PENGELOLAAN
PENDIDIKAN DI MADRASAH
A.
PENDAHULUAN
Madrasah sebagai bagian dari
penyelenggara pendidikan nasional saat ini juga dituntut untuk mampu melakukan
penyelenggaraan pendidikan sesuai dengan standar nasional pendidikan yang
dirumuskan oleh Pemerintah. Standarisasi yang dimaksud menurut PP nomor 19
tahun 2005 meliputi standar pendidik tenaga kependidikan, standar proses,
standar sarana prasarana, standar pembiayaan, standar sarana prasarana, standar
pengelolaan, standar kompetensi lulusan, dan standar penilaian.
Dengan melakukan proses
standarisasi penyelenggaraan pendidikan ini diharapkan madrasah mampu bersaing
dengan sekolah umum khususnya dalam penyelenggaraan pendidikan umum. Apalagi
dalam proses pengelolaan pendidikan, pemerintah telah mendorong adanya otonomi
pendidikan. Dengan demikian madrasah bisa lebih leluasa dalam melakukan proses
manajemen sekolah yang mengarah pada peningkatan mutu madrasah.
Pengelolaan madrasah dengan
menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah merupakan cara pandang baru
dalam manajemen pendidikan di Indonesia. Manajemen Berbasis Sekolah/Madrasah
ini diarahkan pada peningkatan mutu pendidikan dengan memanfaatkan segala
potensi yang ada dengan pengelolaan yang dilakukan secara mandiri. Walaupun MBS
menjamin adanya keleluasaan madrasah dalam melakukan pengelolaan namun demikian
harus ada standar minimal yang harus dipenuhi oleh madrasah dalam melakukan
proses pengelolaan pendidikan oleh karena itu Pemerintah mengeluarkan PP nomor
19 tahun 2005 tentang standar nasional
pendidikan dan Permendiknas nomor 19 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan
Pendidikan.
Pada makalah ini penulis akan
mencoba membahas pengelolaan pendidikan madrasah yang meliputi: a) Paradigm
baru manajemen pendidikan di Indonesia, b) Dasar hukum pengelolaan pendidikan di
Indonesia, c) Pembagian kerja pengelolaan pendidikan di Indonesia, d) Idealisasi
pengelolaan pendidikan madrasah, e) Problematika pengelolaan pendidikan
madrasah, f) Pendekatan Balance Score Card sebagai tawaran pendekatan
pengelolaan pendidikan di Madrasah.
B.
PEMBAHASAN
a.
Paradigma Baru
Pengelolaan Pendidikan di Indonesia
Dari sentralisasi ke desentralisasi
menjadi salah satu isu sentral paradigma manajerial keorganisasian
kontemporer, baik disektor pemerintahan, bisnis maupun isntitusi pendidikan.
Realitas sejarah membuktikan bahwa pemerintah dengan format sentralisasi
manajemen untuk sebagian besar kasus mengalami kebangkrutan.[1]Oleh
karena itu seiring dengan bergulirnya reformasi, perubahan paradigm dari
sentralisasi menuju desentralisasi pun turut bergulir. Wujud nyata dari
perubahan itu adalah lahirnya dua undang-undang yaitu UU nomor 22 tahun 1999
dan UU nomor 25 tahun 1999.
Diundangkannya UU nomor 22 tahun 1999
tentang Otonomi Daerah dan UU nomor 25 tahun 1999 tentang Perimbangan Keungan
Pusat dan Daerah pada hakikatnya memberi kewenangan dan keleluasaan kepada
daerah untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut
prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Kewenangan diberikan kepada daerah kabupaten dan kota
berdasarkan asas desentralisasi dalam wujud otonomi luas, nyata, dan
bertanggungjawab.[2]
Munculnya undang-undang tersebut
telah membawa perubahan dalam berbagai bidang kehidupan termasuk di dalamnya
pendidikan. Bila sebelumnya manajemen pendidikan merupakan wewenang pusat,
dengan berlakunya undang-undang tersebut dialihkan ke pemerintah kota dan
kabupaten. Dalam pelaksanaannya, baik dari segi kewenangan maupun sumber dana
pendidikan, pemerintah daerah kabupaten dan kota akan memegang peranan yang
sangat penting[3]
Desentralisasi pendidikan tidak
hanya pelimpahan wewenang dari pemerintah pusat ke daerah tetapi juga ke
sekolah sebagai institusi penyelenggara pendidikan. Desentralisasi pendidikan
disekolah ini kemudian disebut dengan istilah MBS (Manajemen Berbasis Sekolah)
yaitu pardigma manajemen sekolah yang berbasis pada potensi internal sekolah
itu sendiri.[4] Pengukuhan
MBS sebagai paradigma baru dalam manajerial pendidikan di Indonesia dikukuhkan
melalui UU nomor 20 tahun 2003, dimana pada pasal 51 ayat 1 menyebutkan bahwa
pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah dilakanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip
manajemen berbasis sekolah/madrasah. Dengan demikian MBS tidak lagi sebagai
sebuah wacana tetapi sudah menjadi paradigm dalam pengelolaan pendidikan di
Indonesia.
Menurut Mulyasa, MBS adalah suatu
ide tentang pengambilan keputusan pendidikan yang diletakkan pada posisi yang
paling dekat dengan pembelajaran yaitu sekolah.[5]Sedangkan
Sudarwan Danim mendefinisikan MBS sebagai proses kerja komunitas sekolah dengan
cara menerapkan kaidah-kaidah otonomi, akuntabilitas, partisipasi, dan
sustainabilitas untuk mencapai tujuan pendidikan dan pembelajaran secara
bermutu.[6]
Menurut Nurcholis ada beberapa
alasan yang menjadi alasan pemilihan MBS sebagai model manajemen pendidikan di
Indonesia. Pertama, sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan,
peluang dan ancaman bagi dirinya sehingga sekolah dapat mengoptimalkan
pemanfaatan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya. Kedua,
sekolah lebih mengetahui kebutuhannya. Ketiga, keterlibatan warga
sekolah dan masyarakat dalam pengemabilan keputusan dapat menciptakan transparansi
dan demokrasi yang sehat.[7]
Disamping itu ada juga alasan lain yang juga memperkuat perlunya penggunaan MBS
dalam pengelolaan pendidikan yaitu bahwa konsep MBS terbukti telah berhasil
diterapkan di negara-negara maju.[8]
Alasan-alasan tersebut tepat
mengingat salah satu karakteristik MBS adalah meberikan otonomi luas kepada
sekolah untuk mengoptimalkan kinerjanya. Disamping itu MBS juga memiliki
karaktersitik memberikan partisipasi masyarakat dan orang tua sehingga
masyarakat dan orang tua sebagai user mempunyai peranan penting dalam
mengembangkan sekolah/madrasah. Karakteristik lain dari MBS yaitu kepemimpinan
yang demokratis dan professional dan team work yang kompak dan transparan.
