Senin, 19 Desember 2011

FILSAFAT PENDIDIKAN ISLAM


KEAHLIAN
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang Tujuan Pendidikan

Oleh : Agus Suroyo, S.Pd.I

  1. Sekilas Sejarah Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun bernama lengkap Waliuddin Abdu al rahman ibn Muhammad ibn al Hasan ibn al Jabir ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Abd al Rahman ibn Khaldun. Ibnu Khaldun yang sering dikenal sebagai sosiolog, ahli hukum dan sejarawan ini lahir di Tunisia tahun 1332 M dan meninggal di Mesir tahun 1406 M/808 H. Ibnu Khaldun merupakan keturunan Wail ibn Hujair salah satu dari sahabat Nabi Muhammad SAW. Leluhurnya berasal dari Hadaral maut, Yaman yang hijrah ke Spanyol pada abad ke 8 bersamaan dengan gelombang penklukan Islam di Semenanjung Andalusia.[1].
Ibnu Khaldun adalah keturunan politisi, aristocrat dan ilmuwan. Ayah Ibnu Khaldun, Abu Abdillah adalah seorang ulama yang ahli ilmu agama dan ilmu pengetahuan sedangkan kakeknya Abu Bakar Muhammad pernah menjadi kepala Negara di Tunisia. Latar belakang keluarga dan saat ia dilahirkan serta menjalani hidup nampaknya merupakan factor yang menentukan dalam perkembangan pemikirannya. Keluarganya telah mewariskan tradisi intelektual ke dalam dirinya[2] Sehingga tidak mengherankan jika pemikiran dia di bidang politik, pendidikan, dan sosiologi cukup tajam, hal ini terbukti dari tulisannya Muqadimah. Ibnu Khaldun muncul disaat Islam mengalami kemunduran dan awal munculnya Renaisasnce di barat.
Pendidikan Ibnu Khaldun dimasa kecil dimulai dari belajar membaca dan menghafal Al Qur’an serta ilmu pengetahuan di Masjid Al Quba. Sesudah itu beliau mempelajari bahasa pada sejumlah guru seperti Abu Abdillah ibn Muhammad ibnu Al Arabi al Hasyayari dan Abu al Abbas Ahmad ibn Al Qasar serta Abu Abdullah ibnu Babar. Ia mempelajari Hadits pada Syamsuddin Abu Abdillah al Wadiyasi. Mengenai Fiqh, ia belajar pada sejumlah guru diantaranya adalah Abu Abdillah Muhammad al Jiyani dan Abu Qohiri. Demikian juga ia mempelajari  ilmu-ilmu rasional atau filosofis yakni teologi, logika, ilmu-ilmu kealaman, matematika dan astronomi kepada Abu Abdillah ibn Al Abili[3]. Pendidikan formal ini ditempuh selama 18 tahun.
Adapun mengenai pengalaman Ibnu Khaldun dapat disebut antara lain sebagai Kitabu al Alamah atau semacam Sekertaris Negara pada tahun 751 H/1350 M, jabatan ini merupakan jabatan yang membutuhkan kemampuan retorika dan karang mengarang, jabatan ini diperoleh di masa Abu Ishaq bin Abi Yahya, seorang Amir yang diangkat oleh Menteri Muhammad Tafrikin untuk menggantikan saudaranya al Fadal[4]  Pada tahun 756 H, ia menjadi Kitaabah pada masa Abu Inan manjadi Raja Maghribi. Pada tahun 764 H, ia pindah ke Andalusia tepatnya di Granada. Pada saat di Granada ini, ia pernah menjadi duta kepada Raja Castilia, Pedro untuk mengadakan perdamaian antara keduanya. Berangkatlah ia ke Sevilia dan ia berhasil dalam missinya. Hal inilah yang menyebabkan Menteri Ibnu Al Khtib iri hati kepadanya[5]
Pada tahun 766 H, ia pindah ke Bougie, disana ia diangkat oleh Amir Bougie, Abu Abdillah menjadi Hijabah. Di tempat yang sama ia juga menjadi hakim Agung serta menjadi Guru Besar di Universitas Qasabah. Dengan demikian, Ibnu Khaldun telah memadukan antara kegiatan politik dengan kegiatan ilmu dalam satu waktu.[6]
Pada tahun 799 H, ia menyelesaikan tulisannya Muqadimah dan ketia di Mesir dia juga menjadi guru besar di Al Ahzar dan sebagai Hakim Agung. Di Al Ahzar ia mengajar Fiqh Maliki, hadits dan isi buku karangannya Muqadimah. Pada tahun 808 H, ia meninggal dunia di usianya 74 tahun[7].
