KEAHLIAN
Pemikiran Ibnu
Khaldun tentang Tujuan Pendidikan
Oleh : Agus
Suroyo, S.Pd.I
- Sekilas Sejarah Ibnu Khaldun
Ibnu Khaldun bernama lengkap Waliuddin Abdu al rahman ibn Muhammad ibn
al Hasan ibn al Jabir ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Abd al Rahman ibn Khaldun.
Ibnu Khaldun yang sering dikenal sebagai sosiolog, ahli hukum dan sejarawan ini
lahir di Tunisia tahun 1332 M dan meninggal di Mesir tahun 1406 M/808 H. Ibnu
Khaldun merupakan keturunan Wail ibn Hujair salah satu dari sahabat Nabi
Muhammad SAW. Leluhurnya berasal dari Hadaral maut, Yaman yang hijrah ke
Spanyol pada abad ke 8 bersamaan dengan gelombang penklukan Islam di
Semenanjung Andalusia.[1].
Ibnu Khaldun adalah keturunan politisi, aristocrat dan
ilmuwan. Ayah Ibnu Khaldun, Abu Abdillah adalah seorang ulama yang ahli
ilmu agama dan ilmu pengetahuan sedangkan kakeknya Abu Bakar Muhammad
pernah menjadi kepala Negara di Tunisia. Latar belakang keluarga dan saat ia
dilahirkan serta menjalani hidup nampaknya merupakan factor yang menentukan
dalam perkembangan pemikirannya. Keluarganya telah mewariskan tradisi
intelektual ke dalam dirinya[2] Sehingga
tidak mengherankan jika pemikiran dia di bidang politik, pendidikan, dan
sosiologi cukup tajam, hal ini terbukti dari tulisannya Muqadimah. Ibnu Khaldun
muncul disaat Islam mengalami kemunduran dan awal munculnya Renaisasnce di
barat.
Pendidikan Ibnu Khaldun dimasa kecil dimulai dari belajar membaca dan
menghafal Al Qur’an serta ilmu pengetahuan di Masjid Al Quba. Sesudah itu
beliau mempelajari bahasa pada sejumlah guru seperti Abu Abdillah ibn
Muhammad ibnu Al Arabi al Hasyayari dan Abu al Abbas Ahmad ibn Al Qasar
serta Abu Abdullah ibnu Babar. Ia mempelajari Hadits pada Syamsuddin
Abu Abdillah al Wadiyasi. Mengenai Fiqh, ia belajar pada sejumlah guru
diantaranya adalah Abu Abdillah Muhammad al Jiyani dan Abu Qohiri.
Demikian juga ia mempelajari ilmu-ilmu
rasional atau filosofis yakni teologi, logika, ilmu-ilmu kealaman, matematika
dan astronomi kepada Abu Abdillah ibn Al Abili[3].
Pendidikan formal ini ditempuh selama 18 tahun.
Adapun mengenai pengalaman Ibnu Khaldun dapat disebut antara lain sebagai
Kitabu al Alamah atau semacam Sekertaris Negara pada tahun 751 H/1350 M,
jabatan ini merupakan jabatan yang membutuhkan kemampuan retorika dan karang
mengarang, jabatan ini diperoleh di masa Abu Ishaq bin Abi Yahya,
seorang Amir yang diangkat oleh Menteri Muhammad Tafrikin untuk
menggantikan saudaranya al Fadal[4] Pada tahun 756 H, ia menjadi Kitaabah
pada masa Abu Inan manjadi Raja Maghribi. Pada tahun 764 H, ia pindah ke
Andalusia tepatnya di Granada. Pada saat di Granada ini, ia pernah menjadi duta
kepada Raja Castilia, Pedro untuk mengadakan perdamaian antara keduanya.
Berangkatlah ia ke Sevilia dan ia berhasil dalam missinya. Hal inilah yang
menyebabkan Menteri Ibnu Al Khtib iri hati kepadanya[5]
Pada tahun 766 H, ia pindah ke Bougie, disana ia diangkat oleh Amir
Bougie, Abu Abdillah menjadi Hijabah. Di tempat yang sama ia juga
menjadi hakim Agung serta menjadi Guru Besar di Universitas Qasabah. Dengan
demikian, Ibnu Khaldun telah memadukan antara kegiatan politik dengan kegiatan
ilmu dalam satu waktu.[6]
Pada tahun 799
H, ia menyelesaikan tulisannya Muqadimah dan ketia di Mesir dia juga menjadi
guru besar di Al Ahzar dan sebagai Hakim Agung. Di Al Ahzar ia mengajar Fiqh
Maliki, hadits dan isi buku karangannya Muqadimah. Pada tahun 808 H, ia
meninggal dunia di usianya 74 tahun[7].