Pemaduan antara kepemimpinan yang
demokratis dan team work yang kompak dan transparan akan mendorong optimalisasi
kinerja sekolah/madrasah.
Secara umum manfaat yang dapat
diperoleh dalam melaksanakan MBS adalah sebagai berikut:
1.
Sekolah dapat
mengoptimalkan sumber daya yang tersedia untuk memajukan sekolahnya, karena
bisa lebih mengetahui peta kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman yang
mungkin dihadapi;
2.
Sekolah lebih
mengetahui kebutuhan lembaganya khususnya input dan output
pendidikan yang akan dikembangkan dan didayagunakan dalam proses pendidikan
sesuai dengan tingkat perkembangan dan kebutuhan peserta didik;
3.
Pengambilan keputusan
partisipatif yang dilakukan dapat memenuhi kebutuhan sekolah karena sekolah
lebih tahu apa yang terbaik bagi sekolahnya;
4.
Penggunaan sumber daya
pendidikan lebih efesien dan efektif apabila masyarakat turut serta mengawasi;
5.
Keterlibatan warga
sekolah dalam pengambilan keputusan sekolah menciptakan transparansi dan
demokrasi yang sehat;
6.
Sekolah
bertanggungjawab tentang mutu pendidikan di sekolahnya kepada pemerintah, orang
tua, peserta didik dan masyarakat
7.
Sekolah
dapat bersaing dengan sehat untuk meningkatkan mutu pendidikan;
8.
Sekolah
dapat merespon aspirasi masyarakat yang berubah dengan pendekatan yang tepat
dan cepat.[9]
Inilah
paradigma baru manajemen pendidikan di Indonesia. Manajemen yang memberikan
kewenagan seluas-luasnya kepada sekolah/madrasah untuk mengelola pendidikan
secara mandiri dalam rangka mengembangkan mutu pembelajaran sesuai potensi yang
dimiliki.
b.
Dasar
Hukum Pengelolaan Pendidikan di Indonesia
Peraturan
perundang-undangan yang mengatur tentang pengelolaan pendidikan
sekolah/madrasah meliputi :
1.
Undang-Undang
Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pada bab XIV mulai dari
pasal 50 s.d 52 disebutkan tentang pengelolaan pendidikan.
2.
Peraturan
Pemerintah nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendididkan pada bab
VIII mulai dari pasal 49 s.d 61 dibahas secara rinci mengenai standar
pengelolaan
3.
Permendiknas
nomor 19 Tahun 2007 tentang standar pengelolaan pendidikan. Pada permendiknas
ini secara rinci di bahas mengenai standar pengelolaan pendidikan.
c.
Pembagian
Kerja Pengelolaan Pendidikan di Indonesia
Menurut pasal
50 UU nomor 20 tahun 2003 disebutkan bahwa pengelolaan system pendidikan
nasional merupakan tanggungjawab Menteri Pendidikan Nasional. Oleh karena itu pemerintah melalui
Menteri Pendidikan Nasional akan menentukan kebijakan nasional dan standar
nasional pendidikan untuk menjamin mutu pendidikan nasional. Pengelolaan
pendidikan dalam UU ini telah mendorong adanya desentralisasi dan pemberian
otonomi kepada daerah untuk melakukan pengelolaan pendidikan secara mandiri.
Berkaitan
dengan tanggungjawab pengelolaan pendidikan menurut PP nomor 19 tahun 2005
dibagi menjadi tiga tingkat yaitu 1) pengelolaan pendidikan oleh satuan
pendidikan, 2) pengelolaan pendidikan oleh pemerintah daerah, dan 3)
pengelolaan pendidikan oleh pemerintah.
Pengelolaan
pendidikan oleh satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah
dilaksanakan dengan menerapkan manajemen berbasis sekolah/madrasah yang
ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan dan
akuntabilitas.[10] Untuk
pengelolaan pendidikan oleh satuan pendidikan pembahasan secara rinci akan
dibahas pada bagian d makalah ini karena pembahasan tentang pengelolaan
pendidikan oleh satuan pendidikan ini merupakan pembahasan inti dalam makalah
ini.
Pengelolaan
pendidikan oleh pemerintah daerah lebih ditekankan pada penyusunan program
kerja tahunan bidang pendidikan dengan memprioritaskan program-program sebagai
berikut yaitu:
1.
Wajib belajar,
2.
Peningkatan angka
partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah,
3.
Penuntasan
pemberantasan buta aksara,
4.
Penjaminan
mutu pada satuan pendidikan, baik yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah
maupun masyarakat,
5.
Peningkatan
status guru sebagai profesi,
6.
Akreditasi pendidikan
7.
Peningkatan relevansi
pendidikan terhadap kebutuhan masyarakat, dan
Adapun
pengelolaan pendidikan oleh pemerintah terkait dengan penuyusunan rencana kerja
tahunan bidang pendidikan yang memprioritaskan program :
1.
Wajib belajar
2.
Peningkatan
angka partisipasi pendidikan untuk jenjang pendidikan menengah dan tinggi
3.
Penuntasan
pemberantasan buta aksara
4.
Penjaminan
mutu pada satuan pendidikan baik yang diselenggarakan oleh pemerintah maupun
masyarakat
5.
Peningkatan status guru
profesi
6.
Peningkatan mutu dosen
7.
Standarisasi pendidikan
8.
Akreditasi pendidikan
9.
Peningkatan relevansi
pendidikan terhadap kebutuhan local, nasional dan global
10.
Pemenuhan
standar pelayanan minimal bidang pendidikan, dan
11. Penjaminan
mutu pendidikan nasional.[12]
Disamping itu pemerintah dan
pemerintah daerah juga menyelanggarakan minimal satu satuan pendidikan pada
jenjang pendidikan dasar dan satu satuan pendidikan pada jenjang pendidikan
menengah untuk dikembangkan menjadi satuan pendidikan bertaraf internasional.
Termasuk pengembangan perguruan tinggi bertinggi bertaraf internasional yang
menjadi tanggungjawab Menteri.[13]
Itulah standar pengelolaan pendidikan oleh pemerintah.
d.
Idealisasi Pengelolaan
Pendidikan di Madrasah
Sebelum masuk pada pembahasan pengelolaan
pendidikan di madrasah, tidak ada salahnya kita mengkaji sekilas tentang
perbedaan madrasah dan sekolah. Hal ini dimaksudkan agar kita lebih mudah
memahami pengelolaan pendidikan di madrasah secara tepat dengan kita memahami
terlebih dahulu karakteristik madrasah.