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa riwayat hidup Ibnu Khaldun selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Hidup berpindah-pindah yang dilakoni Ibnu Khaldun menurut Prof. Dr. Hj. Musyrifah Sunanto, diakibatkan oleh suasana dunia Islam terutama di Afrika Utara dimana Ibnu Khaldun hidup demikian gelap dan kacau.[8] Dan memang zaman Ibnu Khaldun adalah zaman kemunduran Islam.
Itulah sejarah hidup Ibnu Khaldun, barangkali karena perjalanannya yang panjang dan berliku-liku itulah yang menjadi salah satu sebab sehingga ia dapat mengarang bukunya yang masyhur itu yang menciptakan ilmu baru “ilmu sosiologi”.[9]
Adapun karangan-karangan Ibnu Khaldun yang terbesar adalah al Ibar, namun yang paling terkenal adalah pengantar Al Ibar yaitu Muqadimah. Ia juga menulis bioografi dia dalam bukunya ta’rif. Disamping itu ada buku dia yang lain yaitu al syifa’al sail li Tahzib al masail dan Lubab al mahassal fi ushul al din
Corak pemikiran Ibnu Khaldun sekalipun rasional dengan menjadikan fakta empiric sebagai bahan analisisnya tetapi dia tetap mengkonsultasikanya dengan wahyu maka pemikirannya selain rasional tetapi juga sejalan dengan wahyu. Beberapa penulis menyebut bahwa Ibnu Khaldun adalah pengikut Al Ghazali, namun ada juga yang mengatakan bahwa Ibnu Khaldun adalah pengikut Ibnu Rusyd. Bahkan ada yang mangatakan bahwa Ibnu Khaldun mengikuti keduanya yaitu Ghazali dan Ibnu Rusyd. Pandangannya dalam filsafat  sama dengan Ibnu Taimiyah dan Al Ghazali yang menolak dan mengemukakakan kemustahilan filsafat khususnya metafisika sebagai usaha memahami kebenaran final.

  1. Tujuan  Pendidikan
Sebelum kita membahas masalah keahlian (kemahiran atau malakah ) sebagai salah satu pemikiran Ibnu Khaldun tentang tujuan pendidikan. Marilah kita memahami terlebih dahulu makna tujuan pendidikan itu sendiri.
Tujuan adalah dunia cita, yakni suasana ideal yang ingin diwujudkan. Dalam tujuan pendidikan suasana ideal itu nampak pada tujuan akhir (ultimate aims of education). Tujuan akhir biasanya dirumuskan secara padat dan singkat, seperti terbentuknya kepribadian muslim dan kematangan dan integritas, kesempurnaan pribadi.[10]
Adapun tujuan pendidikan menurut Al Syaibani adalah perubahan yang diingini yang diusahakan oleh proses pendidikan atau usaha pendidikan untuk mencapainya baik pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya atau pada kehidupan masyarakat dan alam sekitar tentang individu itu hidup atau pada proses  pendidikan sendiri dari proses pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai proporsi diantara profesi-profesi asasi dalam masyarakat.[11] Berdasarkan pendapat al Syaibani tersebut maka tujuan pendidikan merupakan sebuah cita-cita yang ingin dicapai dari suatu proses pendidikan baik untuk individu maupun masyarakat. Selanjutnya menurut al Syaibani, tujuan pendidikan itu dapat dibedakan menjadi tujuan individual yang berkaitan dengan individu-individu, tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat, dan tujuan professional yang berkaitan dengan pendidikan  dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai profesi, sebagai suatu aktivitas diantara aktivitas masyarakat yang lain.
Muhammad Zein berpendapat bahwa masalah tujuan pendidikan berkaitan sekali  dengan masalah nilai. Dan sudah barang tentu di dalam pendidikan Islam yang dimaksud nilai-nilai adalah nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran Islam atau yang dapat dibenarkan oleh ajaran Islam dan inilah yang dinilai tinggi olehnya.[12] Mengenai tujuan pendidikan Islam, Muzayin Arifin sepakat dengan pendapat Muhammad Zein di atas yaitu jika berbicara tujuan pendidikan Islam maka berarti berbicara tentang nilai-nilai ideal yang bercorak Islam.[13]
Jika kita melakukan klasifikasi, maka taksonomi tujuan pendidikan itu meliputi  :
a.                      Pembinaan kepribadian seperti sikap, daya pikiran praktis sosial, obyektifitas, loyalitas kepada bangsa dan ideologi, sadar nilai-nilai moral dan agama.
