Jumat, 13 Januari 2012

Budaya Jawa

BUDAYA JAWA


NILAI-NILAI MORAL DALAM  BUDAYA  JAWA
  1. PENDAHULUAN
Perbedaan antara manusia dengan binatang adalah manusia  memiliki akal sedangkan binatang tidak memilikinya. Akal manusia dapat dikembangkan sehingga pengembangan akal ini akan melahirkan kebudayaan.
Setiap manusia di muka bumi ini tidak ada satupun yang tidak mempunyai budaya. Budaya merupakan sebuah bukti eksistensi manusia. Dengan demikian jika tidak ada budaya maka berarti tidak ada manusia.
“Budaya jawa” merupakan dua kata yang terdiri dari “budaya” dan “Jawa”. Budaya dan kebudayaan menurut para ahli antropologi memiliki makna yang sama. Apabila Budaya diartikan dari paduan kata budi dan daya, maknanya daya dari budi, maka daya dari budi mewujud pada 3 hal atau 3 wujud kebudayaan yaitu system ide, aktivitas dan hasil karya. Sedangkan jawa menunjuk pada nama suku di Indonesia yaitu suku Jawa. Dengan demikian budaya jawa dapat diartikan sebagai kebudayaan orang suku Jawa. Biasanya yang dikelompokkan ke dalam bagian suku jawa adalah orang Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jogjakarta untuk Jawa Barat termasuk dalam suku Sunda sedangkan Jakarta dalam aspek kebudayaan lebih banyak dikenal dengan Suku Betawi.
Kebudayaan menurut Koentjaraningrat terdiri dari berbagai unsure yaitu system kepercayaan, bahasa, system mata pencaharian, system pengetahuan, system peralatan dan teknologi, organisasi social dan kesenian. Dalam pembahasan makalah ini budaya yang dimaksud adalah dari unsur keseniannya. Dengan demikian makalah ini akan menyoroti masalah-masalah nilai-nilai moral yang terdapat dalam kesenian Jawa dan symbol-simbol Jawa yang memiliki makna.
  1. PEMBAHASAN
Orang jawa sangat terkenal dengan budaya simbolnya, hampir semua kehidupan orang jawa dipenuhi dengan symbol maka tidak heran jika disebut wong jawa anggone semu . Yang menarik setiap symbol yang dimiliki oleh orang jawa selalu memuat pesan dan nilai-nilai yang adi luhung.
Symbol-simbol yang memiliki makna tersebut misalnya pada tulisan ha na ca ra ka da ta sa wa la pa da ja ya nya ma ga ba tha nga. Huruf abjad ini tidak hanya sebagai  sebuah urutan huruf tetapi dalam urutan ini memiliki sebua makna.  Makna dibalik urutan huruf ini adalah  bahwa ada dua utusan (hana caraka), kedua utusan ini terjadi salah paham akibatnya mereka bertengkar (data sawala)  dan keduanya sama-sama kuat (pada jayanya) namun pada akhirnya mereka sama-sama meninggal menjadi batang (maga bathanga). 
Pemaknaan tersebut diawali dari sebuah mitologi mengenai Ajisaka. Pada saat itu raja Ajisaka mengutus dua utusan namun karena adanya kesalahpahaman itu justru utusan Ajisaka ini saling berkelahi dan keduanya sama-sama kuat namun pada  akhirnya keduanya sama-sama meninggal dunia. Dari cerita yang diambil dari penafsiran huruf jawa ini ada nilai moral yang dapat kita ambil yaitu :
Bagi pemimpin hendaknya ;
1.      seorang pemimpin harus arif, bijak, berwawasan luas serta tepat dalam memili pembantu-pembantunya.
2.      pemimipin harus membagi tugas dengan jelas sehingga tidak menimbulkan salah tafsir
3.      pemimpin harus menunjuk petugas yang layak.
4.      pemimpin harus selalu mengontrol pelaksanaan tugas
5.      pemimpin perlu membimbing dan memperbaiki kekeliruan
6.      pemimpin perlu menghindari jatuhnya korban yang mungkin karena kelalaiannya.
Bagi bawahan hendaknya memiliki moralitas seperti :
1.      Setia kepada perintah
2.      disiplin
3.      bersikap ksatria atau perwira
4.      siap mempertinggi kemampuan diri dan siap menanggung risiko.[1]
Itulah pesan (sasmita) yang terdapat dalam huruf abjad Jawa.
Untuk menjaga atau menghindari konflik batin, orang jawa sering menyampaikan pesan moralnya dengan bahasa-bahasa semu bahkan orang tuapun sering mengajarkan sesuatu kepada anaknya dengan bahasa yang semu (sasmita)  misalnya ketika orang tua mengajarkan seks atau mencari jodoh yang baik, cukup menunjukkan melalui metafora: ”Goleka wader, aja kleru urang” maksudnya carilah jodoh yang baik, jangan hanya seperti udang, kurang berbobot dan tidak baik.[2]
Penyampaian sikap dan perilaku yang tersamar merupakan betuk kehalusan budi berarti pula orang jawa memang tidak berlaku vulgar kendati memang harus bertindak kasar, misalnya marah sekalipun tetap disampaikan dengan semu. Demikian juga dalam menyampaikan pesan moral orang jawa juga sering dengan menggunakan bahasa-bahasa semu misalnya ada istilah ”ora elok” yang ditujukan kepada hal-hal yang terlarang untuk dilakukan. Ketika orang mengatakan ”ora elok aja lungguh neng ngarep lawang sore-sore”(tidak elok, jangan duduk di depan pintu sore-sore)  berarti perbuatan tersebut memang terlarang untuk dilakukan. Contoh lain yang mengandung pesan moral misal : ora elok aja lungguh neng mbantal artinya tidak elok jangan duduk di atas bantal. Kata ini sebetulnya mengandung pesan tentang kesopanan namun kemudian tidak dikatakan ”ajalungguh neng bantal ora sopan” tetapi tetap hanya menggunakan sasmita kata ora elok. Orang yang melarang dengan menggunakan ”ora elok” lebih efektif dibanding dengan melarang langsung misalnya ”ojo lungguh neng mbantal ora sopan”. Perkataan ”ora elok” ini juga merupakan bentuk simbol yang mengandung makna larangan.
Dalam menyampaikan pesan moral, orang jawa menggunakan berbagai macam sarana selain seperti yang telah diterangkan di atas. Sarana lain yang sering dipakai adalah seni baik itu seni musik, seni sastra, seni ukir, seni suara dan seterusnya. Dalam dunia seni sastra dapat kita jumpai berbagai karya sastra yang sarat dengan pesan-pesan moral  misalnya serat Wulangreh karya Sri Susuhanan Pakubuwana IV, Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV, Serat Pitutur, Serat Panitisastra, Serat Wasita Diyah Utama dan lain sabagainya.
Dalam serat Wedhatama misalnya disebutkan :
Ilmu iku kalakone kanthi laku, lekas lawan khas, tegese khas anyantosani, setya budya pangekese dur angkara.[3]
Makna ajaran moral dalam serat Wedhatama di atas adalah bahwa mencari ilmu  itu harus dilakukan dengan laku (usaha)  dengan tekad yang kuat dan menyentausakan serta mampu menumpas angkara murka.
Dalam serat Wulangreh misalnya yang mengandung pesan moralnya antara lain :
Pitutur bener iku, sayektine kang iku tiniru, nadyan melu saking wong sudra papeki, lamun becik wurukipun,iku pantes siro anggo.
Ana pocapanipun, adiguna, adigang,adigung, pan adigang kidang adingung pinasti, adiguna ula iku, telu pisan mati sampyoh.
Sikidang umbagipun angendelaken kebat lumpatipun pan si gajah angendelaken gung ainggil, ula ngendelaken iku mandine kalamun nyokot.
Ambek digang puniku, angungasaken kasuranipun, para tantang candala anyenyampahi, tinemenan boya purun, satemah dadi geguyon