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa riwayat hidup Ibnu Khaldun
selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Hidup berpindah-pindah
yang dilakoni Ibnu Khaldun menurut Prof. Dr. Hj. Musyrifah Sunanto, diakibatkan
oleh suasana dunia Islam terutama di Afrika Utara dimana Ibnu Khaldun hidup
demikian gelap dan kacau.[8] Dan
memang zaman Ibnu Khaldun adalah zaman kemunduran Islam.
Itulah sejarah hidup Ibnu Khaldun, barangkali karena perjalanannya yang
panjang dan berliku-liku itulah yang menjadi salah satu sebab sehingga ia dapat
mengarang bukunya yang masyhur itu yang menciptakan ilmu baru “ilmu sosiologi”.[9]
Adapun karangan-karangan Ibnu Khaldun yang terbesar adalah al Ibar,
namun yang paling terkenal adalah pengantar Al Ibar yaitu Muqadimah. Ia
juga menulis bioografi dia dalam bukunya ta’rif. Disamping itu ada buku
dia yang lain yaitu al syifa’al sail li Tahzib al masail dan Lubab al
mahassal fi ushul al din
Corak pemikiran Ibnu Khaldun sekalipun rasional dengan menjadikan fakta
empiric sebagai bahan analisisnya tetapi dia tetap mengkonsultasikanya dengan
wahyu maka pemikirannya selain rasional tetapi juga sejalan dengan wahyu.
Beberapa penulis menyebut bahwa Ibnu Khaldun adalah pengikut Al Ghazali, namun
ada juga yang mengatakan bahwa Ibnu Khaldun adalah pengikut Ibnu Rusyd. Bahkan
ada yang mangatakan bahwa Ibnu Khaldun mengikuti keduanya yaitu Ghazali dan
Ibnu Rusyd. Pandangannya dalam filsafat
sama dengan Ibnu Taimiyah dan Al Ghazali yang menolak dan mengemukakakan
kemustahilan filsafat khususnya metafisika sebagai usaha memahami kebenaran
final.
- Tujuan Pendidikan
Sebelum kita membahas masalah keahlian (kemahiran atau malakah ) sebagai
salah satu pemikiran Ibnu Khaldun tentang tujuan pendidikan. Marilah kita
memahami terlebih dahulu makna tujuan pendidikan itu sendiri.
Tujuan adalah dunia cita, yakni suasana ideal yang ingin diwujudkan.
Dalam tujuan pendidikan suasana ideal itu nampak pada tujuan akhir (ultimate
aims of education). Tujuan akhir biasanya dirumuskan secara padat dan
singkat, seperti terbentuknya kepribadian muslim dan kematangan dan integritas,
kesempurnaan pribadi.[10]
Adapun tujuan pendidikan menurut Al Syaibani adalah perubahan yang diingini
yang diusahakan oleh proses pendidikan atau usaha pendidikan untuk mencapainya
baik pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya atau pada kehidupan
masyarakat dan alam sekitar tentang individu itu hidup atau pada proses pendidikan sendiri dari proses pengajaran
sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai proporsi diantara profesi-profesi
asasi dalam masyarakat.[11]
Berdasarkan pendapat al Syaibani tersebut maka tujuan pendidikan merupakan
sebuah cita-cita yang ingin dicapai dari suatu proses pendidikan baik untuk
individu maupun masyarakat. Selanjutnya menurut al Syaibani, tujuan pendidikan
itu dapat dibedakan menjadi tujuan individual yang berkaitan dengan
individu-individu, tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat,
dan tujuan professional yang berkaitan dengan pendidikan dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai profesi,
sebagai suatu aktivitas diantara aktivitas masyarakat yang lain.
Muhammad Zein berpendapat bahwa masalah tujuan pendidikan berkaitan
sekali dengan masalah nilai. Dan sudah
barang tentu di dalam pendidikan Islam yang dimaksud nilai-nilai adalah
nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran Islam atau yang dapat dibenarkan oleh
ajaran Islam dan inilah yang dinilai tinggi olehnya.[12]
Mengenai tujuan pendidikan Islam, Muzayin Arifin sepakat dengan pendapat
Muhammad Zein di atas yaitu jika berbicara tujuan pendidikan Islam maka berarti
berbicara tentang nilai-nilai ideal yang bercorak Islam.[13]
Jika kita melakukan klasifikasi, maka taksonomi tujuan pendidikan itu
meliputi :
a.
Pembinaan kepribadian seperti sikap, daya pikiran
praktis sosial, obyektifitas, loyalitas kepada bangsa dan ideologi, sadar
nilai-nilai moral dan agama.
b.