b.                     Pembinaan aspek pengetahuan (nilai material) yaitu materi ilmu itu sendiri
c.                      Pembinaan aspek kecakapan, keterampilan (skill) nilai-nilai praktis
d.                     Pembinaan jasmani yang sehat.[14]
Namun secara garis besar tujuan pendidikan itu dibedakan menjadi dua yaitu tujuan yang menitikberatkan kekuatan jasmaniah (al ahdaful jasmaniah) dan tujuan pendidikan yang menitikberatkan pada kekuatan rohaniah (al ahdaful rohaniah)[15]Adapun jika dilihat dari orientasinya maka tujuan pendidikan dapat dibedakan menjadi tujuan keagamaan (al ghardud Diny) dan tujuan keduniaan (al ghardud dunyawi)[16]

  1. Keahlian Sebagai Tujuan Pendidikan
                  Dalam berbicara masalah tujuan pendidikan, Ibnu Khaldun tidak membahasnya secara eksplisit. Muqadimah salah satu karyanya yang terkenal tidak membahas tujuan pendidikan dalam bab khusus. Namun dari urainnya memberikan kesimpulan terhadap arah tujuan pendidikan yang diinginkan. Syamsul Nizar menyimpulkan bahwa, ada 3 tingkatan tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan berdasarkan pandangannya terhadap Muqadimah Ibnu Khaldun yaitu:
a)      Pengembangan kemahiran (al malakah atau Skill) dalam bidang tertentu orang awam bisa memiliki pemahaman yang sama tentang suatu persoalan dengan seorang ilmuwan. Akan tetapi potensi al malakah tidak bisa dimiliki oleh setiap orang, kecuali setelah ia benar-benar memahami dan mendalami satu disiplin tertentu. Dalam hal ini, para pakar (Ilmuwan-Khawas) yang memiliki al malakah secara sempurna. Sementara untuk sampai pada tahap ini, diperlukan pendidikan yang sistematis dan mendalam.
b)      Penguasaan keterampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman (link and match). Dalam hal ini, pendidikan hendaknya ditujukan untuk memperoleh keterampilan yang tinggi pada profesi tersebut, pendekatan ini akan menunjang kemajuan dan kontinuitas sebuah kebudayaan, serta peradaban umat manusia dimuka bumi. Pendidikan yang meletakkan keterampilan sebagai salah satu tujuan yang hendak dicapai, dapat diartikan sebagai upaya mempertahankan dan memajukan peradaban secara keseluruhan.
c)      Pembinaan pemikiran yang baik. Kemampuan berfikir merupakan garis pembeda antara manusia dan binatang. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya diformat dan dilaksanakan dengan terlebih dahulu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan potensi psikologis peserta didik.[17]
Berdasarkan pendapat Samsul Nizar di atas maka tujuan pendidikan harus mangarah pada pengembangan keahlian, memberi bekal keterampilan yang sesuai dengan tuntutan zaman, dan adanya usaha pengembangan potensi akal.
Menurut hemat penulis, bahwa ketiga arah tujuan pendidikan pemikiran Ibnu Khaldun hasil kesimpulan Samsul Nizar di atas memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lain. Untuk mengembangkan keahlian dalam bidang tertentu (profesionalisme), maka di perlukan pembinaan pemikiran dan dalam proses pengembangan keahlian dalam bidang tertentu pasti harus memperhatikan tuntutan zaman dan menguasai keterampilan teknis, untuk itu, penulis mengambil kesimpulan bahwa arah tujuan pendidikan dalam pemikiran Ibnu Khaldun adalah mengarah pada profesionalisme. Dengan demikian, tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan profesionalisme (keahlian) peserta didik dalam bidang tertentu.
Pendapat ini diperkuat dengan pendapat Al Syaibani yang mencoba menganalisa isi Muqaddimah dan ditemukan beberapa tujuan yang hendak dicapai melalui pendidikan antara lain :
    1. menyiapkan seseorang dari segi keagamaan yaitu dengan mengajarkan syair-syair agama menurut al Qur’an dan Hadits Nabi sebab dengan jalan itu potensi iman itu diperkuat sebagaimana dengan potensi-potensi lain yang jika kita mendarah daging maka ia seakan-akan fitrah.
    2. Menyiapkan sesorang dari segi akhlak
    3. Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial
    4. Menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan.
    5. Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran sebab dengan pemikiran orang dapat memegang pekerjaan atau keterampilan tertentu.