Perbedaan sekolah dan madrasah
dapat dilihat dari tiga pendekatan, pertama, secara simbolik, kedua,
secara substansial dan yang ketiga, secara institusional. Dengan pendekatan simbolik maka kita akan membedakan
antara sekolah dengan madrasah dengan symbol-simbol. Misalnya mata pelajaran
PAI di madrasah dibagi ke dalam sub-sub mata pelajaran seperti fiqh, Al Qur’an
Hadits, Aqidah Akhlak, Fiqh, Sejarah Kebudayaan Islam, dan Bahasa Arab
sedangkan untuk sekolah umum/non madrasah PAI digabung menjadi satu dan
porsinya hanya 2 jam/minggu. Di madrasah para siswanya memakai jilbab dan siswa
puteranya memakai celana panjang,sedangkan pada sekolah non madrasah para siswa
puterinya tidak harus berjilbab, dan sebagainya.[14]
Secara
substansial, perbedaan madrasah dan sekolah umum adalah bahwa madrasah
merupakan sekolah umum berciri khas agama Islam. Ciri khas ini berbentuk : 1)
mata pelajaran-mata pelajaran keagamaan yang dijabarkan dari pendidikan agama
Islam, yaitu Al Qur’an-Al Hadits, Aqidah Akhlak, Fiqh, Sejarah Kebudayaan
Islam, dan Bahasa Arab, 2) suasana keagamaan, yang berupa suasana kehidupan madrasah
yang agamis, adanya sarana ibadah, penggunaan metode pendekatan yang agamis
dalam penyajian bahan pelajaran bagi setiap mata pelajaran yang memungkinkan,
dan kualifikasi guru yang harus beragama Islam dan berakhlak mulia, disamping
memenuhi kualifikasi sebagai tenaga pengajar berdasar ketentuan yang berlaku.[15]
Secara
institusional, madrasah khususnya yang negeri pengelolaannya dibawah kementrian
agama sedangkan sekolah yang umum pada umumnya dibawah naungan kementrian
pendidikan nasional. Namun demikian kementrian lain juga memilik lembaga
pendidikan yang juga bercorak umum bukan
madrasah seperti kementrian kesehatan mempunyai SMF (Sekolah Menengah Farmasi),
Kementrian Pertahanan mempunyai SMA Taruna Nusantara, Kementrian Pertanian
mempunyai Sekolah Pertanian Menengah Atas (SPMA), Kementrian perhubungan
mempunyai Sekolah Penerbangan, Sekolah Pelayaran, Sekolah Perkapalan dan
sebagainya.[16] Dengan
demikian secara institusional, madrasah merupakan sekolah yang diselenggarakan
dan dibawah koordinasi kementrian Agama.
Dari ketiga
pendekatan di atas, hal yang perlu kita jadikan pijakan dalam kaitannya dengan
pengelolaan pendidikan adalah perbedaan madrasah dan sekolah/non madrasah pada
sisi substansialnya. Pada pembahasan di atas disebutkan bahwa secara
substansial perbedaan madrasah dengan sekolah umum terletak pada kurikulum
pendidikan agama Islam dan suasana keagamaannya. Oleh karena itu dalam
pengelolaan pendidikan di madrasah ada beberapa hal yang berbeda dengan sekolah
umum.
Dalam
kaitannya dengan pengelolaan pendidikan pemerintah telah mengeluarkan kebijakan
mengenai standar pengelolaan pendidikan sebagaimana sekilas telah di bahas pada
pembahasan sebelumnya. Pada PP nomor 19 tahun 2005 dijelaskan bahwa pengelolaan
pendidikan dilakukan oleh pemerintah, pemerintah daerah dan satuan pendidikan.
Berbicara
pengelolaan pendidikan madrasah berarti kita akan membicarakan pengelolaan
pendidikan yang diselenggarakan oleh satuan pendidikan. Dalam pasal 51 UU nomor
20 tahun 2003 dijelaskan bahwa pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini,
pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilakanakan berdasarkan standar
pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah.
Dalam
kaitannya dengan ini, pemerintah telah memberikan beberapa standar pengelolaan
secara umum tentang pengelolaan pendidikan oleh satuan pendidikan khususnya madrasah dengan mengacu pada PP
nomor 19 tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan. Dibawah ini penulis
rumuskan standar pengelolaan pendidikan di madrasah dengan mengacu pada PP
nomor 19 tahun 2005:
1.
Setiap
satuan pendidikan dipimpin oleh seorang kepala satuan pendidikan yang menjadi
penanggungjawab terhadap pengelolaan pendidikan pada satuan pendidikan yang
dipimpinnya. Kepala satuan pendidikan ini dibantu minimal satu orang wakil kepala
satuan pendidikan untuk satuan pendidikan SMP/MTs/SMP LB sederajat dan minimal
tiga orang wakil kepala satuan pendidikan untuk satuan pendidikan SMA/MA/SMA
LB, SMK/MAK. Ketiga wakil kepala satuan pendidikan ini membidangi akademik,
sarana prasarana, dan kesiswaan. Dari kebijakan tersebut maka pengelolaan
pendidikan di madrasah dibawah tanggungjawab Kepala Madrasah yang dibantu oleh
minimal seorang wakil kepala madrasah untuk jenjang pendidikan MTs dan minimal tiga
wakil kepala madrasah yang meliputi wakil kepala madrasah bidang akademik,
wakil kepala madrasah bidang sarana prasarana dan wakil kepala madrasah bidang
kesiswaan untuk jenjang pendidikan Madrasah Aliyah. (pasal
50)
2.
Pengambilan keputusan
pada satuan pendidikan dasar dan menengah dalam bidang akademik diputuskan
melalui rapat dewan pendidik yang dipimpin oleh kepala satuan
pendidikan.Sedangkan pengambilan keputusan dalam bidang nonakademik dilakukan
oleh komite sekolah dengan dihadiri kepala satuan pendidikan. Dalam konteks
madrasah, pengambilan keputusan yang menyangkut akademis diputuskan melalui
rapat dewan guru yang dipimpin oleh kepala madrasah sedangkan pengambilan
keputusan nonakademik diambil melalui rapat komite madrasah dengan dihadiri
kepala madrasah. Rapat dewan guru dan komite madrasah ini harus dilaksanakan
atas prinsip musyawarah mufakat yang berorientasi pada peningkatan mutu
madrasah. (pasal 51)
3.
Satuan pendidikan
khususnya madrasah harus memiliki pedoman yang mengatur tentang :
a)
Kurikulum Tingkat
Satuan Pendidikan dan Silabus
b)
Kalender
Pendidikan/Akademik yang menunjukkan seluruh kategori aktivitas satuan
pendidikan selama satu tahun dan dirinci secara semesteran, bulanan dan
mingguan.
c)
Struktur organisasi
satuan pendidikan
d) Pembagian
tugas diantara pendidik
e)
Pembagian tugas
diantara tenaga kependidikan
f)
Peraturan akademik
g)
Tata tertib satuan
pendidik yang minimal meliputi tata tertib pendidik, tenaga kependidikan dan
peserta didik, serta penggunaan dan pemeliharan sarana dan prasarana
h)
Kode
etik hubungan antar sesama warga di dalam satuan pendidikan dan hubungan antara
warga satuan pendidikan dengan masyarakat
i)
Biaya operasional
satuan pendidik (pasal 52)
4.