Ing wong urip puniku, aja nganggo ambek kang tetelu anganggowo rereh ririh ngati-ati, den kawawang barang laku, den waskhitha solahing wong.[4]
.
Adapun pesan moral dalam surat Wulangreh sebagaimana telah tertulis di atas mengandung pesan :
1.            hendaknya kita meniru nasehat yang  baik walaupun nasehat itu keluar dari orang sudra (orang kelas sosial rendah).
2.            hidup itu hendaknya jangan adiguna,adigang,adigung atau memiliki watak gumbede (sombong) seperti seekor rusa (kidang) yang menyombongkan kemampuannya dalam melompat atau seperti gajah yang mnyombongkan badannya yang tinggi besar dan seperti ular yang menyombongkan bisanya yang ampuh.
Selaian ke dua serat itu ada juga ajaran moral yang terdapat dalam Serat Paniti Sastra yang menulis demikian :
Kathah kemawon para sujana ingkang andamel suka bingahing  putra, mboten limrah anggenipun angungung sarta angrengga mekaten punika dados putra wisa, mboten sinihan ing tiyang jaler estri, sebab punika kirang rahayuning budi, sarta kirang panembah dhateng dewa, ing wekasan dados tiyang dursila (durjana), putra awon punika upami kajeng, aking satemahan laku saged ambasmi sirna gampang.
Artinya : banyak saja para cendikia yang membuat senang anaknya, tidak lumrah dalam menuruti kehendaknya dan memberi pakaian serba baik itu artinya menjadikan anak bisa tidak dicintai oleh orang laki-laki perempuan, sebab itu kurang baik budinya dan kurang menyembah kepada Tuhan, akhirnya menjadi orang dursila (kurang kesusilaannya) atau durjana (orang yang bertabiat jahat), anak jelek itu andaikan pohon kering, akhirnya api dapat membakarnya dengan mudah.[5]  
Ajaran moral dalam serat Panitisastra ini ditujukan kepada para orang tua agar tidak memenjakan anak. Karena memanja anak justru akan membuat anak menjadi orang yang memiliki sifat buruk, kurang taat ibadah, kurang baik budi pekertinya dan justru akan mendorong anaknya menjadi anak yang durjana.
Demikian juga dalam Serat Pitutur
Polah kang nora patut, nora pantes lamun sira turut nora wurung rusak awake pribadi mulane wong urip iku sabarang dipun waspaos, polah kang nora jujur iku wajib lamun sira singkur, ungkarana ywa kongsi bisa kawijil, ujubena kang tuwajuh, kang wajib weruh Hyang Manon, mila wong urip iku den padha akarep marang ngelmu, ala becik ngelmu iku den kawruhi karana atungga wujud mung kacek omel lan batos.
Terjemahan : perbuatan yang tidak pantas, tidak pantas jika engkau ikuti tidak ayal lagi rusak badan sendiri, karena itu orang hidup, segala sesuatu harus waspada. Perbuatan yang tidak jujur, itu wajib tidak engkau perhatian, tidak dipikirkan lagi jangan sampai timbul nyatakan dengan niat yang taat, yang wajib, tahu Tuhan, oleh karena itu orang hidup, berniatlah terhadap ilmu, ilmu itu buruk baik diketahui, karena wujudnya satu, bedanya karya mantera dan batin.[6]
Dalam serat Pitutur tersebut  memberikan sebuah pesan moral mengenai perlunya diri kita agar tidak meniru perbuatan yang tidak pantas untuk ditiru karena hal itu akan membawa kerugian pada diri kita dan hendaknya orang hidup selalu berniat untuk menuntut ilmu, segala ilmu hendaknya dipelajari sekalipun ilmu yang buruk sekalipun karena pada dasarnya ilmu itu satu. Anjuran untuk mempelajari ilmu termasuk ilmu yang buruk sesungguhnya ilmu itu perlu dipelajari agar kita dapat mencegah keburukan itu misalnya ilmu kriminologi, ilmu ini mempelajari menganai masalah kriminal namun demikian mempelajari ilmu ini bukan digunakan untuk berbuat kriminal melainkan untuk mencegah kriminalitas.
Pesan moral tersbut ditulis dengan menggunakan seni sastra yang indah dan disampaikan dalam bentuk tembang macapat sehingga pesan moral tersebut sangat mudah diterima oleh siapapun karena menggunakan seni sebagai medianya. Penyampaikan pesan melalui seni sangat efektif dalam membentuk moralitas individu karena seni akan menyentuh rasa sehingga terinternalisasi dalam diri setiap individu yang akan membentuk perilku dalam kehidupan. Untuk itu bagi orang jawa mencari hiburan atau mencari tontonon selalui diikuti degan mencari tuntunan. Ketika mendengarkan lagu (gending atau langgam) mereka selalu ”ngelaras” yang bararti menyelaraskan rasa.Itulah keunikan orang jawa, hampir seluruh aspek kehidupan selalu penuh dengan pesan-pesan moral dan filosofi yang dalam mengenai kehidupan.
Nama-nama tembang macapat bukan berarti tanpa pesan luhur, nama-nama seperti mijil, kinanthi, sinom,asmarandana,dhandanggula, gambuh, maskumambang, durma, pagkur,megatruh,pocung. Nama-nama macapat ini memiliki makna mengenai perjalanan hidup manusia di dunia ini. mijil  memiliki makna  bahwa manusia awalnya adalah lahir ke dunia (mijil), ketika manusia lahir dimuka bumi ini manusi belum mengetahui apa-apa maka dari itula manusia perlu dituntun (dikanthi) maka disebut kinanthi. Perkembangan berikutnya setiap manusia itu akan beranjak ke usia muda (enom) sehingga disebut sinom. Dimasa muda ini, rasa cinta dengan lawan jenis mulai tumbuh  dan mendorong mereka untuk menjalin hubungan cinta (asmara) sehingga diberikan istilah asmarandana. Ketika anak muda menjalani hubungan cinta maka suasana yang sering muncul adalah suasana yang menyenangkan bagaikan manisnya gula maka disebut dengan Dhananggula. Sampai pada akhirnya setelah mereka dewasa (gambuh) mereka akan membangun rumah tangga.
Semakin bertambah usia manusia semakin mempertimbangkan dua kebutuhan yaitu kebutuhan untuk kebahagian dunia dan akhirat atau diistilahkan dengan maskumambang. Ketika usia semakin tua maka manusia hendaknya sudah mulai mundur dari hal-hal duniawiyah atau disebut durma yang kemudian mungkur ing kadunyan sehingga sering disebut Pangkur. Hidup manusia akan diakhiri dengan berpisahnya ruh dan jasad maka dalam tembang macapat disebut megatruh. Setelah antar ruh dan jasad itu pegat (pisah) maka manusia akan dipocong sehingga ada tembang macapat bernama pocung.
Ketika orang jawa sedang melakukan macapatan biasanya diiringi dengan instrumen musik yang disebut gamelan. Dari berbagai macam nama gamelan Jawa, ternyata merupakan gambaran proses berdakwah, yakni Rebab dari kata reb dan bab. Reb  dari kata karep  ( keinginan, harapan), dan bab (masalah). Untuk menyebarkan agama, harus terumuskan jelas masalahnya, agar jelas yang dicita-citakan, harapan. Agar jelas arah dan tujuannya, masalah  apa yang paling menarik perhatian jamaah perlu dikedepankan. Siapa yang akan dituju, umur, dan tempat, perlu dipertimbangkan masak-masak.
Gender dari kata gendera  (bendera), tempatnya di depan dan paling atas. Maksudnya dalam syi’ar agama, harus ada imam atau pimpinan yang di depan. Harus ada yang mengambil inisiatif demi kemajuan. Gender juga ada yang menyebut Barung, dari kata bar (sabar) dan ung (unggul). Maksudnya, imam harus sabar memimpin jamaah, agar unggul (menang), berhasil. Kesabaran berdakwah akan lebih cemerlang, karena apabila tergesa-gesa, orang jawa waktu itu belum mau menerima secara utuh kehadiran Islam.