    6. Menyiapkan seseorang dari segi kesenian, disini termasuk musik, syair, khat, seni bina dll.

Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian.[18]
Konsep yang paling terkenal yang diusulkan oleh Ibnu Khaldun adalah konsep Malakah. Malakah sesui asal katanya mengandung makna “menjadikan sesuatu untuk dimiliki atau dikuasai” suatu sifat yang mengakar pada jiwa.[19] Ibnu Khaldun merumuskan definisi malakah ialah “sifat yang berurat akar, sebagai hasil belajar atau mengerjakan sesuatu berulang kali, sehingga hasilnya dan bentuk pekerjaan itu dengan kokoh tertanam dalam jiwa”[20]
Malakah dalam proses belajar adalah suatu tingkat pencapaian (achievment) dari penguasaan materi keilmuwan, keterampilan, dan sikap tertentu. Akibat dari suatu proses belajar secara intens, bersungguh-sungguh dan sistematis.[21] Dengan arti ta’rif di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa malakah (keahlian) merupakan sebuah profesionalisme yang dimiliki oleh seseorang setelah mempelajari suatu bidang tertentu.
Ibnu Khaldun memaknai malakah berbeda dengan pemahaman dan pengetahuan melalui hafalan, pemahaman akan satu masalah yang termasuk bagian dari disiplin ilmu yang tunggal, bisa kita peroleh sama bagus hasilnya dengan mereka yang benar-benar mendalami disiplin ilmu yang tunggal, orang awam yang sama sekali tidak memiliki suatu pengetahuan, maupun sarjana yang pandai , kebiasaan (malakah) semata dan eksklusif dimiliki sarjana atau orang yang benar-benar mendalami disiplin ilmu pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan, malakah berbeda dengan pemahaman (fahm)[22]
Malakah seluruhnya bersifat psiko fisik (jasmaniyah, opereal), baik yang ada pada tabuh materi (al badanu, body) ataupun yang ada pada otak (al dimag, brain) hasil kemampuan berfikir seperti anritmatika, dan lain-lain seperti rasa. Semua yang bersifat jasmaniyah adalah sensibilia (mahsusah) karena itu, ia membutuhkan al ta’lim (pendidikan)[23]
Ibnu Khaldun menegaskan jiwa rasional (al Nafs, al Natiqah, rational soul) terdapat pada manusia hanya secara potensial. Transformasinya dari potensialitas ke aktualias, pertama-tama disebabkan oleh ilmu dan persepsi dari sensibilia, kemudian oleh capaian terakhir pengetahuan melalui kekuatan spekulatif hingga benar-benar menjadi persepsi aktual dan intelek murni dan ilmupun menjadi esensi spiritual, maka eksistensi manusia lalu menjadi sempurna.[24] Karena itu penting bahwa tiap-tiap jenis pengalaman belajar (pengetahuan) dan penalaran menambah manfaat bagi jiwa rasional, (degan intelegensi tambahan). Disamping itu keterampilan dan kebiasaannya selalu membawa pada perolehan hukum-hukum ilmiah, yang berasal dari kebiasaan itu. Atas dasar karakteristik jiwa rasional yang bersifat dinamis dan progresif, maka pengalaman mendatangkan tambahan intelegensi, budaya hidup, menetap yang mapan serta interaksi dengan orang lain menimbulkan tambahan lagi bagi intelegensi.
Kemahiran pada tingkatnya yang tinggi dalam pengajaran ilmu atau keahlian, dan dalam aktifitas biasa yang lain menambah luas wawasan akal (intelek) manusia, dan menambah cemerlang pikiran selama jiwa memperoleh sejumlah besar kemahiran (malakah). Kami telah menyatakan sebelum ini, bahwa jiwa tumbuh dibawah pengaruh persepsi-persepsi yang diterimanya dan kemahiran-kemahiran (malakah )yang diperolehnya, maka orang-orang timur menjadi lebih pandai, karena jiwa-jiwa mereka di pengaruhi oleh aktifitas ilmiah.[25] Dengan demikian untuk mencapai sebuah kemahiran harus di dukung oleh adanya aktifitas ilmiah di sekelilingnya. Untuk itu pengaruh lingkungan memiliki peranan besar terutama budaya ilmiah Budaya ilmiah akan memberi dukungan besar bagi tumbuhnya pembiasaan yang akan memberi jalan pada tercapainya keahlian (malakah).