Pedoman yang menyangkut
KTSP dan silabus, kalender akademik, pembagian tugas pendidik dan tenaga
kependidikan, peraturan akademik dan kode etik diputuskan melalui rapat dewan
pendidik/guru dan ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan (madrasah).
Sedangkan pedoman yang menyangkut struktur organisasi satuan pendidikan dan
biaya operasional satuan pendidikan diputuskan melalui rapat komite yang
dihadiri kepala satuan pendidikan (kepala madrasah). Adapun untuk tata tertib
satuan pendidikan ditetapkan oleh kepala satuan pendidikan (kepala madrasah)
dan untuk pembagian tugas tenaga kependidikan ditetapkan oleh pimpinan satuan
pendidikan. (pasal 52)
5.
Pengelolaan pendidikan
di madrasah didasarkan pada rencana kerja tahunan yang merupakan penjabaran
secara rinci rencana kerja jangka menengah madrasah yang meliputi masa 4 tahun.(Pasal
53)
6.
Madrasah harus menyusun
rencana kerja yang disetujui oleh dewan guru dengan memperhatikan pertimbangan
komite madrasah. Rencana kerja tahunan madrasah meliputi:
a)
Kalender
pendidikan/akademik yang meliputi jadwal pembelajaran, ulangan, ujian, kegiatan
ekstrakurikuler dan hari libur
b)
Jadwal penyusunan
kurikulum tingkat satuan pendidikan untuk tahun berikutnya
c)
Mata
pelajaran yang ditawarkan di semester genap dan semester ganjil
d)
Penugasan
pendidik pada mata pelajaran dan kegiatan lainnya
e)
Buku
teks pelajaran yang dipakai pada masing-masing mata pelajaran
f)
Jadwal penggunaan dan
pemeliharaan sarana prasarana pembelajaran
g)
Pengadaan,
penggunaan, dan persediaan minimal bahan habis pakai
h)
Program
peningkatan mutu pendidik dan tenaga kependidikan yang meliputi
sekurang-kurangnya jenis, durasi, peserta, dan penyelenggaraan program
i)
Jadwal
rapat dewan pendidik, rapat komite, rapat konsultasi satuan pendidikan dengan
orang tua/wali peserta didik, dan rapat satuan pendidikan dengan sekolah/madrasah
j)
Rencana Anggaran
Pendapatan dan Belanja Madrasah untuk masa kerja satu tahun
k)
Jadwal
penyusunan laporan akuntabilitas dan kinerja madrasah untuk satu tahun
terakhir. (pasal 53)
7.
Pengelolaan madrasah
dilaksanakan secara mandiri, efektif, efesien dan akuntabel dan pelaksanaan
pengelolaan pendidikan ini menjadi tanggungjawab kepala madrasah.(pasal 54)
8.
Pengawasan madrasah
meliputi pemantauan, supervisi, evaluasi, pelaporan dan tindak lanjut hasil
pengawasan (pasal 55)
a)
Pemantauan dilakukan
oleh pimpinan madrasah dan komite madrasah atau perwakilan pihak lain yang
berkepentingan secara teratur dan berkesinambungan untuk menilai efesiensi,
efektifitas dan akuntabilitas madrasah (pasal 56)
b)
Supervisi meliputi
supervisi manajerial dan akademik yang dilakukan secara teratur dan
berkesinambungan oleh pengawas atau penilik madrasah dan kepala madrasah (Pasal
57)
c)
Pelaporan dilakukan
oleh pendidik, tenaga kependidikan, pimpinan madrasah, kepala madrasah dan
pengawas atau penilik madrasah (pasal 58)
i. Laporan
oleh pendidik disampaikan kepada kepala madrasah dan orang tua/wali siswa yang
berisi penilaian dan hasil evaluasi yang dilakukan sekurang-kurangnya setiap
akhir semester
ii. Laporan
oleh tenaga kependidikan disampaikan kepada kepala madrasah dan pihak-pihak lain yang berkepentingan yang berisi teknis dan pelaksanaan tugas
masing-masing dan dilakukan sekurang-kurangnya setiap akhir semester
iii. Laporan
dari kepala madrasah disampaikan kepada komite madrasah yang berisi hasil
evaluasi dan dilakukan sekurang-kurangnya setiap akhir semester.
iv. Laporan
dari pengawas madrasah disampaikan kepada Kepala Kantor Kementrian Agama
Kabupaten/Kota dan madrasah yang bersangkutan.
Standar
pengelolaan di atas kemudian dijabarkan secara rinci dan teknis melalui
Peraturan Menteri Pendidikan Nasional nomor 19 tahun 2007 tentang standar
pengelolaan pendidikan. Dalam permendiknas ini secara teknis mengatur hal-hal
yang berkaitan dengan perencanaan program, pelaksanaan program, evaluasi dan
pengawasan, kepemimpinan
sekolah/madrasah, system informasi manajemen dan penilaian khusus.
Dalam
perencanaan program menurut Permendiknas nomor 19 tahun 2007, khususnya
perencanaan program madrasah harus memuat 1) Visi madrasah, 2) misi madrasah,
3) tujuan madrasah,dan 4) rencana kerja madrasah, rencana kerja ini meliputi
rencana kerja jangka menengah dan rencana kerja tahunan. Rencana
kerja tahunan memuat ketentuan yang jelas mengenai:
1)
kesiswaan;
2)
kurikulum dan kegiatan
pembelajaran;
3)
pendidik dan tenaga kependidikan serta
pengembangannya;
4)
sarana dan prasarana;
5)
keuangan dan pembiayaan;
6)
budaya dan lingkungan
sekolah;
7)
peranserta masyarakat dan kemitraan;
8)
rencanarencana
kerja lain yang mengarah kepada peningkatan dan pengembangan mutu.
Dalam pelaksanaan program madrasah, hal yang diatur dalam
permendiknas ini meliputi pedoman madrasah, struktur organisasi madrasah, pelaksanaan
kegiatan madrasah, bidang kesiswaan, bidang kurikulum dan kegiatan
pembelajaran, bidang pendidik dan tenaga kependidikan, bidang sarana dan
prasarana, bidang keuangan dan pembiayaan, budaya dan lingkungan madrasah,dan peran serta masyarakat dan kemitraan
madrasah.
Dalam kaitannya dengan evaluasi dan pengawasan,
permendiknas ini memberikan petunjuk teknis yang meliputi program pengawasan,
evaluasi diri, evaluasi dan pengembangan KTSP, evaluasi pendayagunaan pendidik
dan tenaga kependidikan, dan akreditasi madrasah.Adapun yang berkaitan dengan
kepemimpinan madrasah lebih ditekankan pada tugas kepala sekolah/madrasah dalam
pengelolaan pendidikan.
Madrasah yang telah melakukan pengelolaan pendidikan
sesuai dengan ketentuan perundang-undangan ini khususnya PP nomor 19 tahun 2005
dan Permendiknas nomor 19 tahun 2007 ini berarti telah melaksanakan pengelolaan
pendidikan dengan standar nasional.
e.
