14] Ibid, hlm. 105
[15] Ibid,hlm 105
[16] Betrand Rusell, Sejarah Filsafat Barat, hlm. 713
[17] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat, hlm, 114
[18] Francis Bacon, The New Organon, www.constitution.org/bacon/nov org.html dalam Google.com pasal XI
[19] Ibid,pasal XII
[20] Ibid,pasal XIV
[21] C. Verhak, R.Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan,hlm. 139
[22] Betrand Rusell, Sejarah Filsafat Barat,  hlm. 714
[23] Francis Bacon, The New Organon pasal LXIII
[24] Francis Bacon, The New Organon, pasal  XXXVI
[25] Ibid,hlm. 713-714
[26] Jan Hendrik Rapar, Pengantar Filsafat,  hlm, 114
[27] Ibid, hlm 114
[28] Francis Bacon, The New Organon, www.constitution.org/bacon/nov org.html dalam Google.com pasal XXXIX
[29] C. Verhak, R.Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan,hlm.143
[30] Francis Bacon, The New Organon, pasal XLI
[31] Francis Bacon, The New Organon, pasal XLII
[32] Ibid, pasal XLIII
[33] C. Verhak, R.Haryono Imam, Filsafat Ilmu Pengetahuan,hlm.143
[34] Francis Bacon, The New Organon, pasal XLIV
[35] Francis Bacon, The New Organon, pasal III
[36] Ibid, pasal XXII
[37] Ibid,pasal XIX
[38] Ibid, pasal XXXVI
[39] Bogan Magee, The Story of philosophy terj: Marcus Widodo, (Yogyakarta; Kanisius, 2008), hlm. 75-76
[40] Francis Bacon, The New Organon pasal XXXVIII
[41] Ibid,pasal XIX
[42] Ibid, XXII
[43] Bogan Magee, The Story of philosophy hlm. 76
[44] Francis Bacon, The New Organon pasal XXVI
[45] http://stai-sambas.blogspot.com/2009/10/ adnan mahdi-topik-topik epistemologi