Aktifitas ilmiah yang dapat menjadi daya dukung tercapainya malakah adalah melalui latihan lidah guna mengungkapkan pikiran-pikiran dengan jelas dalam diskusi dan perdebatan maslah-maslah ilmiah. Inilah cara yang mampu manjernihkan persoalan dan menumbuhkan pengertian, maka anda dapatkan sejumlah pelajar menghabiskan sebagian besar umur mereka untuk menghadiri session-session ilmiah, sedangkan sejumlah lainnya cuma diam, tidak bicara dan tidak nimbung dalam diskusi. Kelomok yang kedua memberikan perhatian terhadap hafalan lebih banyak dari pada yang dibutuhkan, tapi tidak memperoleh banyak kemahiran dalam mempraktekkan ilmu pengetahuan dan pengajaran ilmu. Sebagian besar mengira bahwa mereka telah memperoleh kemahiran dalam sesuatu bidang ilmu pengetahuan. Namun, setelah memasuki suatu diskusi atau perdebatan, atau ketika memberi pelajaran, ternyata kemahiran ilmiah yang mereka dapatkan tidak seberapa.[26] Dalam hal ini, Ibnu Khaldun menekankan bahwa agar tercapai kemahiran atau keahlian (malakah) maka tidak cukup hanya dengan menghafal materi tetapi harus dengan diskusi dan debat sebagai aktualisasi keilmuan.
Ibnu Khaldun berasumsi bahwa pengajaran atau belajar adalah suatu sina’ah (teknologik, Franz Rasenthal menerjamahkan sina’ah dengan craft). Sebab, sina’ah dalam suatu sains – pengetahuan tentang aspek-aspek yang beragam, serta penguasaannya merupakan akibat dari malakah yang memberi kemungkinan bagi subjek didik untuk menguasai semua prinsip dasar dan kaidah-kaidahnya. Disamping itu juga untuk memahami problemnya dan menguasai detilnya yang bersifat mendasar, sejauh malakah tidak dicapai, maka keahlian dalam suatu disiplin tidak mungkin diperoleh.[27]
Pemaknaan Ibnu Khaldun terhadap malakah menurut kutipan di atas, menurut Warul Walidain tidak sekedar insight (pencerahan) yang mempunyai kecenderungan kognitif semata-mata, tetapi sekaligus kognitif, afektif dan psikomotorik.[28]
Konsep malakah untuk mencapai sebuah kaehlian tersebut, turut mempengaruhi penggunaan metode yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, Khaldun mengemukakan 6 prinsip utama yang perlu diperhatikan pendidik, yaitu: (1) prinsip pembiasaan; (2) prinsip tadrij (berangsur-angsur); (3) prinsip pengenalan umum (generalistik); (4) prinsip kontiunitas; (5) memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik; (6) menghindari kekerasan dalam mengajar.[29]
Ibnu Khaldun mengusulkan metode tiga tahap dalam proses pembelajaran yaitu penyajian global (sabili al ijmal), pengembangan (al syarh wa al bayan), dan penuntasan atau penyimpulan (takhallus).[30] Melalui metode pembelajaran yang tepat, maka dapat menjadi jalan mempercepat tercapainya suatu malakah (keahlian).
Keahlian menurut Ibnu Khaldun terdapat keahlian pokok. Keahlian pokok merupakan kebutuhan yang sagat dibutuhkan masyarakat, keahlian-keahlian tersebut antara lain : pertanian, pertukangan kayu, pertenunan, kebidanan (kedokteran), tulis menulis, pembikinan kertas, menyanyi dan ketabiban.
Ibnu Khaldun juga berpendapat tentang kecenderungan bahwa bila seseorang telah menjadi ahli pada suatu bidang biasanya mereka sulit untuk memiliki keahlian lain. Ia mencontohkan tukang jahit yang sudah menjadi ahli dalam menjahit, sesekali seseorang tertanam berurat berakar dalam jiwanya, ia tidak akan ahli dalam pertukangan kayu atau batu, melainkan bila keahlian yang pertama itu belum tertanam dalam dan belum memberi corak kepada pikirannya. Alasan ialah, bahwa keahlian adalah sifat atau corak jiwa yang tidak tumbuh serempak.[31]  
                                                        
  1. Relevansi Pemikiran Ibnu Khaldun di Era Modern
Banyak para pakar dan sarjana yang terkagum-kagum dengan pemikiran Ibnu Khaldun. Mereka melihat bahwa teori Ibnu Khaldun sebagai karya genius luar biasa. Baali dan Ali Wardi memandang bobot pemikiran Ibnu Khaldun sama dengan pemikiran Machiavelli, Vico, Montesquieu, Adam Smith, Auguste Comte, Durkheim, Gumplowics, dan bahkan Karl Marx. Muqaddimah bahkan dianggap salah satu monograf penting yang pernah dihasilkan oleh tokoh kaliber dunia. Dalam perspektif fungsi utilitarian dari agama, Pitirim A. Sorokin menempatkan Ibnu Khaldun sejajar dengan Plato, Aristoteles, Glambatista, St. Thomas Aquinas sebagai pemikir idealis[32]
Pikiran-pikiran Ibnu Khaldun merupakan pemikiran-pemikiran baru yang belum pernah diuangkapkan oleh para pakar atau ilmuwan Muslim lain. Musyrifah Sunanto menyatakan bahwa Ibnu Khaldunlah peletak philoshophy of history (filsafat sejarah)[33]. Disamping itu Ibnu Khaldun adalah peletak dasar-daar ilmu sosiologi yang melebihi dari sosok Auguste Comte yang dikenal sebagai bapak sosiologi.