Problematika
Pengelolaan Pendidikan Madrasah
Dalam perkembangannya, madrasah sebagai lembaga
pendidikan Islam sekarang ditempatkan sebagai pendidikan sekolah dalam sistem
pendidikan nasional. Munculnya SKB 3 Menteri Tahun 1975 (Surat Keputusan
Bersama Menteri Agama, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dan Menteri Dalam
Negeri) menandakan bahwa eksistensi madrasah cukup kuat beriringan dengan
sekolah umum. Munculnya SKB 3 Menteri merupakan langkah positif untuk
meningkatkan mutu madrasah; baik dari status, ijazah, maupun kurikulumnya. Pada awalnya SKB 3 Menteri tersebut juga dipermasalahkan
karena komposisi pendidikan umum dan agama 70 % dan 30 %. Namun oleh Menteri
Agama pada saat itu, Mukti Ali, dijelaskan bahwa dalam prakteknya kedua mata
pelajaran tersebut dapat saling mengisi, sehingga sama-sama 100 %. [17]
Jauh sebelum SKB 3 Menteri tersebut, pemerintah telah
meningkatkan penataan madrasah sebagai lembaga pendidikan formal. Penataan itu antara lain; Keputusan Menteri Agama No. 1
Tahun 1952, yang berisi klasifikasi dan penjenjangan pendidikan madrasah.
Berdasarkan keputusan itu, pendidikan di madrasah dilaksanakan dalam tiga
tingkat, yaitu tingkat dasar 6 tahun (Madrasah Ibtidaiyah), tingkat menengah
pertama 3 tahun (Madrasah Tsanawiyah), dan tingkat menengah atas 3 tahun
(Madrasah Aliyah). Dalam peraturan ini disebutkan juga bahwa di ketiga tingkat
madrasah tersebut minimal harus mengajarkan tiga mata pelajaran akademik yang
diajarkan di sekolah umum dan mengikuti standar kurikulum Departemen Agama.[18]
Kemudian pada tahun 1958, Kementerian Agama mengusahakan
pengembangan madrasah dengan memperkenalkan model Madrasah Wajib Belajar (MWB)
yang ditempuh selama delapan tahun. Pendidikan Madrasah Wajib Belajar ini
memuat kurikulum terpadu antara aspek keagamaan, pengetahuan umum, dan
ketrampilan. Kendatipun demikian hasilnya belum optimal.
Munculnya Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 tentang Sistem
Pendidikan Nasional, memperjelas posisi madrasah adalah sekolah umum yang
berciri khas agama Islam. Madrasah Ibtidaiyah adalah Sekolah Dasar berciri khas
Islam, Madrasah Tsanawiyah adalah SLTP berciri khas Islam dan Madrasah Aliyah
adalah SMU berciri khas Islam. Konsekwensi dari semua itu adalah bahwa madrasah
harus memberikan materi kurikulum minimal sama dengan materi kurikulum yang ada
di sekolah umum. Upaya untuk meningkatkan kualitas dan keberadaan madrasah
tersebut, dalam perkembangannya tidak pernah lepas dari
problematika-problematika yang dihadapi. Di era otonomi pendidikan dengan
penerapan manajemen berbasis madrasah ternyata juga masih banyak madrasah yang
belum siap melaksankan MBM ini. Beberapa problematika yang terjadi di Madrasah
dalam penerapan MBM antara lain sebagai berikut :
1.
Praktek
manajemen di madrasah sering menunjukkan model manajemen tradisional, yakni
model manajemen paternalistik atau feodalistik. Dominasi senioritas semacam ini
terkadang mengganggu perkembangan dan peningkatan kualitas pendidikan.
Munculnya kreativitas inovatif dari kalangan muda terkadang dipahami sebagai
sikap yang tidak menghargai senior. Kondisi yang demikian ini mengarah pada
ujung ekstrem negatif, hingga muncul kesan bahwa meluruskan langkah atau
mengoreksi kekeliruan langkah senior dianggap tabiat su’ul adab.
2.
Tidak
optimalnya peran serta pengelola madrasah dalam menjalankan prinsip-prinsip
manajemen dalam pelaksanaan proses belajar mengajar, pengambilan keputusan,
pelaksanaan kurikulum dan aktivitas kurikuler lainnya. Prinsip
manajemen seperti bagaimana penerpan planning, organizing, controlling dan
evaluating belum dijalankan sepenuhnya.
3.
Pola kepemimpinan
sebagai bagian dari manjemen pengelolaan madrasah masih bersifat sentralistik,
dimana kebanyakan kepala madrasah masih dominan dalam penentuan kebijakan dan
pengambilan keputusan. Tentu hal ini, sangat mengambat pengembangan madrasah
untuk mampu bersaing dengan sekolah formal lainnya atau paling tidak menjadi
pilihan bagi masyarakat untuk mempercayakan pendidikan anknya kepada madrasah.[19]
f.
Balance Score Card : Sebuah Tawaran
Pendekatan Pengelolaan Pendidikan Madrasah
Balance Score Card
merupakan metode yang dikembangkan Robert Kaplan dan David Norton untuk
mengukur setiap aktivitas yang dilakukan oleh suatu perusahaan dalam rangka
merealisasikan tujuan perusahaan tersebut. [20]
Konsep ini memang muncul dari dunia bisnis dengan
penentuan sasaran, kemudian diintegrasikan dengan manajemen strategic.
Balanced Score Card
terdiri atas kata balanced dan score card. Kata benda “score”
seperti dijelaskan Olve dalam merujuk kepada makna penghargaan atas poin-poin
yang dihasilkan (seperti dalam permainan) dalam kontek sebagai kata kerja
“score” berarti memberi angka. Dengan makna yang lebih bebas score card
berarti suatu kesadaran bersama dimana segala sesuatu perlu diukur. Jadi ketika
bicara Balanced Score Card dimana terdapat tambahan balanced di
depan kata score maksudnya adalah bahwa angka (grade) atau score
tersebut harus mencerminkan keseimbangan antara sekian banyak elemen penting dalam
kinerja.[21]
Balance Score Card
merupakan suatu system manajemen, pengukuran dan pengendalian yang secara
tepat, cepat dan komprehensif dapat memberikan pemahaman kepada manajer tentang
kinerja bisnis. Pengukuran kinerja tersebut memandang unit bisnis dari empat
perspektif yaitu perspektif keuangan, pelanggan, proses bisnis internal, serta
proses pembelajaran dan pertumbuhan melalui mekanisme sebab akibat (cause
and effect), perspektif keuangan menjadi tolak ukur utama yang dijelaskan
oleh tolak ukur operasional pada tiga perspektif lainnya sebagai driver (lead
indicators).[22]
Robert S. Kaplan dan David Norton
menjelaskan bahwa banyaknya perusahaan yang telah mempunyai system pengukuran
kinerja yang menyertakan berbagai ukuran financial dan nonfinansial. Namun hal
baru dalam konsep balanced score card ini memberikan seperangkat ukuran
yang seimbang dan lebih dari sekedar system pengukuran taktis dan operasional.