Pembinaan aspek pengetahuan (nilai material) yaitu
materi ilmu itu sendiri
c.
Pembinaan aspek kecakapan, keterampilan (skill)
nilai-nilai praktis
d.
Pembinaan jasmani yang sehat.[14]
Namun secara garis besar tujuan pendidikan itu dibedakan menjadi dua yaitu
tujuan yang menitikberatkan kekuatan jasmaniah (al ahdaful jasmaniah) dan
tujuan pendidikan yang menitikberatkan pada kekuatan rohaniah (al ahdaful
rohaniah)[15]Adapun
jika dilihat dari orientasinya maka tujuan pendidikan dapat dibedakan menjadi
tujuan keagamaan (al ghardud Diny) dan tujuan keduniaan (al ghardud dunyawi)[16]
- Keahlian Sebagai Tujuan Pendidikan
Dalam berbicara
masalah tujuan pendidikan, Ibnu Khaldun tidak membahasnya secara eksplisit.
Muqadimah salah satu karyanya yang terkenal tidak membahas tujuan pendidikan
dalam bab khusus. Namun dari urainnya memberikan kesimpulan terhadap arah
tujuan pendidikan yang diinginkan. Syamsul Nizar menyimpulkan bahwa, ada 3
tingkatan tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan berdasarkan
pandangannya terhadap Muqadimah Ibnu Khaldun yaitu:
a)
Pengembangan kemahiran (al malakah atau Skill)
dalam bidang tertentu orang awam bisa memiliki pemahaman yang sama tentang
suatu persoalan dengan seorang ilmuwan. Akan tetapi potensi al malakah
tidak bisa dimiliki oleh setiap orang, kecuali setelah ia benar-benar memahami
dan mendalami satu disiplin tertentu. Dalam hal ini, para pakar
(Ilmuwan-Khawas) yang memiliki al malakah secara sempurna. Sementara
untuk sampai pada tahap ini, diperlukan pendidikan yang sistematis dan
mendalam.
b)
Penguasaan keterampilan professional sesuai dengan
tuntutan zaman (link and match). Dalam hal ini, pendidikan hendaknya
ditujukan untuk memperoleh keterampilan yang tinggi pada profesi tersebut,
pendekatan ini akan menunjang kemajuan dan kontinuitas sebuah kebudayaan, serta
peradaban umat manusia dimuka bumi. Pendidikan yang meletakkan keterampilan
sebagai salah satu tujuan yang hendak dicapai, dapat diartikan sebagai upaya
mempertahankan dan memajukan peradaban secara keseluruhan.
c)
Pembinaan pemikiran yang baik. Kemampuan berfikir merupakan
garis pembeda antara manusia dan binatang. Oleh karena itu, pendidikan
hendaknya diformat dan dilaksanakan dengan terlebih dahulu memperhatikan
pertumbuhan dan perkembangan potensi psikologis peserta didik.[17]
Berdasarkan pendapat Samsul Nizar di atas maka tujuan pendidikan harus
mangarah pada pengembangan keahlian, memberi bekal keterampilan yang sesuai
dengan tuntutan zaman, dan adanya usaha pengembangan potensi akal.
Menurut hemat penulis, bahwa ketiga arah tujuan pendidikan pemikiran Ibnu
Khaldun hasil kesimpulan Samsul Nizar di atas memiliki keterkaitan antara yang
satu dengan yang lain. Untuk mengembangkan keahlian dalam bidang tertentu
(profesionalisme), maka di perlukan pembinaan pemikiran dan dalam proses
pengembangan keahlian dalam bidang tertentu pasti harus memperhatikan tuntutan
zaman dan menguasai keterampilan teknis, untuk itu, penulis mengambil
kesimpulan bahwa arah tujuan pendidikan dalam pemikiran Ibnu Khaldun adalah
mengarah pada profesionalisme. Dengan demikian, tujuan pendidikan adalah untuk
mengembangkan profesionalisme (keahlian) peserta didik dalam bidang tertentu.
Pendapat ini diperkuat dengan pendapat Al Syaibani yang mencoba
menganalisa isi Muqaddimah dan ditemukan beberapa tujuan yang hendak dicapai
melalui pendidikan antara lain :
- menyiapkan seseorang dari segi keagamaan yaitu dengan mengajarkan syair-syair agama menurut al Qur’an dan Hadits Nabi sebab dengan jalan itu potensi iman itu diperkuat sebagaimana dengan potensi-potensi lain yang jika kita mendarah daging maka ia seakan-akan fitrah.
- Menyiapkan sesorang dari segi akhlak
- Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial
- Menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan.
- Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran sebab dengan pemikiran orang dapat memegang pekerjaan atau keterampilan tertentu.