Dalam konteks pemikirannya tentang pendidikan Wafi’ menyebut bahwa Ibnu Khaldun adalah imam (pemuka) dan mujadid pedagogi pendidikan.[34]Wafi juga mengakui keautentikan pendapat-pendapatnya dan mengagumi andilnya dalam ilmu pendidikan dan psikologi pendidikan yang telah diakui oleh para ahli modern. Demikian pula ‘Athiyah al Abrasy menyimpulkan bahwa beberapa aspek pemikiran Ibnu Khaldun mempunyai kesamaan dengan pandangan filosofis pendidikan modern.[35]Al Syaibani dalam karyanya juga menegaskan bahwa Ibnu Khaldun sebagai pendidik Islam terkenal.[36]Muhammad Jawad Rida menegaskan pemikiran Ibnu Khaldun merupakan tonggak baru (fathan jadidan) dalam pemikiran pendidikan Islami.[37]
Berdasarkan uraian di atas maka Warul Walidin menyimpulkan bahwa pemikiran Ibnu Khaldun yang dituangkan  dalam Muqaddimah masih tetap aktual dan menjadi bahan kajian menarik dikalangan sarjana. Hal ini menunjukkan bahwa pemikirannya disamping mengandung berbagai kelebihan juga mencerminkan nuansa komodern. Dengan analisis yang tajam terhadap dimensi-dimensi sosial dan moral pendidikan, ia memberikan perhatian besar terhadap teori pedagogik. Ibnu Khaldun mengelaborasikan teori-teori pedagogik berdasarkan pengamatan realistik keadaan pendidikan zamannya.[38]
Walaupun banyak kelebihan yang diunggulkan oleh para sarjana mengenai pemikiran Ibnu Khaldun bukan berarti pemikiran Ibnu Khaldun tidak mempunyai kelemahan. Dari  segi bangunan filosofi, pemikiran Ibnu Khaldun tidak mempunyai landasan tegas sebagai pijakan. Pada hal betapapun sebagaian dari pemikiran pedagogik adalah dibangun berlandaskan kerangka filosofi tertentu. Ketidaktegasan ini memberi indikasi bahwa pemikiran Ibnu Khaldun tidak memiliki akar pijak yang kokoh. Konsekuensinya, pemikiran demikian terkesan spekulatif murni, meskipun ia sekuat tenaga mengajukan argumentasi logis serta observasi empiris. Ini pula yang menyebabkan tidak banyak para ahli yang menggolongkan Ibnu Khaldun sebagai pedagog yang mempunyai otoritas keilmuan membahas masalah-masalah pendidikan. Kelemhan ini pula yang menyebabkan ia tidak menjelaskan secara nyata dasar dan tujuan pendidikan. Dasar dan tujuan merupakan 2 komponen penting dalam pendidikan (pedagogik). Demikianlah kritik John. S. Brubacher sebagaimana dikutip Warul Walidin.[39]
Memang benar bahwa Ibnu Khaldun tidak menyebutkan tujuan pendidikan secara nyata dalam karyanya Muqaddimah. Hal inilah yang menyebabkan beberapa tafsiran para ahli mengenai tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun. Samsul Nizar misalnya menyebut bahwa tujuan pendidikan  menurut Ibnu Khaldun ada tiga yaitu mengembangkan kemahiran (malakah ) pada bidang tertentu, penguasaan keterampilan sesuai dengan tuntutan zaman dan pembinaan pemikiran yang baik.[40] Jika dibaca sekilas tujuan pendidikan Ibnu Khaldun hasil rekonstruksi Samsul Nizar di atas lebih menekankan pada aspek tujuan keduniawian dan tidak ada unsur tujuan ukhrowinya. Namun sebetulnya jika dicermati dalam Muqaddimah sebetulnya makna keahlian yang dimaksud adalah keahlian yang bernafaskan moral religius dan memang Samsul Nizar tidak menyebutkan itu. Namun sebetulnya dalam konsep al malakah (kemahiran) itu sendiri tidak saja sebagai sebuah kemahiran yang bersifat kognitif tetapi juga afektif dan psikomotorik.