Perusahaan yang inovatif menggunakan score card sebagai sebuah system
manajemen strategis, untuk mengelola strategi jangka panjang. Perusahaan
menggunakan focus pengukuran score card untuk menghasilkan berbagai proses manajemen
penting antara lain:
1.
Memperjelas
dan menerjemahkan visi dan strategi,
2.
Mengkomunikasikan
dan mengaitkan berbagai tujuan dan ukuran strategis,
3.
Merencanakan
dan menetapkan sasaran dan menyelaraskan berbagai inisiatif strategis’
Penerapan balanced
score card dewasa ini tidak saja diterapkan pada dunia bisnis, tetapi
dikalangan pemerintah yang mempunyai fungsi pelayanan public sudah
mempergunakannya untuk membantu dalam pengukuran kinerjanya. Vincent Gaspersz
menjelaskan bahwa aparatur pemerintah merupakan orang yang dipercaya dan diberi
mandate oleh Negara dan rakyat untuk mengelola pemerintahannya guna
meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian efektifitasnya harus
diukur berdasarkan sejauh mana kemampuan pemerintah meningkatkan kesejahteraan
masyarakat. Hal ini dapat diukur menggunakan criteria peningkatan pendidikan,
pelayanan kesehatan, pendapatan ekonomi, keamanan lingkungan dan sebagainya.[24]
Model
pemberdayaan implementasi Manajemen Berbasis Madrasah dengan pendekatan Balanced
Score Card menjelaskan tentang integrasi konsep manajemen strategis dan Balanced
Score Card dalam upaya lebih memberdayakan proses implementasi manajemen
berbasis madrasah. Integrasi kedua konsep tersebut dalam upaya pemberdayaan
didasarkan bahwa pendekatan manajemen strategis yang mencakup pengamatan
lingkungan eksternal maupun internal, perumusan strategi, mengimplementasikan
strategi, evaluasi dan pengendalian, digunakan untuk mengantisipasi terjadinya
perubahan baik internal maupun eksternal, sehingga hal tersebut berpeluang untuk
melakukan pemberdayaan implementasi MBS, sedangkan pendekatan Balanced Score
Card dengan empat perspektifnya yang mencakup pelanggan, pembelajaran dan
pertumbuhan, financial, proses bisnis internal dapat digunakan dalam system
pengendalian strategis, sehingga menjadi bagian tak terpisahkan dari siklus
manajemen strategis.[25]
Pendekatan Balanced
Score Card merupakan sebuah system pengukuran kinerja yang komprehensif
yang mampu memanfaatkan informasi multidimensional dalam empat perspektifnya
dalam rangka proses perumusan dan implementasi strategi. Bahkan dalam
kenyataannya Balanced Score Card tidak saja digunakan sebagai system pengukuran
kinerja, namun lebih jauh diaplikasikan dalam rangka system manajemen strategis
yang melakukan pendekatan proses-proses manajemen secara integrative, sehingga
mengedepankan secara bersama-sama proses manajemen yang mencakup planning,
implementing, dan controlling. Hal tersebut juga relevan apabila
diaplikasikan dalam tahapan evaluasi dan pengedalian kinerja, sehingga bagian
siklus manajemen strategis dalam rangka pemberdayaan implementasi manajemen
berbasis madrasah.
Bagaimana balanced
scorecard ditinjau dari sistem manajemen strategik perusahaan? Di dalam
sistem manajemen strategik (Strategik management sistem) ada 2 tahapan
penting yaitu tahapan perencanaan dan implementasi. Posisi balanced
scorecard awalnya berada pada tahap implementasi saja yaitu sebagai alat
ukur kinerja secara komprehensif bagi para eksekutif dan memberikan feedback
tentang kinerja manajemen. Dampak dari keberhasilan penerapan balanced
scorecard memicu para eksekutif untuk menggunakan balanced
scorecard pada tahapan yang lebih tinggi yaitu perencanaan strategik.
Mulai saat itu, balanced scorecard tidak lagi digunakan sebagai alat
pengukur kinerja namun berkembang menjadi strategik management sistem.[26]
Keunggulan
pendekatan Balance Score Card sebagai pendekatan manajemen adalah
sebagai berikut :
1.
Komprehensif.
Sebelum konsep Balanced scorecard
lahir, perusahaan beranggapan bahwa perspektif keuangan adalah perspektif yang
paling tepat untuk mengukur kinerja perusahaan. Setelah balanced scorecard berhasil
diterapkan, para eksekutif perusahaan baru menyadari bahwa perspektif keuangan
sesungguhnya merupakan hasil dari 3 perspektif lainnya yaitu customer, proses
bisnis, dan pembelajaran pertumbuhan. Pengukuran yang lebih holistic, luas dan
menyeluruh (komprehensif) ini berdampak bagi perusahaan untuk lebih bijak dalam
memilih strategi korporat dan memampukan perusahaan untuk memasuki arena bisnis
yang kompleks.
Di dunia pendidikan, model
pendekatan Balance Score Card ini sangat membantu madrasah untuk melakukan
pengukuran secara holistic dan menyeluruh (komprehensif) sehingga dapat
meningkatkan kualitas madrasah.
2.
Koheren
Di dalam balanced scorecard
dikenal dengan istilah hubungan sebab akibat (causal relationship) .
Setiap perspektif (Keuangan, costumer, proses bisnis, dan
pembelajaran-pertumbuhan) mempunyai suatu sasaran strategik (strategic objective)
yang mungkin jumlahnya lebih dari satu. Definisi dari sasaran strategik adalah
keadaan atau kondisi yang akan diwujudkan di masa yang akan datang yang
merupakan penjabaran dari tujuan perusahaan atau lembaga pendidikan. Sasaran
strategik untuk setiap perspektif harus dapat dijelaskan hubungan sebab
akibatnya, sebagai contoh dalam dunia pendidikan meningkatnya kualitas lulusan ditentukan
oleh meningkatnya kualitas pelayanan kepada siswa sebagai customer, pelayanan
kepada customer bisa ditingkatkan karena madrasah menerapkan teknologi
informasi yang tepat guna. dan keberhasilan penerapan teknologi informasi
didukung oleh kompetensi dan komitmen dari guru dan karyawan. Hubungan sebab
akibat ini disebut koheren, kalo disimpulkan semua sasaran strategik yang
terjadi di madrasah harus bisa dijelaskan. Sebagai contoh mengapa prestasi
siswa menurun, mengapa tingkat kelulusan menurun, mengapa komitmen guru dan
karyawan menurun dan sebagainya.
3.