- Menyiapkan seseorang dari segi kesenian, disini termasuk musik, syair, khat, seni bina dll.
Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan bukan
hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu akan tetapi juga untuk mendapatkan
keahlian.[18]
Konsep yang paling terkenal yang diusulkan oleh Ibnu Khaldun adalah
konsep Malakah. Malakah sesui asal katanya mengandung makna “menjadikan sesuatu
untuk dimiliki atau dikuasai” suatu sifat yang mengakar pada jiwa.[19] Ibnu
Khaldun merumuskan definisi malakah ialah “sifat yang berurat akar, sebagai
hasil belajar atau mengerjakan sesuatu berulang kali, sehingga hasilnya dan
bentuk pekerjaan itu dengan kokoh tertanam dalam jiwa”[20]
Malakah dalam proses belajar adalah suatu tingkat pencapaian (achievment)
dari penguasaan materi keilmuwan, keterampilan, dan sikap tertentu. Akibat dari
suatu proses belajar secara intens, bersungguh-sungguh dan sistematis.[21] Dengan
arti ta’rif di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa malakah (keahlian)
merupakan sebuah profesionalisme yang dimiliki oleh seseorang setelah
mempelajari suatu bidang tertentu.
Ibnu Khaldun memaknai malakah berbeda dengan pemahaman dan pengetahuan
melalui hafalan, pemahaman akan satu masalah yang termasuk bagian dari disiplin
ilmu yang tunggal, bisa kita peroleh sama bagus hasilnya dengan mereka yang
benar-benar mendalami disiplin ilmu yang tunggal, orang awam yang sama sekali
tidak memiliki suatu pengetahuan, maupun sarjana yang pandai , kebiasaan
(malakah) semata dan eksklusif dimiliki sarjana atau orang yang benar-benar
mendalami disiplin ilmu pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan,
malakah berbeda dengan pemahaman (fahm)[22]
Malakah seluruhnya bersifat psiko fisik (jasmaniyah, opereal),
baik yang ada pada tabuh materi (al badanu, body) ataupun yang ada pada
otak (al dimag, brain) hasil kemampuan berfikir seperti anritmatika, dan
lain-lain seperti rasa. Semua yang bersifat jasmaniyah adalah sensibilia
(mahsusah) karena itu, ia membutuhkan al ta’lim (pendidikan)[23]
Ibnu Khaldun menegaskan jiwa rasional (al Nafs, al Natiqah, rational
soul) terdapat pada manusia hanya secara potensial. Transformasinya dari
potensialitas ke aktualias, pertama-tama disebabkan oleh ilmu dan persepsi dari
sensibilia, kemudian oleh capaian terakhir pengetahuan melalui kekuatan
spekulatif hingga benar-benar menjadi persepsi aktual dan intelek murni dan
ilmupun menjadi esensi spiritual, maka eksistensi manusia lalu menjadi
sempurna.[24]
Karena itu penting bahwa tiap-tiap jenis pengalaman belajar (pengetahuan) dan
penalaran menambah manfaat bagi jiwa rasional, (degan intelegensi tambahan).
Disamping itu keterampilan dan kebiasaannya selalu membawa pada perolehan
hukum-hukum ilmiah, yang berasal dari kebiasaan itu. Atas dasar karakteristik
jiwa rasional yang bersifat dinamis dan progresif, maka pengalaman mendatangkan
tambahan intelegensi, budaya hidup, menetap yang mapan serta interaksi dengan
orang lain menimbulkan tambahan lagi bagi intelegensi.
Kemahiran pada tingkatnya yang tinggi dalam pengajaran ilmu atau
keahlian, dan dalam aktifitas biasa yang lain menambah luas wawasan akal (intelek)
manusia, dan menambah cemerlang pikiran selama jiwa memperoleh sejumlah besar
kemahiran (malakah). Kami telah menyatakan sebelum ini, bahwa jiwa
tumbuh dibawah pengaruh persepsi-persepsi yang diterimanya dan kemahiran-kemahiran
(malakah )yang diperolehnya, maka orang-orang timur menjadi lebih
pandai, karena jiwa-jiwa mereka di pengaruhi oleh aktifitas ilmiah.[25] Dengan
demikian untuk mencapai sebuah kemahiran harus di dukung oleh adanya aktifitas
ilmiah di sekelilingnya. Untuk itu pengaruh lingkungan memiliki peranan besar
terutama budaya ilmiah Budaya ilmiah akan memberi dukungan besar bagi tumbuhnya
pembiasaan yang akan memberi jalan pada tercapainya keahlian (malakah).