Penerus, bentuknya seperti gender, hanya lebih kecil. Dalam menyebarkan agama, dimaksudkan jangan sampai putus, harus kontinue. Saron  dari kata seron (keras). Maksudnya dakwah harus dilandasi niat yang kencang, keteguhan. Gambang dari kata gamblang (jelas). Penyebaran agama tidak boleh ragu-ragu, harus jelas, bijaksana. Kendhang dari kata ken (kendali) dan dhang (pepadhang). Dakwah harus memagang kendali, yakni pikiran yang jernih (padhang). Harus berjiwa sepi ing pamrih kecuali hanya mengharap ridla Allah.
Seruling/suling dari su (nepsu) dan ling (eling). Dakwah harus berusaha mengingatkan kepada jama’ah, agar jangan takabur, riya, gila pujian, dan lain-lain. Panembung, dakwah harus bisa mengg bisa menggiring jamaah agar mau minta kasih Allah. Agar doanya dikabulkan. Celempung  dari kata ce (cepet), lem (lempeng, lurus), dan pung (rampung, selesai). Maksudnya dalam memohon itu hendaknya disertai cepat-cepat mohon ampun, tobat, lalu akan berbuat lurus, akan dikabulkan.
Bonang dari kata bon (baboning) dan nang (kemenangan). Tujuan berdakwah agar jamaah dapat mencapai kemenangan hidup. Kethuk dari kata ke (kecandak) dan thuk (manthuk). Tercapai apa yang dikehendaki. Kempul  dari kata kempel, padat, kompak. Untuk mencapai kehendak, jamaah harus rukun. Kenong dari kata ke (keparenge) dan nong (Hyang Winong ). Semua keinginan tercapai, semua itu berkat dari gong artinya agung atau akbar, yakni Allah.
Karena itu, dalam mencapai cita-cita hidup, manusia (jamaah) perlu memperhatikan bunyi gamelan :neng-ning-nung-nong (meneng, anteng, diam, dzikir dan tafakur, menjernihkan pikiran). Karena itu, jika ada panggilan Allah untuk menunaikan ibadah jamaah harus segera pung-pung-pung (suara kempul) segera berkumpul, dan ndang-ndang-ndang (bunyi kendang), cepat-cepat menjalankan. Itulah makna dari nama-nama gamelan yang memberikan pesan mengenai bagaimana proses dakwah itu hendaknya dilakukan.[7]
Bentuk seni lain yang juga sangat sarat dengan tuntunan moral adalah wayang kulit. Kesenian wayang tidak hanya sebagai sebuah hiburan bagi orang jawa tetapi wayang selalu sarat dengan makna dan kandungan filosofis di dalamnya. Wayang merupakan kesenian hasil budaya manusia yang adiluhung dimana dalam pewayang terkandung beberapa unsure seni lain seperti seni suara, seni musik, seni sastra, seni rupa yang keseluruhannya membentuk harmoni yang mengandung nilai-nilai estetika tinggi.
Seorang dalang selain harus menguasai ceritera pewayangan yang sarat dengan sastra jawa juga dituntut untuk memeliki suara yang baik dan merdu (gandem) dan memiliki seni cengkok dalam suluknya. Disamping itu penguasaan akan seni musik sebagai instrument saat pergelaran wayang berlangsung juga menjadi hal penting yang harus dimiliki oleh seorang dalang.
Pertujukan wayang yang jalan ceritanya banyak digubah dari kitab Mahabarata semuanya mempunyai tujuan utama yaitu memberi petunjuk kepada manusia ke jalan yang baik dan benar, ke jalan yang dikehendaki oleh Tuhan Yang Maha Esa, untuk memacu cipta, rasa, dan karsa manusia agar tergugah untuk ikut memperindah bebrayan agung untuk ikut mahayu hayuning bawana. Dengan demikian, pertunjukan wayang tidak hanya sebagai tontonan dan alat penghibur tetapi juga memuat tuntunan hidup manusia.
Perlunya menonton pertunjukkan  wayang kulit semalam suntuk adalah untuk memperoleh cakrawala baru. Pandangan dan sikap hidup manusia juga perlu untuk menentukan kebijakan dalam mengatasi tantangan dan sikap hidup. Kisah-kisah dalam pewayangan biasanya menggambarkan pertarungan dua kekuatan yang berlawanan dalam diri manusia yakni kekuatan konstruktif dan destruktif. Kekuatan konstruktiflah yang akhirnya dimenangkan dalam peperangan dan itulah yang menuju keutamaan atau kebenaran.
Dari sedikit uraian di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa pertunjukan wayang selain memiliki fungsi sebagai hiburan juga berfungsi sebagai media edukatif untuk memberikan gambaran tentang kehidupan sehingga sering disebut wewayangane urip yang tujuan akhirnya terbentuknya sebuah perilaku yang baik dalam kehidupan. Untuk itu seni pewayangan banyak mengandung pesan moral. Selain itu wayang bisa menjadi media suluh gesang bagi anak muda dalam memahami dan menapaki hidup sehingga akan menumbuhkan perilauku mulia (berbudi bawa laksana) bukan hanya berbondo bandung sentono(orang yang kaya harta dan saudara).
Itulah beberapa uraian mengenai betapa tingginya seni budaya jawa, seni bagi orang jawa tidak hanya sebagai alat penghibur (tontonan) tetapi juga mengandung tuntunan. Kecerdasan dan kecerdikan para wali tanah jawa yang menyebarkan Islam dengan seni ternyata sangat efektif, hal ini terbukti  bahwa penyebaran Islam di Jawa dapat berjalan dengan cepat berkat strategi ini. Hal inilah yang seharusnya ditiru oleh guru PAI masa kini.
Guru hendaknya dapat memanfaatkan seni budaya local sebagai sarana untuk mengajarkan nilai-nilai bagi peserta didik. Sebagaimana para wali masa lalu yang telah mengajarkan agama dengan memanfaatkan seni budaya local sebagai medianya. Wali atau da’I masa lalu adalah sebagai penganalisis budaya, penafsir budaya, penyelaras budaya dan penemu budaya. Jika ternyata dakwah semacam ini berhasil dan efektif tentunya tidak ada salahnya guru PAI untuk mengadopsi strategi itu dan tentunya tidak semua strategi itu relevan sehingga perlu adanya penyesuain-penyasuain dengan masa kini.
  1. PENUTUP
Sebagai penutup makalah ini, penulis akan menyampaikan kesimpulan dari uraian di atas. Berdasarkan uraian makalah di atas maka dapat kita simpulkan bahwa bagi orang Jawa internalisasi nilai dilakukan secara terintegrasi sehingga setiap hal dalam kehidupan orang jawa selalu mengandung makna dan nilai di dalamnya bahkan huruf abjad sekalipun. Penyampaian moral ataupun nilai-nilai terkadang juga disampaikan dalam bentuk kesenian. Hampir seluruh kesenian baik dari seni sastra, seni musik, seni pedalangan, seni suara ataupun seni ukir semua itu memiliki makna dan pesan yang adiluhung. Inilah keunggulan seni dan budaya Jawa. Aspek nilai tidak bisa ditinggal dari setiap aktivitas orang Jawa.
Demikianlah uraian makalah ini, mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
 Astiyanto, Heniy,2006.Filsafat Jawa : Menggali Butir-Butir Kearifan Lokal .Yogyakarta : Warta Pustaka,
Endraswara, Suwardi, 2006. Filsafat Kejawen Dalam Aksara Jawa. Yogyakarta : Gelombang Pasang,
-------------  , 2006. Falsafah Hidup Jawa.Yogyakarta: Cakrawala
Koentjaraningrat, 1996. Pengantar Antropologi 1. Jakarta : PT. Rieneka Cipta
Mangkunegara IV, Wedhatama Jinarwa . Surakarta : Cendrawasih
Wulangreh Yasan-Dalem Sri Susuhunan Pakubuwana IV. Surakarta : Cenrawasih
           