Seimbang
Keseimbangan sasaran strategik yang
dihasilkan dalam 4 perspektif meliputi Jangka pendek dan panjang yang berfokus
pada faktor internal dan eksternal. Keseimbangan dalam balanced scorecard juga
tercermin dengan selarasnya scorecard personal staff dengan scorecard
madrasah sehingga setiap personal yang ada di dalam madrasah
bertanggungjawab untuk memajukan perusahaan.
4.
Terukur
Dasar pemikiran bahwa setiap
perspektif dapat diukur adalah adanya kenyakinan bahwa ‘if we can measure
it, we can manage it, if we can manage it, we can achieve it’. Sasaran
strategik yang sulit diukur seperti pada perspektif customer, proses bisnis/
intern serta pembelajaran dan pertumbuhan dengan menggunakan balanced
scorecard dapat dikelola sehingga dapat diwujudkan.[27]
Dalam BSC ada dua jenis pengukuran
yang dilakukan, yaitu pengukuran outcome dan pengukuran pengendalian kinerja.
Sistem BSC yang baik akan selalu menggunakan kombinasi pengukuran outcome dan
pengukuran pengendalian kinerja yang disesuaikan dengan tujuan strategis
organisasi.[28]
Sehingga dalam mengatur pelaksanaan kinerja rencana kerja sekolah, berdasarkan
empat perspektif BSC, maka salah satu pengukuran kinerja sekolah dapat
dilakukan sebagai berikut:
Tabel 1
Pengukuran Kinerja
Madrasah dengan Pendekatan Balanced Score Card
Tujuan
Strategis
|
Pengukuran
Strategis
|
|
Outcome
|
Pengendali
Kinerja
|
|
Perspektif
Keuangan:
Meningkatkan
pemerataan layanan pendidikan dengan subsidi pembiayaan pendidikan anak dari
keluarga tak mampu
|
Jumlah anak yang sekolah dari keluarga tak mampu
meningkat
|
Survei dan pendataan penduduk keluarga tidak mampu
|
Persepektif Pelanggan:
Meningkatnya pemberian layanan pendidikan yang
berkualitas oleh madrasah kepada anak-anak dari keluarga tidak mampu
|
Angka DO dan mengulang menurun
Angka melanjutkan meningkat
|
Survey dan pendataan pendidikan di madrasah
Survey dan pendataan pendidikan di madrasah
|
Persepektif Proses Internal :
Meningkatkan daya tampun dan sarana/prasarana sekolah
untuk menampung anak-anak dari keluarga tidak mampu yang disubsidi oleh
pemerintah
|
Meningkatnya daya tamping sekolah
Meningkatkan rombongan belajar di sekolah
|
Rasio
murid : Ruang Kelas
Rasio
murid : Rombongan Belajar
|
Perspektif
Pembelajaran dan pertumbuhan:
Meningkatkan
kreativitas guru untuk mengembangkan metode pembelajaran yang berkualitas dan
terjangkau biaya
|
Meningkatnya kreativitas guru
Meningkatnya metode pembelajaran
|
Rasio murid ; guru
Rasio alat peraga : murid
|
Contoh
Penerapan BSC dalam pengelolaan Madrasah
Untuk
memperjelas pembaca dalam memahami penerapan pendekatan Balance Score Card maka di bawah ini penulis mencoba untuk menerapkan konsep BSC di Madrasah X. Ada tujuh komponen BSC dalam pengelolaan
madrasah X yaitu : visi, tema strategis (atau area fokus), prinsip strategis,
perspektif, sasaran, kaitan, serta ukuran & target.
Visi Madrasah
X : Unggul dalam mutu, berkepribadian
Islami
Tema strategi
atau area fokus : Madrasah
menentukan tema strategis untuk mencapai visi madrasah yaitu tradisi keilmuan,
tradisi keislaman, tradisi mutu, dan tradisi pelayanan super.
Prinsip
strategis : Penerapan
prinsip strategis adalah untuk membantu memastikan bahwa madrasah X unggul
dalam mutu dan memiliki perilaku kehidupan Islami. Untuk itu diperlukan
prinsip-prinsip strategis yang harus dimiliki madrasah yaitu budaya ilmiah,
budaya islami, budaya mutu dan budaya pelayanan.
Perspektif : Dengan penekanan pada “keseimbangan”, balanced
scorecard Madrasah X menggunakan empat perspektif untuk menjawab kebutuhan
pelayanan yang diinginkan oleh masyarakat.
1.
Perspektif Pelanggan : Melayani Pelanggan
Kepala
Madrasah dan pengelola madrasah harus mengetahui apakah madrasah betul-betul
memenuhi kebutuhan masyarakat. Mereka harus menjawab pertanyaan: Apakah
madrasah menyediakan apa yang diinginkan oleh masyarakat yaitu mewujudkan siswa
yang bermutu dan berkepribadian Islami ?
2.
Perspektif
Proses Internal : Memberikan pelayanan yang kompetitif
Madrasah harus mampu memberikan pelayanan prima kepada
para siswanya untuk meningkatkan mutu dan kepribadian Islami pada peserta
didik. Untuk itu madrasah harus mampu menjawab pertanyaan Bagaimanakah
pelayanan yang harus diberikan Madrasah agar mampu menciptakan siswa yang
bermutu dan berkepribadian Islami?
3.
Perspektif
Keuangan : Mengelola anggaran secara
akuntabel
Kepala Madrasah dan pengelola madrasah harus berfokus
pada pelayanan yang efesien namun berkualitas. Oleh karena itu kepala Madrasah
harus mampu menjawab pertanyaan apakah pelayanan yang dilakukan saat ini dengan
biaya rendah?
4.
Perspektif
Pembelajaran dan Pertumbuhan :
Mengembangkan kapasitas karyawan
Kemampuan madrasah untuk meningkatkan dan memenuhi
permintaan masyarakat terkait secara langsung dengan kemampuan guru dan
karyawan untuk memenuhi permintaan itu. Oleh karena itu madrasah harus selalu
mengembangkan kapasitas guru dan karyawan terutama menyangkut mutu dan
kepribadian Islami. Dengan demikian pengelola madrasah harus mampu menjawab
pertanyaan apakah madrasah sudah memberikan pelatihan dan pengembangan
kapasitas mutu dan kepribadian Islami guru dan karyawan?
Sasaran : untuk menunjang keberhasilan visi madrasah di atas
maka madrasah harus menentukan beberapa institusi yang bisa dijadikan mitra
kerjasama.
Kaitan : Sasaran yang strategis harus saling dihubungkan dalam
suatu hubungan sebab-akibat. Misalnya, jika suatu organisasi memberikan
karyawan dengan pelatihan yang perlu untuk “Mempromosikan Pembelajaran &
Pertumbuhan”, maka organisasi itu akan dapat “Menyampaikan Pelayanan secara
Kompetitif”. Ini akan mempengaruhi kemampuan organisasi itu untuk “Meningkatkan
Pelayanan bagi Masyarakat” yang pada akhirnya “Menyediakan Aneka Pilihan
Pelayanan”.