Aktifitas ilmiah yang dapat menjadi daya dukung tercapainya malakah
adalah melalui latihan lidah guna mengungkapkan pikiran-pikiran dengan jelas
dalam diskusi dan perdebatan maslah-maslah ilmiah. Inilah cara yang mampu
manjernihkan persoalan dan menumbuhkan pengertian, maka anda dapatkan sejumlah
pelajar menghabiskan sebagian besar umur mereka untuk menghadiri
session-session ilmiah, sedangkan sejumlah lainnya cuma diam, tidak bicara dan
tidak nimbung dalam diskusi. Kelomok yang kedua memberikan perhatian terhadap
hafalan lebih banyak dari pada yang dibutuhkan, tapi tidak memperoleh banyak
kemahiran dalam mempraktekkan ilmu pengetahuan dan pengajaran ilmu. Sebagian
besar mengira bahwa mereka telah memperoleh kemahiran dalam sesuatu bidang ilmu
pengetahuan. Namun, setelah memasuki suatu diskusi atau perdebatan, atau ketika
memberi pelajaran, ternyata kemahiran ilmiah yang mereka dapatkan tidak
seberapa.[26]
Dalam hal ini, Ibnu Khaldun menekankan bahwa agar tercapai kemahiran atau
keahlian (malakah) maka tidak cukup hanya dengan menghafal materi tetapi
harus dengan diskusi dan debat sebagai aktualisasi keilmuan.
Ibnu Khaldun berasumsi bahwa pengajaran atau belajar adalah suatu sina’ah
(teknologik, Franz Rasenthal menerjamahkan sina’ah dengan craft). Sebab, sina’ah
dalam suatu sains – pengetahuan tentang aspek-aspek yang beragam, serta
penguasaannya merupakan akibat dari malakah yang memberi kemungkinan bagi
subjek didik untuk menguasai semua prinsip dasar dan kaidah-kaidahnya.
Disamping itu juga untuk memahami problemnya dan menguasai detilnya yang
bersifat mendasar, sejauh malakah tidak dicapai, maka keahlian dalam suatu
disiplin tidak mungkin diperoleh.[27]
Pemaknaan Ibnu Khaldun terhadap malakah menurut kutipan di atas, menurut
Warul Walidain tidak sekedar insight (pencerahan) yang mempunyai kecenderungan
kognitif semata-mata, tetapi sekaligus kognitif, afektif dan psikomotorik.[28]
Konsep malakah untuk mencapai sebuah kaehlian tersebut, turut
mempengaruhi penggunaan metode yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran.
Dalam proses pembelajaran, Khaldun mengemukakan 6 prinsip utama yang perlu
diperhatikan pendidik, yaitu: (1) prinsip pembiasaan; (2) prinsip tadrij
(berangsur-angsur); (3) prinsip pengenalan umum (generalistik); (4) prinsip kontiunitas;
(5) memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik; (6) menghindari kekerasan
dalam mengajar.[29]
Ibnu Khaldun mengusulkan metode tiga tahap dalam proses pembelajaran
yaitu penyajian global (sabili al ijmal), pengembangan (al syarh wa
al bayan), dan penuntasan atau penyimpulan (takhallus).[30] Melalui
metode pembelajaran yang tepat, maka dapat menjadi jalan mempercepat
tercapainya suatu malakah (keahlian).
Keahlian menurut Ibnu Khaldun terdapat keahlian pokok. Keahlian pokok
merupakan kebutuhan yang sagat dibutuhkan masyarakat, keahlian-keahlian
tersebut antara lain : pertanian, pertukangan kayu, pertenunan, kebidanan
(kedokteran), tulis menulis, pembikinan kertas, menyanyi dan ketabiban.
Ibnu Khaldun juga berpendapat tentang kecenderungan bahwa bila seseorang
telah menjadi ahli pada suatu bidang biasanya mereka sulit untuk memiliki
keahlian lain. Ia mencontohkan tukang jahit yang sudah menjadi ahli dalam
menjahit, sesekali seseorang tertanam berurat berakar dalam jiwanya, ia tidak
akan ahli dalam pertukangan kayu atau batu, melainkan bila keahlian yang
pertama itu belum tertanam dalam dan belum memberi corak kepada pikirannya.