Jika Samsul Nizar tidak menyebutkan secara jelas tujuan pendidikan dari sisi ukrowinya, Al Syaibani menyebutkan itu secara eksplisit, ia menemukan 6 hal tujuan pendidikan dari hasil analisa dia terhadap karya Muqaddimah Ibnu Khaldun yaitu :
    1. menyiapkan seseorang dari segi keagamaan yaitu dengan mengajarkan syair-syair agama menurut al Qur’an dan Hadits Nabi sebab dengan jalan itu potensi iman itu diperkuat sebagaimana dengan potensi-potensi lain yang jika kita mendarah daging maka ia seakan-akan fitrah.
    2. Menyiapkan sesorang dari segi akhlak
    3. Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial
    4. Menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan.
    5. Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran sebab dengan pemikiran orang dapat memegang pekerjaan atau keterampilan tertentu.
    6. Menyiapkan seseorang dari segi kesenian, disini termasuk musik, syair, khat, seni bina dll.
Berdasarkan pendapat ini maka jelaslah bahwa keahlian yang dimaksud merupakan keahlian yang bernafaskan moral religius.
Berpijak dari hasil rekonstruksi al Syaibani dan Samsul Nizar di atas maka penulis menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah keahlian yang bernafaskan moral religius. Tujuan pendidikan yang demikian ini dalam pandangan penulis masih relevan sekalipun di era modern. Keahlian yang tanpa didasari moral religius telah menimbulkan kerusakan yang hebat di muka bumi. Hal ini bisa dilihat dari proses industrialisasi yang berideologikan sekulerisme dan materialisme ternyata tidak selamanya memberikan kemaslahatan bagi umat manusia bahkan justru terjadi kerusakan alam yang hebat seperti polusi, penggundulan hutan, eksploitasi bumi yang berlebih dan lain-lain. Untuk itu di era posmodern dimana orang telah mulai mencoba melakukan sebuah integrasi antara moralitas religius dengan keilmuan maka pendapat Ibnu Khaldun tersebut sangat relevan.
Demikian juga konsep keahlian yang utuh yang tidak saja mengedepankan aspek kognitif seperti menghafal namun harus juga mencakup aspek afektif dan psikomotorik sebagaimana dalam taksonomi Bloom, juga masih relevan untuk diterapkan dimasa sekarang.
Demikian juga dengan beberapa prinsip dan metode pembelajaran yang dia tawarkan sampai sekarang masih sangat relevan. Relevansi ini menunjukkan bahwa pemikiran Ibnu Khaldun memang benar-benar genius dan luar biasa.


BAB.III
PENUTUP

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dalam makalah ini maka dapat penulis simpulkan bahwa Ibnu Khaldun tidak menyebutkan tujuan pendidikan secara jelas dalam buku Muqaddimahnya. Untuk itu, dalam penulisan makalah ini merujuk pada hasil analisa para ahli dalam memberikan pemaknaan terhadap muqaddimah dalam kaitannya dengan tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun. Ahli-ahli tersebut antara lain adalah al Syaibani, Samsul Nizar dan Warul Walidin. Dari beberapa hasil analisa tersebut kemudian penulis mengambil kesimpulan bahwa tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun adalah keahlian. Dalam konteks ini keahlian yang dimaksud adalah keahlian yang bernafaskan moral religius.
Dalam konsepnya al malakah sebagaimana telah dijelaskan panjang lebar di atas, maka dalam proses pendidikan seharusnya ditujukan tidak hanya untuk mencari ilmu tetapi lebih dari sekedar itu yaitu keahlian. Untuk mencapai keahlian tersebut maka proses pembelajaran harus dijalankan secara bertahap dan berangsur-angsur sehingga ia dapat mencapai kemahiran (al malakah).