Ukuran dan target : Untuk setiap sasaran strategis, ada satu set ukuran
dan target strategis. Ini dijabarkan dalam rencana strategis untuk setiap
area fokus.
C.
PENUTUP
Dari pembahasan makalah di
atas dapat kita ambil kesimpulan hal-hal sebagai berikut :
a.
Bergulirnya reformasi
juga membawa imbas pada terjadinya reformasi pendidikan di Indoensia. Salah
satunya telah terjadi perubahan paradigm dalam pengelolaan pendidikan yang semuala
sentralistik menjadi desentralistik. Bahkan sekolah/madrasah juga diberikan
otonomi untuk melakukan pengelolaan pendidikan secara mandiri dengan menerapkan
manajemen berbasis sekolah/madrasah.
b.
Dasar hukum pengelolaan
pendidikan di Indonesia diatur dalam 1) UU nomor 20 tahun 2003 tentang System
Pendidikan Nasional, 2) PP nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan, dan 3) Permendiknas Nomor 19 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan
Pendidikan.
c.
Pembagian kerja
pengelolaan pendidikan di Indonesia sebagaimana diatur dalam PP nomor 19 tahun
2005 meliputi 1) standar pengelolaan pendidikan oleh satuan pendidikan, 2)
standar pengelolaan pendidikan oleh pemerintah daerah, dan 3) standar
pengelolaan pendidikan oleh pemerintah
d.
Pengelolaan pendidikan
di madrasah yang ideal adalah pengelolaan pendidikan yang sesuai dengan standar
nasional pendidikan sebagaimana telah diatur dalam PP nomor 19 tahun 2005 dan
Permendiknas nomor 19 tahun 2007.
e.
Dalam tataran praktek
masih ada beberapa kendala dan problematika yang dihadapi madrasah dalam
penerapan pengelolaan pendidikan berbasis madrasah antara lain 1) masih kuat
model manajemen tradisional yang cenderung paternalistic dan feodalistik di
madrasah, 2) Tidak optimalnya peran serta pengelola madrasah dalam menjalankan
prinsip-prinsip manajemen, dan 3) Pola kepemimpinan sebagai bagian dari
manjemen pengelolaan madrasah masih bersifat sentralistik.
f.
Salah satu alternatif
pembenahan pengelolaan pendidikan di madrasah, penulis menawarkan pendekatan Balanced
Score Card dalam penerapan MBM di Madrasah. Pendekatan Balanced Score
Card merupakan sebuah system pengukuran kinerja yang komprehensif yang
mampu memanfaatkan informasi multidimensional dalam empat perspektifnya yaitu
perspektif pelanggan, keuangan, proses internal dan pertumbuhan dan
pembelajaran dalam rangka proses perumusan dan implementasi strategi. Dengan pendekatan ini dapat mempermudah madrasah dalam
melakukan pengukuran kinerja madrasah.
DAFTAR PUSTAKA
Arikunto, Suharsimi dan Lia Yuliana, Manajemen
Pendidikan, Yogyakarta: Aditya Media, 2008
Asep, Manajemen Pendidikan Madrasah dalam http://asep78.wordpress.com
diakses 27 Mei 2011
Dally, Dadang, Balanced Score Card : Suatu
Pendekatan dalam Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah Bandung: Remaja
Rosdakarya, 2010
Danim, Sudarrwan, Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit
Birokrasi ke Lembaga Akademik, Jakarta: Bumi Aksara, 2007
Elmudunya,
Mengenal Balance Score Card dalam http://elmudunya.wordpress.com diakses
5 Juli 2011
Gaspersz,
Vincent, Sistem Manajemen Kinerja Terintegrasi Balanced Score Card dengan
Six Sigma Untuk Organisasi Bisnis dan Pemerintah, Jakarta: Gramedia Pustaka
Utama, 2002
J.Sofian,
Berkenalan dengan Balance Score Card dalam http://jsofian.wordpress.com diakses 8
Juli 2011
Kaplan
, Robert S. dan David Norton, Balanced Score Card terj. Peter Yosi Pasla, Jakarta: Erlangga, 1996
Muhaimin, Wacana Pengembangan Pendidikan Islam, Surabaya: PSAPM,
2004
Mulyasa, E, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep,
Strategi dan Implementasi, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004 ,cet.ke VII
--------------, Menjadi Kepala Sekolah Profesional :
Dalam Konteks Menyukseskan MBS dan KBK, Bandung: Remaja Rosdakarya,
2005, Cet.ke.VI
Nurkholis, Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model dan Aplikasi,
Jakarta: Grasindo, 2003
Permendiknas Nomor 19 tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan
PP nomor 19 tahun 2005 tentang Standar
Nasional Pendidikan
Usman, Husaini, Manajemen : Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan, Jakarta:
Bumi Aksara, 2006
UU Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Yuwono, Sony, Petunjuk Praktis
Penyusunan Balanced Score Card : Menuju Organisasi yang berfokus pada straregi,
Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002
[1] Sudarrwan
Danim, Visi Baru Manajemen Sekolah: Dari Unit Birokrasi ke Lembaga Akademik
(Jakarta: Bumi Aksara, 2007), hlm. 4
[2] E.
Mulyasa, Manajemen Berbasis Sekolah: Konsep, Strategi dan Implementasi
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2004),cet.ke VII, hlm. 5
[3] E.
Mulyasa, Menjadi Kepala Sekolah Profesional : Dalam Konteks Menyukseskan MBS
dan KBK, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2005). Cet.ke.VI, hlm. 17
[4] Nurkholis,
Manajemen Berbasis Sekolah: Teori, Model dan Aplikasi (Jakarta:
Grasindo, 2003), hlm.1
[8] Husaini
Usman, Manajemen : Teori, Praktik, dan Riset Pendidikan (Jakarta: Bumi
Aksara, 2006) hlm . 497
[9] Dadang Dally, Balanced Score
Card : Suatu Pendekatan dalam Implementasi Manajemen Berbasis Sekolah
(Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010), hlm. 19-20
[16] Suharsimi Arikunto dan Lia Yuliana,
Manajemen Pendidikan (Yogyakarta: Aditya Media, 2008), hlm. 17-18
[21] Sony
Yuwono, Petunjuk Praktis Penyusunan Balanced Score Card : Menuju Organisasi
yang berfokus pada straregi, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002), hlm.
103
[22] Robert
S. Kaplan dan David Norton, Balanced Score Card terj. Peter
Yosi Pasla (Jakarta: Erlangga, 1996), hlm. 6
[24] Vincent Gaspersz, Sistem
Manajemen Kinerja Terintegrasi Balanced Score Card dengan Six Sigma Untuk
Organisasi Bisnis dan Pemerintah, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2002),
hlm.203
[26] J.Sofian,
Berkenalan dengan Balance Score Card dalam http://jsofian.wordpress.com diakses 8
Juli 2011
[27] Elmudunya,
Mengenal Balance Score Card dalam http://elmudunya.wordpress.com diakses
5 Juli 2011
Tidak ada komentar:
Posting Komentar