Alasan ialah, bahwa keahlian adalah sifat atau corak jiwa yang tidak tumbuh
serempak.[31]
- Relevansi Pemikiran Ibnu Khaldun di Era Modern
Banyak para pakar dan sarjana yang terkagum-kagum dengan pemikiran Ibnu
Khaldun. Mereka melihat bahwa teori Ibnu Khaldun sebagai karya genius luar
biasa. Baali dan Ali Wardi memandang bobot pemikiran Ibnu Khaldun sama dengan
pemikiran Machiavelli, Vico, Montesquieu, Adam Smith, Auguste Comte, Durkheim,
Gumplowics, dan bahkan Karl Marx. Muqaddimah bahkan dianggap salah satu
monograf penting yang pernah dihasilkan oleh tokoh kaliber dunia. Dalam
perspektif fungsi utilitarian dari agama, Pitirim A. Sorokin menempatkan Ibnu
Khaldun sejajar dengan Plato, Aristoteles, Glambatista, St. Thomas Aquinas
sebagai pemikir idealis[32]
Pikiran-pikiran Ibnu Khaldun merupakan pemikiran-pemikiran baru yang
belum pernah diuangkapkan oleh para pakar atau ilmuwan Muslim lain. Musyrifah
Sunanto menyatakan bahwa Ibnu Khaldunlah peletak philoshophy of history
(filsafat sejarah)[33].
Disamping itu Ibnu Khaldun adalah peletak dasar-daar ilmu sosiologi yang
melebihi dari sosok Auguste Comte yang dikenal sebagai bapak sosiologi.
Dalam konteks pemikirannya tentang pendidikan Wafi’ menyebut bahwa Ibnu
Khaldun adalah imam (pemuka) dan mujadid pedagogi pendidikan.[34]Wafi
juga mengakui keautentikan pendapat-pendapatnya dan mengagumi andilnya dalam
ilmu pendidikan dan psikologi pendidikan yang telah diakui oleh para ahli
modern. Demikian pula ‘Athiyah al Abrasy menyimpulkan bahwa beberapa aspek
pemikiran Ibnu Khaldun mempunyai kesamaan dengan pandangan filosofis pendidikan
modern.[35]Al
Syaibani dalam karyanya juga menegaskan bahwa Ibnu Khaldun sebagai pendidik
Islam terkenal.[36]Muhammad
Jawad Rida menegaskan pemikiran Ibnu Khaldun merupakan tonggak baru (fathan
jadidan) dalam pemikiran pendidikan Islami.[37]
Berdasarkan uraian di atas maka Warul Walidin menyimpulkan bahwa
pemikiran Ibnu Khaldun yang dituangkan
dalam Muqaddimah masih tetap aktual dan menjadi bahan kajian menarik
dikalangan sarjana. Hal ini menunjukkan bahwa pemikirannya disamping mengandung
berbagai kelebihan juga mencerminkan nuansa komodern. Dengan analisis yang
tajam terhadap dimensi-dimensi sosial dan moral pendidikan, ia memberikan
perhatian besar terhadap teori pedagogik. Ibnu Khaldun mengelaborasikan
teori-teori pedagogik berdasarkan pengamatan realistik keadaan pendidikan
zamannya.[38]
Walaupun banyak kelebihan yang diunggulkan oleh para sarjana mengenai
pemikiran Ibnu Khaldun bukan berarti pemikiran Ibnu Khaldun tidak mempunyai
kelemahan. Dari segi bangunan filosofi, pemikiran
Ibnu Khaldun tidak mempunyai landasan tegas sebagai pijakan. Pada hal betapapun
sebagaian dari pemikiran pedagogik adalah dibangun berlandaskan kerangka
filosofi tertentu. Ketidaktegasan ini memberi indikasi bahwa pemikiran Ibnu
Khaldun tidak memiliki akar pijak yang kokoh. Konsekuensinya, pemikiran
demikian terkesan spekulatif murni, meskipun ia sekuat tenaga mengajukan
argumentasi logis serta observasi empiris. Ini pula yang menyebabkan tidak
banyak para ahli yang menggolongkan Ibnu Khaldun sebagai pedagog yang mempunyai
otoritas keilmuan membahas masalah-masalah pendidikan. Kelemhan ini pula yang
menyebabkan ia tidak menjelaskan secara nyata dasar dan tujuan pendidikan.
Dasar dan tujuan merupakan 2 komponen penting dalam pendidikan (pedagogik). Demikianlah
kritik John. S. Brubacher sebagaimana dikutip Warul Walidin.[39]
Memang benar bahwa Ibnu Khaldun tidak menyebutkan tujuan pendidikan
secara nyata dalam karyanya Muqaddimah. Hal inilah yang menyebabkan beberapa
tafsiran para ahli mengenai tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun. Samsul
Nizar misalnya menyebut bahwa tujuan pendidikan
menurut Ibnu Khaldun ada tiga yaitu mengembangkan kemahiran (malakah )
pada bidang tertentu, penguasaan keterampilan sesuai dengan tuntutan zaman dan
pembinaan pemikiran yang baik.[40] Jika
dibaca sekilas tujuan pendidikan Ibnu Khaldun hasil rekonstruksi Samsul Nizar
di atas lebih menekankan pada aspek tujuan keduniawian dan tidak ada unsur
tujuan ukhrowinya. Namun sebetulnya jika dicermati dalam Muqaddimah sebetulnya
makna keahlian yang dimaksud adalah keahlian yang bernafaskan moral religius
dan memang Samsul Nizar tidak menyebutkan itu. Namun sebetulnya dalam konsep al
malakah (kemahiran) itu sendiri tidak saja sebagai sebuah kemahiran yang
bersifat kognitif tetapi juga afektif dan psikomotorik.