Berbicara keahlian, Ibnu Khaldun cenderung melihat bahwa seseorang memiliki ciri spesialisasi. Artinya bahwa seseorang yang ahli dalam bidang tertentu akan kesulitan untuk menjadi ahli pada bidang lain. Hal ini disebabkan karena keahlian itu sudah mendarah daging dalam dirinya.











DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Muzayin,1993. Filsafat  Pendidikan Islam.Jakarta : Bumi Aksara
                         , 2006 Ilmu Pendidikan Islam : Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner Jakarta: Bumi Aksara
al Syaibany, Oemar Muhammad al Toumy,1979. Falsafah Pendidikan Islam (terj. Hasan Langgulung). Jakarta: Bulan Bintang
 Khaldun,Ibnu. Muqaddimah. Pustaka Firdaus
Majidi, Busyairi.1997. Konsep Pendidikan Islam Para Filosof Muslim.Yogyakarta : Al Amin Press
Nata, Abuddin. 1997.Filsafat Pendidikan Islam 1.Jakarta : Logos
Nizar, Syamsul. 2002 Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pers,.
Rida, Muh. Jawad Al Fikr al Tarbawi al Islami. Kuwait: Darul Fikr al Arabi
Sunanto, Musyrifah.2004. Sejarah Islam Klasik : Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta: Pernada Media
Walidin, Warul 2005 Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun : Perspektif Pendidikan Modern. Yogyakarta : Suluh Press
Zein, Muhammad.1985.Filsafat Pendidikan Islam. Jogjakarta: IAIN Sunan Kalijaga
Zuhairini, 1995. Filsafat Pendidikan Islam.Jakarta : Bumi Aksara,
http//farhanvsgnk.wordpress.com/2008/11/07/tujuan-pendidikan-menurut-ibnu-khaldun/



[1] Warul Walidain, Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun : Perspektif Pendidikan Modern (Yogyakarta : Suluh Press,2005) hlm 21
[2] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1 ( Jakarta : Logos, 1997) hlm 171
[3] Warul, op.cit hlm 24-25
[4] Ibid hlm 26
[5] Ibid hlm 27
[6] Ibid,hlm. 27
[7] Lihat Busyairi Majidi, Konsep Pendidikan Islam Para Filosof Muslim (Yogyakarta : Al Amin Press) hlm. 129
[8] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik : Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam (Jakarta, Pernada Media,2004) hlm. 218
[9] Ibid,hlm 220
[10] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta , Bumi Aksara, 1995) hlm.159-160
[11] Oemar Muhammad al Toumy al Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam (terj. Hasan Langgulung) (Jakarta, Bulan Bintang) hlm. 399
[12] Muhammad Zein, Filsafat Pendidikan Islam (Jogjakarta, IAIN Sunan Kalijaga,1985) hlm. 20
[13] Muzayin Arifin, Filsafat  Pendidikan Islam (Jakarta, Bumi Aksara, 1993)hlm. 119
[14] Zuhairini, op.cit hlm 161
[15] Muzayin Arifin, Ilmu Pendidikan Islam : Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (Jakarta, Bumi Aksara, 2006) hlm 59-60
[16] Ibid hlm 56-57
[17] Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis. Jakarta, Ciputat Pers, 2002. hlm. 93-94
[18] http//farhanvsgnk.wordpress.com/2008/11/07/tujuan-pendidikan-menurut-ibnu-khaldun/
[19] Warul. Op. cit. hlm. 90
[20] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Pustaka Firdaus, hlm. 476
[21] Ibid. hlm. 90
[22] Ibnu Khaldun, op.cit. hlm. 535
[23] Warul, op.cit. hlm. 91
[24] Ibnu Khaldun, op.cit
[25] Ibid, hlm. 540
[26] Ibid, hlm. 537-538
[27] Warul, op.cit. hlm. 92-93
[28] Ibid, hlm. 93
[29] Samsul Nizar, op.cit. hlm. 95
[30] Warul, op.cit. hlm. 100-102
[31] Ibnu Khaldun, op.cit. hlm. 483
[32] Warul, op.cit. hlm 190-191
[33] Lihat Musyrifah Sunanto dalam Sejarah Islam Klasik
[34] Warul,op.cit.hlm 194
[35] Ibid hlm. 195
[36] Al syaibani, op.cit. hlm 56
[37] Muh. Jawad Rida, Al Fikr al Tarbawi al ISlami, (Kuwait, Darul Fikr al Arabi) hlm. 195-196
[38] Warul,op.cit.hlm 197
[39] Lihat warul, hlm 199
[40] Samsul Nizar, op.cit hlm 93-94

Tidak ada komentar:

Posting Komentar