[1] Suwardi Endraswara, Filsafat Kejawen Dalam Aksara Jawa. (Yogyakarta : Gelombang Pasang, 2006) hal.136
[2] Suwardi Endrawara, Falsafah Hidup Jawa (Yogyakarta: Cakrawala, 2006) cet ke II hal 24.
[3] Mangkunegara IV, Wedhatama Jinarwa (Surakarta : Cendrawasih) hal. 5
[4] Wulangreh Yasan-Dalem Sri Susuhunan Pakubuwana IV(Surakarta : Cenrawasih) Hal 3-4
[5] Heniy  Astiyanto, Filsafat Jawa : Menggali Butir-Butir Kearifan Lokal (Yogyakarta : Warta Pustaka, 2006) hal. 13-14
[6] Ibid, hal 16-17
[7] Suwardi Endrawara, Falsafah Hidup Jawa ………. hal 94-95

DPD RI Eni khaerani


filsafat islam


KEAHLIAN
Pemikiran Ibnu Khaldun tentang Tujuan Pendidikan

Oleh : Agus Suroyo, S.Pd.I

  1. Sekilas Sejarah Ibnu Khaldun

Ibnu Khaldun bernama lengkap Waliuddin Abdu al rahman ibn Muhammad ibn al Hasan ibn al Jabir ibn Muhammad ibn Ibrahim ibn Abd al Rahman ibn Khaldun. Ibnu Khaldun yang sering dikenal sebagai sosiolog, ahli hukum dan sejarawan ini lahir di Tunisia tahun 1332 M dan meninggal di Mesir tahun 1406 M/808 H. Ibnu Khaldun merupakan keturunan Wail ibn Hujair salah satu dari sahabat Nabi Muhammad SAW. Leluhurnya berasal dari Hadaral maut, Yaman yang hijrah ke Spanyol pada abad ke 8 bersamaan dengan gelombang penklukan Islam di Semenanjung Andalusia.[1].
Ibnu Khaldun adalah keturunan politisi, aristocrat dan ilmuwan. Ayah Ibnu Khaldun, Abu Abdillah adalah seorang ulama yang ahli ilmu agama dan ilmu pengetahuan sedangkan kakeknya Abu Bakar Muhammad pernah menjadi kepala Negara di Tunisia. Latar belakang keluarga dan saat ia dilahirkan serta menjalani hidup nampaknya merupakan factor yang menentukan dalam perkembangan pemikirannya. Keluarganya telah mewariskan tradisi intelektual ke dalam dirinya[2] Sehingga tidak mengherankan jika pemikiran dia di bidang politik, pendidikan, dan sosiologi cukup tajam, hal ini terbukti dari tulisannya Muqadimah. Ibnu Khaldun muncul disaat Islam mengalami kemunduran dan awal munculnya Renaisasnce di barat.
Pendidikan Ibnu Khaldun dimasa kecil dimulai dari belajar membaca dan menghafal Al Qur’an serta ilmu pengetahuan di Masjid Al Quba. Sesudah itu beliau mempelajari bahasa pada sejumlah guru seperti Abu Abdillah ibn Muhammad ibnu Al Arabi al Hasyayari dan Abu al Abbas Ahmad ibn Al Qasar serta Abu Abdullah ibnu Babar. Ia mempelajari Hadits pada Syamsuddin Abu Abdillah al Wadiyasi. Mengenai Fiqh, ia belajar pada sejumlah guru diantaranya adalah Abu Abdillah Muhammad al Jiyani dan Abu Qohiri. Demikian juga ia mempelajari  ilmu-ilmu rasional atau filosofis yakni teologi, logika, ilmu-ilmu kealaman, matematika dan astronomi kepada Abu Abdillah ibn Al Abili[3]. Pendidikan formal ini ditempuh selama 18 tahun.
Adapun mengenai pengalaman Ibnu Khaldun dapat disebut antara lain sebagai Kitabu al Alamah atau semacam Sekertaris Negara pada tahun 751 H/1350 M, jabatan ini merupakan jabatan yang membutuhkan kemampuan retorika dan karang mengarang, jabatan ini diperoleh di masa Abu Ishaq bin Abi Yahya, seorang Amir yang diangkat oleh Menteri Muhammad Tafrikin untuk menggantikan saudaranya al Fadal[4]  Pada tahun 756 H, ia menjadi Kitaabah pada masa Abu Inan manjadi Raja Maghribi. Pada tahun 764 H, ia pindah ke Andalusia tepatnya di Granada. Pada saat di Granada ini, ia pernah menjadi duta kepada Raja Castilia, Pedro untuk mengadakan perdamaian antara keduanya. Berangkatlah ia ke Sevilia dan ia berhasil dalam missinya. Hal inilah yang menyebabkan Menteri Ibnu Al Khtib iri hati kepadanya[5]
Pada tahun 766 H, ia pindah ke Bougie, disana ia diangkat oleh Amir Bougie, Abu Abdillah menjadi Hijabah. Di tempat yang sama ia juga menjadi hakim Agung serta menjadi Guru Besar di Universitas Qasabah. Dengan demikian, Ibnu Khaldun telah memadukan antara kegiatan politik dengan kegiatan ilmu dalam satu waktu.[6]
Pada tahun 799 H, ia menyelesaikan tulisannya Muqadimah dan ketia di Mesir dia juga menjadi guru besar di Al Ahzar dan sebagai Hakim Agung. Di Al Ahzar ia mengajar Fiqh Maliki, hadits dan isi buku karangannya Muqadimah. Pada tahun 808 H, ia meninggal dunia di usianya 74 tahun[7].
Berdasarkan uraian di atas terlihat bahwa riwayat hidup Ibnu Khaldun selalu berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain. Hidup berpindah-pindah yang dilakoni Ibnu Khaldun menurut Prof. Dr. Hj. Musyrifah Sunanto, diakibatkan oleh suasana dunia Islam terutama di Afrika Utara dimana Ibnu Khaldun hidup demikian gelap dan kacau.[8] Dan memang zaman Ibnu Khaldun adalah zaman kemunduran Islam.
Itulah sejarah hidup Ibnu Khaldun, barangkali karena perjalanannya yang panjang dan berliku-liku itulah yang menjadi salah satu sebab sehingga ia dapat mengarang bukunya yang masyhur itu yang menciptakan ilmu baru “ilmu sosiologi”.[9]
Adapun karangan-karangan Ibnu Khaldun yang terbesar adalah al Ibar, namun yang paling terkenal adalah pengantar Al Ibar yaitu Muqadimah. Ia juga menulis bioografi dia dalam bukunya ta’rif. Disamping itu ada buku dia yang lain yaitu al syifa’al sail li Tahzib al masail dan Lubab al mahassal fi ushul al din
Corak pemikiran Ibnu Khaldun sekalipun rasional dengan menjadikan fakta empiric sebagai bahan analisisnya tetapi dia tetap mengkonsultasikanya dengan wahyu maka pemikirannya selain rasional tetapi juga sejalan dengan wahyu. Beberapa penulis menyebut bahwa Ibnu Khaldun adalah pengikut Al Ghazali, namun ada juga yang mengatakan bahwa Ibnu Khaldun adalah pengikut Ibnu Rusyd. Bahkan ada yang mangatakan bahwa Ibnu Khaldun mengikuti keduanya yaitu Ghazali dan Ibnu Rusyd. Pandangannya dalam filsafat  sama dengan Ibnu Taimiyah dan Al Ghazali yang menolak dan mengemukakakan kemustahilan filsafat khususnya metafisika sebagai usaha memahami kebenaran final.