Jika Samsul Nizar tidak menyebutkan secara jelas tujuan pendidikan dari
sisi ukrowinya, Al Syaibani menyebutkan itu secara eksplisit, ia menemukan 6
hal tujuan pendidikan dari hasil analisa dia terhadap karya Muqaddimah Ibnu
Khaldun yaitu :
- menyiapkan seseorang dari segi keagamaan yaitu dengan mengajarkan syair-syair agama menurut al Qur’an dan Hadits Nabi sebab dengan jalan itu potensi iman itu diperkuat sebagaimana dengan potensi-potensi lain yang jika kita mendarah daging maka ia seakan-akan fitrah.
- Menyiapkan sesorang dari segi akhlak
- Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial
- Menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan.
- Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran sebab dengan pemikiran orang dapat memegang pekerjaan atau keterampilan tertentu.
- Menyiapkan seseorang dari segi kesenian, disini termasuk musik, syair, khat, seni bina dll.
Berdasarkan pendapat ini maka jelaslah bahwa keahlian yang dimaksud
merupakan keahlian yang bernafaskan moral religius.
Berpijak dari hasil rekonstruksi al Syaibani dan Samsul Nizar di atas
maka penulis menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah
keahlian yang bernafaskan moral religius. Tujuan pendidikan yang demikian ini
dalam pandangan penulis masih relevan sekalipun di era modern. Keahlian yang
tanpa didasari moral religius telah menimbulkan kerusakan yang hebat di muka
bumi. Hal ini bisa dilihat dari proses industrialisasi yang berideologikan
sekulerisme dan materialisme ternyata tidak selamanya memberikan kemaslahatan
bagi umat manusia bahkan justru terjadi kerusakan alam yang hebat seperti
polusi, penggundulan hutan, eksploitasi bumi yang berlebih dan lain-lain. Untuk
itu di era posmodern dimana orang telah mulai mencoba melakukan sebuah
integrasi antara moralitas religius dengan keilmuan maka pendapat Ibnu Khaldun
tersebut sangat relevan.
Demikian juga konsep keahlian yang utuh yang tidak saja mengedepankan
aspek kognitif seperti menghafal namun harus juga mencakup aspek afektif dan
psikomotorik sebagaimana dalam taksonomi Bloom, juga masih relevan untuk
diterapkan dimasa sekarang.
Demikian juga dengan beberapa prinsip dan metode pembelajaran yang dia
tawarkan sampai sekarang masih sangat relevan. Relevansi ini menunjukkan bahwa
pemikiran Ibnu Khaldun memang benar-benar genius dan luar biasa.
BAB.III
PENUTUP
KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dalam makalah ini maka dapat penulis simpulkan bahwa
Ibnu Khaldun tidak menyebutkan tujuan pendidikan secara jelas dalam buku
Muqaddimahnya. Untuk itu, dalam penulisan makalah ini merujuk pada hasil
analisa para ahli dalam memberikan pemaknaan terhadap muqaddimah dalam
kaitannya dengan tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun. Ahli-ahli tersebut antara
lain adalah al Syaibani, Samsul Nizar dan Warul Walidin. Dari beberapa hasil
analisa tersebut kemudian penulis mengambil kesimpulan bahwa tujuan pendidikan
Islam menurut Ibnu Khaldun adalah keahlian. Dalam konteks ini keahlian yang
dimaksud adalah keahlian yang bernafaskan moral religius.
Dalam konsepnya al malakah sebagaimana telah dijelaskan panjang lebar di
atas, maka dalam proses pendidikan seharusnya ditujukan tidak hanya untuk
mencari ilmu tetapi lebih dari sekedar itu yaitu keahlian. Untuk mencapai
keahlian tersebut maka proses pembelajaran harus dijalankan secara bertahap dan
berangsur-angsur sehingga ia dapat mencapai kemahiran (al malakah).
Berbicara keahlian, Ibnu Khaldun cenderung melihat bahwa seseorang
memiliki ciri spesialisasi. Artinya bahwa seseorang yang ahli dalam bidang
tertentu akan kesulitan untuk menjadi ahli pada bidang lain. Hal ini disebabkan
karena keahlian itu sudah mendarah daging dalam dirinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Arifin, Muzayin,1993. Filsafat Pendidikan Islam.Jakarta : Bumi Aksara
, 2006 Ilmu Pendidikan Islam : Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner Jakarta: Bumi Aksara
al Syaibany,
Oemar Muhammad al Toumy,1979. Falsafah Pendidikan Islam (terj. Hasan Langgulung).
Jakarta: Bulan Bintang
Khaldun,Ibnu. Muqaddimah. Pustaka
Firdaus
Majidi, Busyairi.1997. Konsep Pendidikan Islam Para
Filosof Muslim.Yogyakarta : Al Amin Press
Nata, Abuddin. 1997.Filsafat Pendidikan Islam 1.Jakarta
: Logos
Nizar, Syamsul.
2002 Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis. Jakarta:
Ciputat Pers,.
Rida, Muh. Jawad
Al Fikr al Tarbawi al Islami. Kuwait: Darul Fikr al Arabi
Sunanto, Musyrifah.2004. Sejarah Islam Klasik :
Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta: Pernada Media
Walidin, Warul
2005 Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun : Perspektif Pendidikan
Modern. Yogyakarta : Suluh Press
Zein, Muhammad.1985.Filsafat Pendidikan Islam. Jogjakarta:
IAIN Sunan Kalijaga
Zuhairini, 1995. Filsafat Pendidikan Islam.Jakarta :
Bumi Aksara,
http//farhanvsgnk.wordpress.com/2008/11/07/tujuan-pendidikan-menurut-ibnu-khaldun/
[1]
Warul Walidain, Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun : Perspektif
Pendidikan Modern (Yogyakarta : Suluh Press,2005) hlm 21
[2]
Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1 ( Jakarta : Logos, 1997) hlm
171
[3]
Warul, op.cit hlm 24-25
[4]
Ibid hlm 26
[5]
Ibid hlm 27
[6]
Ibid,hlm. 27
[7]
Lihat Busyairi Majidi, Konsep Pendidikan Islam Para Filosof Muslim (Yogyakarta
: Al Amin Press) hlm. 129
[8]
Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik : Perkembangan Ilmu Pengetahuan
Islam (Jakarta, Pernada Media,2004) hlm. 218
[9]
Ibid,hlm 220
[10]
Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta , Bumi Aksara, 1995) hlm.159-160
[11]
Oemar Muhammad al Toumy al Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam (terj.
Hasan Langgulung) (Jakarta, Bulan Bintang) hlm. 399
[12]
Muhammad Zein, Filsafat Pendidikan Islam (Jogjakarta, IAIN Sunan
Kalijaga,1985) hlm. 20
[13]
Muzayin Arifin, Filsafat Pendidikan
Islam (Jakarta, Bumi Aksara, 1993)hlm. 119
[14]
Zuhairini, op.cit hlm 161
[15]
Muzayin Arifin, Ilmu Pendidikan Islam : Tinjauan Teoritis dan Praktis
Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (Jakarta, Bumi Aksara, 2006) hlm
59-60
[16]
Ibid hlm 56-57
[17]
Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis, dan
Praktis. Jakarta, Ciputat Pers, 2002. hlm. 93-94
[18]
http//farhanvsgnk.wordpress.com/2008/11/07/tujuan-pendidikan-menurut-ibnu-khaldun/
[19]
Warul. Op. cit. hlm. 90
[20]
Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Pustaka Firdaus, hlm. 476
[21]
Ibid. hlm. 90
[22]
Ibnu Khaldun, op.cit. hlm. 535
[23]
Warul, op.cit. hlm. 91
[24]
Ibnu Khaldun, op.cit
[25]
Ibid, hlm. 540
[26]
Ibid, hlm. 537-538
[27]
Warul, op.cit. hlm. 92-93
[28]
Ibid, hlm. 93
[29]
Samsul Nizar, op.cit. hlm. 95
[30]
Warul, op.cit. hlm. 100-102
[31]
Ibnu Khaldun, op.cit. hlm. 483
[32]
Warul, op.cit. hlm 190-191
[33]
Lihat Musyrifah Sunanto dalam Sejarah Islam Klasik
[34]
Warul,op.cit.hlm 194
[35]
Ibid hlm. 195
[36]
Al syaibani, op.cit. hlm 56
[37]
Muh. Jawad Rida, Al Fikr al Tarbawi al ISlami, (Kuwait, Darul Fikr al
Arabi) hlm. 195-196
[38]
Warul,op.cit.hlm 197
[39]
Lihat warul, hlm 199
[40]
Samsul Nizar, op.cit hlm 93-94
Tidak ada komentar:
Posting Komentar