  1. Tujuan  Pendidikan
Sebelum kita membahas masalah keahlian (kemahiran atau malakah ) sebagai salah satu pemikiran Ibnu Khaldun tentang tujuan pendidikan. Marilah kita memahami terlebih dahulu makna tujuan pendidikan itu sendiri.
Tujuan adalah dunia cita, yakni suasana ideal yang ingin diwujudkan. Dalam tujuan pendidikan suasana ideal itu nampak pada tujuan akhir (ultimate aims of education). Tujuan akhir biasanya dirumuskan secara padat dan singkat, seperti terbentuknya kepribadian muslim dan kematangan dan integritas, kesempurnaan pribadi.[10]
Adapun tujuan pendidikan menurut Al Syaibani adalah perubahan yang diingini yang diusahakan oleh proses pendidikan atau usaha pendidikan untuk mencapainya baik pada tingkah laku individu dan kehidupan pribadinya atau pada kehidupan masyarakat dan alam sekitar tentang individu itu hidup atau pada proses  pendidikan sendiri dari proses pengajaran sebagai suatu aktivitas asasi dan sebagai proporsi diantara profesi-profesi asasi dalam masyarakat.[11] Berdasarkan pendapat al Syaibani tersebut maka tujuan pendidikan merupakan sebuah cita-cita yang ingin dicapai dari suatu proses pendidikan baik untuk individu maupun masyarakat. Selanjutnya menurut al Syaibani, tujuan pendidikan itu dapat dibedakan menjadi tujuan individual yang berkaitan dengan individu-individu, tujuan sosial yang berkaitan dengan kehidupan masyarakat, dan tujuan professional yang berkaitan dengan pendidikan  dan pengajaran sebagai ilmu, sebagai profesi, sebagai suatu aktivitas diantara aktivitas masyarakat yang lain.
Muhammad Zein berpendapat bahwa masalah tujuan pendidikan berkaitan sekali  dengan masalah nilai. Dan sudah barang tentu di dalam pendidikan Islam yang dimaksud nilai-nilai adalah nilai-nilai yang sesuai dengan ajaran Islam atau yang dapat dibenarkan oleh ajaran Islam dan inilah yang dinilai tinggi olehnya.[12] Mengenai tujuan pendidikan Islam, Muzayin Arifin sepakat dengan pendapat Muhammad Zein di atas yaitu jika berbicara tujuan pendidikan Islam maka berarti berbicara tentang nilai-nilai ideal yang bercorak Islam.[13]
Jika kita melakukan klasifikasi, maka taksonomi tujuan pendidikan itu meliputi  :
a.                      Pembinaan kepribadian seperti sikap, daya pikiran praktis sosial, obyektifitas, loyalitas kepada bangsa dan ideologi, sadar nilai-nilai moral dan agama.
b.                     Pembinaan aspek pengetahuan (nilai material) yaitu materi ilmu itu sendiri
c.                      Pembinaan aspek kecakapan, keterampilan (skill) nilai-nilai praktis
d.                     Pembinaan jasmani yang sehat.[14]
Namun secara garis besar tujuan pendidikan itu dibedakan menjadi dua yaitu tujuan yang menitikberatkan kekuatan jasmaniah (al ahdaful jasmaniah) dan tujuan pendidikan yang menitikberatkan pada kekuatan rohaniah (al ahdaful rohaniah)[15]Adapun jika dilihat dari orientasinya maka tujuan pendidikan dapat dibedakan menjadi tujuan keagamaan (al ghardud Diny) dan tujuan keduniaan (al ghardud dunyawi)[16]

  1. Keahlian Sebagai Tujuan Pendidikan
                  Dalam berbicara masalah tujuan pendidikan, Ibnu Khaldun tidak membahasnya secara eksplisit. Muqadimah salah satu karyanya yang terkenal tidak membahas tujuan pendidikan dalam bab khusus. Namun dari urainnya memberikan kesimpulan terhadap arah tujuan pendidikan yang diinginkan. Syamsul Nizar menyimpulkan bahwa, ada 3 tingkatan tujuan yang hendak dicapai dalam proses pendidikan berdasarkan pandangannya terhadap Muqadimah Ibnu Khaldun yaitu:
a)      Pengembangan kemahiran (al malakah atau Skill) dalam bidang tertentu orang awam bisa memiliki pemahaman yang sama tentang suatu persoalan dengan seorang ilmuwan. Akan tetapi potensi al malakah tidak bisa dimiliki oleh setiap orang, kecuali setelah ia benar-benar memahami dan mendalami satu disiplin tertentu. Dalam hal ini, para pakar (Ilmuwan-Khawas) yang memiliki al malakah secara sempurna. Sementara untuk sampai pada tahap ini, diperlukan pendidikan yang sistematis dan mendalam.
b)      Penguasaan keterampilan professional sesuai dengan tuntutan zaman (link and match). Dalam hal ini, pendidikan hendaknya ditujukan untuk memperoleh keterampilan yang tinggi pada profesi tersebut, pendekatan ini akan menunjang kemajuan dan kontinuitas sebuah kebudayaan, serta peradaban umat manusia dimuka bumi. Pendidikan yang meletakkan keterampilan sebagai salah satu tujuan yang hendak dicapai, dapat diartikan sebagai upaya mempertahankan dan memajukan peradaban secara keseluruhan.
c)      Pembinaan pemikiran yang baik. Kemampuan berfikir merupakan garis pembeda antara manusia dan binatang. Oleh karena itu, pendidikan hendaknya diformat dan dilaksanakan dengan terlebih dahulu memperhatikan pertumbuhan dan perkembangan potensi psikologis peserta didik.[17]
Berdasarkan pendapat Samsul Nizar di atas maka tujuan pendidikan harus mangarah pada pengembangan keahlian, memberi bekal keterampilan yang sesuai dengan tuntutan zaman, dan adanya usaha pengembangan potensi akal.
Menurut hemat penulis, bahwa ketiga arah tujuan pendidikan pemikiran Ibnu Khaldun hasil kesimpulan Samsul Nizar di atas memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lain. Untuk mengembangkan keahlian dalam bidang tertentu (profesionalisme), maka di perlukan pembinaan pemikiran dan dalam proses pengembangan keahlian dalam bidang tertentu pasti harus memperhatikan tuntutan zaman dan menguasai keterampilan teknis, untuk itu, penulis mengambil kesimpulan bahwa arah tujuan pendidikan dalam pemikiran Ibnu Khaldun adalah mengarah pada profesionalisme. Dengan demikian, tujuan pendidikan adalah untuk mengembangkan profesionalisme (keahlian) peserta didik dalam bidang tertentu.
Pendapat ini diperkuat dengan pendapat Al Syaibani yang mencoba menganalisa isi Muqaddimah dan ditemukan beberapa tujuan yang hendak dicapai melalui pendidikan antara lain :
    1. menyiapkan seseorang dari segi keagamaan yaitu dengan mengajarkan syair-syair agama menurut al Qur’an dan Hadits Nabi sebab dengan jalan itu potensi iman itu diperkuat sebagaimana dengan potensi-potensi lain yang jika kita mendarah daging maka ia seakan-akan fitrah.
    2. Menyiapkan sesorang dari segi akhlak
    3. Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial
    4. Menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan.
    5. Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran sebab dengan pemikiran orang dapat memegang pekerjaan atau keterampilan tertentu.
    6. Menyiapkan seseorang dari segi kesenian, disini termasuk musik, syair, khat, seni bina dll.

Dari penjelasan tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa pendidikan bukan hanya bertujuan untuk mendapatkan ilmu akan tetapi juga untuk mendapatkan keahlian.[18]
Konsep yang paling terkenal yang diusulkan oleh Ibnu Khaldun adalah konsep Malakah. Malakah sesui asal katanya mengandung makna “menjadikan sesuatu untuk dimiliki atau dikuasai” suatu sifat yang mengakar pada jiwa.[19] Ibnu Khaldun merumuskan definisi malakah ialah “sifat yang berurat akar, sebagai hasil belajar atau mengerjakan sesuatu berulang kali, sehingga hasilnya dan bentuk pekerjaan itu dengan kokoh tertanam dalam jiwa”[20]
Malakah dalam proses belajar adalah suatu tingkat pencapaian (achievment) dari penguasaan materi keilmuwan, keterampilan, dan sikap tertentu. Akibat dari suatu proses belajar secara intens, bersungguh-sungguh dan sistematis.[21] Dengan arti ta’rif di atas, maka penulis menyimpulkan bahwa malakah (keahlian) merupakan sebuah profesionalisme yang dimiliki oleh seseorang setelah mempelajari suatu bidang tertentu.
Ibnu Khaldun memaknai malakah berbeda dengan pemahaman dan pengetahuan melalui hafalan, pemahaman akan satu masalah yang termasuk bagian dari disiplin ilmu yang tunggal, bisa kita peroleh sama bagus hasilnya dengan mereka yang benar-benar mendalami disiplin ilmu yang tunggal, orang awam yang sama sekali tidak memiliki suatu pengetahuan, maupun sarjana yang pandai , kebiasaan (malakah) semata dan eksklusif dimiliki sarjana atau orang yang benar-benar mendalami disiplin ilmu pengetahuan. Hal ini menunjukkan bahwa kebiasaan, malakah berbeda dengan pemahaman (fahm)[22]
Malakah seluruhnya bersifat psiko fisik (jasmaniyah, opereal), baik yang ada pada tabuh materi (al badanu, body) ataupun yang ada pada otak (al dimag, brain) hasil kemampuan berfikir seperti anritmatika, dan lain-lain seperti rasa. Semua yang bersifat jasmaniyah adalah sensibilia (mahsusah) karena itu, ia membutuhkan al ta’lim (pendidikan)[23]
Ibnu Khaldun menegaskan jiwa rasional (al Nafs, al Natiqah, rational soul) terdapat pada manusia hanya secara potensial. Transformasinya dari potensialitas ke aktualias, pertama-tama disebabkan oleh ilmu dan persepsi dari sensibilia, kemudian oleh capaian terakhir pengetahuan melalui kekuatan spekulatif hingga benar-benar menjadi persepsi aktual dan intelek murni dan ilmupun menjadi esensi spiritual, maka eksistensi manusia lalu menjadi sempurna.[24] Karena itu penting bahwa tiap-tiap jenis pengalaman belajar (pengetahuan) dan penalaran menambah manfaat bagi jiwa rasional, (degan intelegensi tambahan). Disamping itu keterampilan dan kebiasaannya selalu membawa pada perolehan hukum-hukum ilmiah, yang berasal dari kebiasaan itu. Atas dasar karakteristik jiwa rasional yang bersifat dinamis dan progresif, maka pengalaman mendatangkan tambahan intelegensi, budaya hidup, menetap yang mapan serta interaksi dengan orang lain menimbulkan tambahan lagi bagi intelegensi.
Kemahiran pada tingkatnya yang tinggi dalam pengajaran ilmu atau keahlian, dan dalam aktifitas biasa yang lain menambah luas wawasan akal (intelek) manusia, dan menambah cemerlang pikiran selama jiwa memperoleh sejumlah besar kemahiran (malakah). Kami telah menyatakan sebelum ini, bahwa jiwa tumbuh dibawah pengaruh persepsi-persepsi yang diterimanya dan kemahiran-kemahiran (malakah )yang diperolehnya, maka orang-orang timur menjadi lebih pandai, karena jiwa-jiwa mereka di pengaruhi oleh aktifitas ilmiah.[25] Dengan demikian untuk mencapai sebuah kemahiran harus di dukung oleh adanya aktifitas ilmiah di sekelilingnya. Untuk itu pengaruh lingkungan memiliki peranan besar terutama budaya ilmiah Budaya ilmiah akan memberi dukungan besar bagi tumbuhnya pembiasaan yang akan memberi jalan pada tercapainya keahlian (malakah).
Aktifitas ilmiah yang dapat menjadi daya dukung tercapainya malakah adalah melalui latihan lidah guna mengungkapkan pikiran-pikiran dengan jelas dalam diskusi dan perdebatan maslah-maslah ilmiah. Inilah cara yang mampu manjernihkan persoalan dan menumbuhkan pengertian, maka anda dapatkan sejumlah pelajar menghabiskan sebagian besar umur mereka untuk menghadiri session-session ilmiah, sedangkan sejumlah lainnya cuma diam, tidak bicara dan tidak nimbung dalam diskusi. Kelomok yang kedua memberikan perhatian terhadap hafalan lebih banyak dari pada yang dibutuhkan, tapi tidak memperoleh banyak kemahiran dalam mempraktekkan ilmu pengetahuan dan pengajaran ilmu. Sebagian besar mengira bahwa mereka telah memperoleh kemahiran dalam sesuatu bidang ilmu pengetahuan. Namun, setelah memasuki suatu diskusi atau perdebatan, atau ketika memberi pelajaran, ternyata kemahiran ilmiah yang mereka dapatkan tidak seberapa.[26] Dalam hal ini, Ibnu Khaldun menekankan bahwa agar tercapai kemahiran atau keahlian (malakah) maka tidak cukup hanya dengan menghafal materi tetapi harus dengan diskusi dan debat sebagai aktualisasi keilmuan.
Ibnu Khaldun berasumsi bahwa pengajaran atau belajar adalah suatu sina’ah (teknologik, Franz Rasenthal menerjamahkan sina’ah dengan craft). Sebab, sina’ah dalam suatu sains – pengetahuan tentang aspek-aspek yang beragam, serta penguasaannya merupakan akibat dari malakah yang memberi kemungkinan bagi subjek didik untuk menguasai semua prinsip dasar dan kaidah-kaidahnya. Disamping itu juga untuk memahami problemnya dan menguasai detilnya yang bersifat mendasar, sejauh malakah tidak dicapai, maka keahlian dalam suatu disiplin tidak mungkin diperoleh.[27]
Pemaknaan Ibnu Khaldun terhadap malakah menurut kutipan di atas, menurut Warul Walidain tidak sekedar insight (pencerahan) yang mempunyai kecenderungan kognitif semata-mata, tetapi sekaligus kognitif, afektif dan psikomotorik.[28]
Konsep malakah untuk mencapai sebuah kaehlian tersebut, turut mempengaruhi penggunaan metode yang dapat digunakan dalam proses pembelajaran. Dalam proses pembelajaran, Khaldun mengemukakan 6 prinsip utama yang perlu diperhatikan pendidik, yaitu: (1) prinsip pembiasaan; (2) prinsip tadrij (berangsur-angsur); (3) prinsip pengenalan umum (generalistik); (4) prinsip kontiunitas; (5) memperhatikan bakat dan kemampuan peserta didik; (6) menghindari kekerasan dalam mengajar.[29]
Ibnu Khaldun mengusulkan metode tiga tahap dalam proses pembelajaran yaitu penyajian global (sabili al ijmal), pengembangan (al syarh wa al bayan), dan penuntasan atau penyimpulan (takhallus).[30] Melalui metode pembelajaran yang tepat, maka dapat menjadi jalan mempercepat tercapainya suatu malakah (keahlian).
Keahlian menurut Ibnu Khaldun terdapat keahlian pokok. Keahlian pokok merupakan kebutuhan yang sagat dibutuhkan masyarakat, keahlian-keahlian tersebut antara lain : pertanian, pertukangan kayu, pertenunan, kebidanan (kedokteran), tulis menulis, pembikinan kertas, menyanyi dan ketabiban.
Ibnu Khaldun juga berpendapat tentang kecenderungan bahwa bila seseorang telah menjadi ahli pada suatu bidang biasanya mereka sulit untuk memiliki keahlian lain. Ia mencontohkan tukang jahit yang sudah menjadi ahli dalam menjahit, sesekali seseorang tertanam berurat berakar dalam jiwanya, ia tidak akan ahli dalam pertukangan kayu atau batu, melainkan bila keahlian yang pertama itu belum tertanam dalam dan belum memberi corak kepada pikirannya. Alasan ialah, bahwa keahlian adalah sifat atau corak jiwa yang tidak tumbuh serempak.[31]  
                                                        
  1. Relevansi Pemikiran Ibnu Khaldun di Era Modern
Banyak para pakar dan sarjana yang terkagum-kagum dengan pemikiran Ibnu Khaldun. Mereka melihat bahwa teori Ibnu Khaldun sebagai karya genius luar biasa. Baali dan Ali Wardi memandang bobot pemikiran Ibnu Khaldun sama dengan pemikiran Machiavelli, Vico, Montesquieu, Adam Smith, Auguste Comte, Durkheim, Gumplowics, dan bahkan Karl Marx. Muqaddimah bahkan dianggap salah satu monograf penting yang pernah dihasilkan oleh tokoh kaliber dunia. Dalam perspektif fungsi utilitarian dari agama, Pitirim A. Sorokin menempatkan Ibnu Khaldun sejajar dengan Plato, Aristoteles, Glambatista, St. Thomas Aquinas sebagai pemikir idealis[32]
Pikiran-pikiran Ibnu Khaldun merupakan pemikiran-pemikiran baru yang belum pernah diuangkapkan oleh para pakar atau ilmuwan Muslim lain. Musyrifah Sunanto menyatakan bahwa Ibnu Khaldunlah peletak philoshophy of history (filsafat sejarah)[33]. Disamping itu Ibnu Khaldun adalah peletak dasar-daar ilmu sosiologi yang melebihi dari sosok Auguste Comte yang dikenal sebagai bapak sosiologi.
Dalam konteks pemikirannya tentang pendidikan Wafi’ menyebut bahwa Ibnu Khaldun adalah imam (pemuka) dan mujadid pedagogi pendidikan.[34]Wafi juga mengakui keautentikan pendapat-pendapatnya dan mengagumi andilnya dalam ilmu pendidikan dan psikologi pendidikan yang telah diakui oleh para ahli modern. Demikian pula ‘Athiyah al Abrasy menyimpulkan bahwa beberapa aspek pemikiran Ibnu Khaldun mempunyai kesamaan dengan pandangan filosofis pendidikan modern.[35]Al Syaibani dalam karyanya juga menegaskan bahwa Ibnu Khaldun sebagai pendidik Islam terkenal.[36]Muhammad Jawad Rida menegaskan pemikiran Ibnu Khaldun merupakan tonggak baru (fathan jadidan) dalam pemikiran pendidikan Islami.[37]
Berdasarkan uraian di atas maka Warul Walidin menyimpulkan bahwa pemikiran Ibnu Khaldun yang dituangkan  dalam Muqaddimah masih tetap aktual dan menjadi bahan kajian menarik dikalangan sarjana. Hal ini menunjukkan bahwa pemikirannya disamping mengandung berbagai kelebihan juga mencerminkan nuansa komodern. Dengan analisis yang tajam terhadap dimensi-dimensi sosial dan moral pendidikan, ia memberikan perhatian besar terhadap teori pedagogik. Ibnu Khaldun mengelaborasikan teori-teori pedagogik berdasarkan pengamatan realistik keadaan pendidikan zamannya.[38]
Walaupun banyak kelebihan yang diunggulkan oleh para sarjana mengenai pemikiran Ibnu Khaldun bukan berarti pemikiran Ibnu Khaldun tidak mempunyai kelemahan. Dari  segi bangunan filosofi, pemikiran Ibnu Khaldun tidak mempunyai landasan tegas sebagai pijakan. Pada hal betapapun sebagaian dari pemikiran pedagogik adalah dibangun berlandaskan kerangka filosofi tertentu. Ketidaktegasan ini memberi indikasi bahwa pemikiran Ibnu Khaldun tidak memiliki akar pijak yang kokoh. Konsekuensinya, pemikiran demikian terkesan spekulatif murni, meskipun ia sekuat tenaga mengajukan argumentasi logis serta observasi empiris. Ini pula yang menyebabkan tidak banyak para ahli yang menggolongkan Ibnu Khaldun sebagai pedagog yang mempunyai otoritas keilmuan membahas masalah-masalah pendidikan. Kelemhan ini pula yang menyebabkan ia tidak menjelaskan secara nyata dasar dan tujuan pendidikan. Dasar dan tujuan merupakan 2 komponen penting dalam pendidikan (pedagogik). Demikianlah kritik John. S. Brubacher sebagaimana dikutip Warul Walidin.[39]
Memang benar bahwa Ibnu Khaldun tidak menyebutkan tujuan pendidikan secara nyata dalam karyanya Muqaddimah. Hal inilah yang menyebabkan beberapa tafsiran para ahli mengenai tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun. Samsul Nizar misalnya menyebut bahwa tujuan pendidikan  menurut Ibnu Khaldun ada tiga yaitu mengembangkan kemahiran (malakah ) pada bidang tertentu, penguasaan keterampilan sesuai dengan tuntutan zaman dan pembinaan pemikiran yang baik.[40] Jika dibaca sekilas tujuan pendidikan Ibnu Khaldun hasil rekonstruksi Samsul Nizar di atas lebih menekankan pada aspek tujuan keduniawian dan tidak ada unsur tujuan ukhrowinya. Namun sebetulnya jika dicermati dalam Muqaddimah sebetulnya makna keahlian yang dimaksud adalah keahlian yang bernafaskan moral religius dan memang Samsul Nizar tidak menyebutkan itu. Namun sebetulnya dalam konsep al malakah (kemahiran) itu sendiri tidak saja sebagai sebuah kemahiran yang bersifat kognitif tetapi juga afektif dan psikomotorik.
Jika Samsul Nizar tidak menyebutkan secara jelas tujuan pendidikan dari sisi ukrowinya, Al Syaibani menyebutkan itu secara eksplisit, ia menemukan 6 hal tujuan pendidikan dari hasil analisa dia terhadap karya Muqaddimah Ibnu Khaldun yaitu :
    1. menyiapkan seseorang dari segi keagamaan yaitu dengan mengajarkan syair-syair agama menurut al Qur’an dan Hadits Nabi sebab dengan jalan itu potensi iman itu diperkuat sebagaimana dengan potensi-potensi lain yang jika kita mendarah daging maka ia seakan-akan fitrah.
    2. Menyiapkan sesorang dari segi akhlak
    3. Menyiapkan seseorang dari segi kemasyarakatan atau sosial
    4. Menyiapkan seseorang dari segi vokasional atau pekerjaan.
    5. Menyiapkan seseorang dari segi pemikiran sebab dengan pemikiran orang dapat memegang pekerjaan atau keterampilan tertentu.
    6. Menyiapkan seseorang dari segi kesenian, disini termasuk musik, syair, khat, seni bina dll.
Berdasarkan pendapat ini maka jelaslah bahwa keahlian yang dimaksud merupakan keahlian yang bernafaskan moral religius.
Berpijak dari hasil rekonstruksi al Syaibani dan Samsul Nizar di atas maka penulis menyimpulkan bahwa tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun adalah keahlian yang bernafaskan moral religius. Tujuan pendidikan yang demikian ini dalam pandangan penulis masih relevan sekalipun di era modern. Keahlian yang tanpa didasari moral religius telah menimbulkan kerusakan yang hebat di muka bumi. Hal ini bisa dilihat dari proses industrialisasi yang berideologikan sekulerisme dan materialisme ternyata tidak selamanya memberikan kemaslahatan bagi umat manusia bahkan justru terjadi kerusakan alam yang hebat seperti polusi, penggundulan hutan, eksploitasi bumi yang berlebih dan lain-lain. Untuk itu di era posmodern dimana orang telah mulai mencoba melakukan sebuah integrasi antara moralitas religius dengan keilmuan maka pendapat Ibnu Khaldun tersebut sangat relevan.
Demikian juga konsep keahlian yang utuh yang tidak saja mengedepankan aspek kognitif seperti menghafal namun harus juga mencakup aspek afektif dan psikomotorik sebagaimana dalam taksonomi Bloom, juga masih relevan untuk diterapkan dimasa sekarang.
Demikian juga dengan beberapa prinsip dan metode pembelajaran yang dia tawarkan sampai sekarang masih sangat relevan. Relevansi ini menunjukkan bahwa pemikiran Ibnu Khaldun memang benar-benar genius dan luar biasa.


BAB.III
PENUTUP

KESIMPULAN
Berdasarkan uraian dalam makalah ini maka dapat penulis simpulkan bahwa Ibnu Khaldun tidak menyebutkan tujuan pendidikan secara jelas dalam buku Muqaddimahnya. Untuk itu, dalam penulisan makalah ini merujuk pada hasil analisa para ahli dalam memberikan pemaknaan terhadap muqaddimah dalam kaitannya dengan tujuan pendidikan menurut Ibnu Khaldun. Ahli-ahli tersebut antara lain adalah al Syaibani, Samsul Nizar dan Warul Walidin. Dari beberapa hasil analisa tersebut kemudian penulis mengambil kesimpulan bahwa tujuan pendidikan Islam menurut Ibnu Khaldun adalah keahlian. Dalam konteks ini keahlian yang dimaksud adalah keahlian yang bernafaskan moral religius.
Dalam konsepnya al malakah sebagaimana telah dijelaskan panjang lebar di atas, maka dalam proses pendidikan seharusnya ditujukan tidak hanya untuk mencari ilmu tetapi lebih dari sekedar itu yaitu keahlian. Untuk mencapai keahlian tersebut maka proses pembelajaran harus dijalankan secara bertahap dan berangsur-angsur sehingga ia dapat mencapai kemahiran (al malakah).
Berbicara keahlian, Ibnu Khaldun cenderung melihat bahwa seseorang memiliki ciri spesialisasi. Artinya bahwa seseorang yang ahli dalam bidang tertentu akan kesulitan untuk menjadi ahli pada bidang lain. Hal ini disebabkan karena keahlian itu sudah mendarah daging dalam dirinya.











DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Muzayin,1993. Filsafat  Pendidikan Islam.Jakarta : Bumi Aksara
                         , 2006 Ilmu Pendidikan Islam : Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner Jakarta: Bumi Aksara
al Syaibany, Oemar Muhammad al Toumy,1979. Falsafah Pendidikan Islam (terj. Hasan Langgulung). Jakarta: Bulan Bintang
 Khaldun,Ibnu. Muqaddimah. Pustaka Firdaus
Majidi, Busyairi.1997. Konsep Pendidikan Islam Para Filosof Muslim.Yogyakarta : Al Amin Press
Nata, Abuddin. 1997.Filsafat Pendidikan Islam 1.Jakarta : Logos
Nizar, Syamsul. 2002 Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis. Jakarta: Ciputat Pers,.
Rida, Muh. Jawad Al Fikr al Tarbawi al Islami. Kuwait: Darul Fikr al Arabi
Sunanto, Musyrifah.2004. Sejarah Islam Klasik : Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam. Jakarta: Pernada Media
Walidin, Warul 2005 Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun : Perspektif Pendidikan Modern. Yogyakarta : Suluh Press
Zein, Muhammad.1985.Filsafat Pendidikan Islam. Jogjakarta: IAIN Sunan Kalijaga
Zuhairini, 1995. Filsafat Pendidikan Islam.Jakarta : Bumi Aksara,
http//farhanvsgnk.wordpress.com/2008/11/07/tujuan-pendidikan-menurut-ibnu-khaldun/



[1] Warul Walidain, Konstelasi Pemikiran Pedagogik Ibnu Khaldun : Perspektif Pendidikan Modern (Yogyakarta : Suluh Press,2005) hlm 21
[2] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam 1 ( Jakarta : Logos, 1997) hlm 171
[3] Warul, op.cit hlm 24-25
[4] Ibid hlm 26
[5] Ibid hlm 27
[6] Ibid,hlm. 27
[7] Lihat Busyairi Majidi, Konsep Pendidikan Islam Para Filosof Muslim (Yogyakarta : Al Amin Press) hlm. 129
[8] Musyrifah Sunanto, Sejarah Islam Klasik : Perkembangan Ilmu Pengetahuan Islam (Jakarta, Pernada Media,2004) hlm. 218
[9] Ibid,hlm 220
[10] Zuhairini, Filsafat Pendidikan Islam (Jakarta , Bumi Aksara, 1995) hlm.159-160
[11] Oemar Muhammad al Toumy al Syaibany, Falsafah Pendidikan Islam (terj. Hasan Langgulung) (Jakarta, Bulan Bintang) hlm. 399
[12] Muhammad Zein, Filsafat Pendidikan Islam (Jogjakarta, IAIN Sunan Kalijaga,1985) hlm. 20
[13] Muzayin Arifin, Filsafat  Pendidikan Islam (Jakarta, Bumi Aksara, 1993)hlm. 119
[14] Zuhairini, op.cit hlm 161
[15] Muzayin Arifin, Ilmu Pendidikan Islam : Tinjauan Teoritis dan Praktis Berdasarkan Pendekatan Interdisipliner (Jakarta, Bumi Aksara, 2006) hlm 59-60
[16] Ibid hlm 56-57
[17] Syamsul Nizar, Filsafat Pendidikan Islam; Pendekatan Historis, Teoritis, dan Praktis. Jakarta, Ciputat Pers, 2002. hlm. 93-94
[18] http//farhanvsgnk.wordpress.com/2008/11/07/tujuan-pendidikan-menurut-ibnu-khaldun/
[19] Warul. Op. cit. hlm. 90
[20] Ibnu Khaldun, Muqaddimah, Pustaka Firdaus, hlm. 476
[21] Ibid. hlm. 90
[22] Ibnu Khaldun, op.cit. hlm. 535
[23] Warul, op.cit. hlm. 91
[24] Ibnu Khaldun, op.cit
[25] Ibid, hlm. 540
[26] Ibid, hlm. 537-538
[27] Warul, op.cit. hlm. 92-93
[28] Ibid, hlm. 93
[29] Samsul Nizar, op.cit. hlm. 95
[30] Warul, op.cit. hlm. 100-102
[31] Ibnu Khaldun, op.cit. hlm. 483
[32] Warul, op.cit. hlm 190-191
[33] Lihat Musyrifah Sunanto dalam Sejarah Islam Klasik
[34] Warul,op.cit.hlm 194
[35] Ibid hlm. 195
[36] Al syaibani, op.cit. hlm 56
[37] Muh. Jawad Rida, Al Fikr al Tarbawi al ISlami, (Kuwait, Darul Fikr al Arabi) hlm. 195-196
[38] Warul,op.cit.hlm 197
[39] Lihat warul, hlm 199
[40] Samsul Nizar, op.cit hlm 93-94