BUDAYA JAWA
NILAI-NILAI MORAL DALAM BUDAYA JAWA
- PENDAHULUAN
Perbedaan antara manusia dengan binatang adalah manusia memiliki akal sedangkan binatang tidak
memilikinya. Akal manusia dapat dikembangkan sehingga pengembangan akal ini
akan melahirkan kebudayaan.
Setiap manusia di muka bumi ini tidak ada satupun yang tidak mempunyai
budaya. Budaya merupakan sebuah bukti eksistensi manusia. Dengan demikian jika
tidak ada budaya maka berarti tidak ada manusia.
“Budaya jawa” merupakan dua kata yang terdiri dari “budaya” dan “Jawa”.
Budaya dan kebudayaan menurut para ahli antropologi memiliki makna yang sama. Apabila
Budaya diartikan dari paduan kata budi dan daya, maknanya daya dari budi, maka
daya dari budi mewujud pada 3 hal atau 3 wujud kebudayaan yaitu system ide, aktivitas
dan hasil karya. Sedangkan jawa menunjuk pada nama suku di Indonesia yaitu
suku Jawa. Dengan demikian budaya jawa dapat diartikan sebagai kebudayaan orang
suku Jawa. Biasanya yang dikelompokkan ke dalam bagian suku jawa adalah orang
Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jogjakarta untuk Jawa Barat termasuk dalam suku
Sunda sedangkan Jakarta dalam aspek kebudayaan lebih banyak dikenal dengan Suku
Betawi.
Kebudayaan menurut Koentjaraningrat terdiri dari berbagai unsure yaitu
system kepercayaan, bahasa, system mata pencaharian, system pengetahuan, system
peralatan dan teknologi, organisasi social dan kesenian. Dalam pembahasan
makalah ini budaya yang dimaksud adalah dari unsur keseniannya. Dengan demikian
makalah ini akan menyoroti masalah-masalah nilai-nilai moral yang terdapat
dalam kesenian Jawa dan symbol-simbol Jawa yang memiliki makna.
- PEMBAHASAN
Orang jawa sangat terkenal dengan budaya simbolnya, hampir semua
kehidupan orang jawa dipenuhi dengan symbol maka tidak heran jika disebut wong jawa anggone semu . Yang menarik setiap symbol yang
dimiliki oleh orang jawa selalu memuat pesan dan nilai-nilai yang adi luhung.
Symbol-simbol yang memiliki
makna tersebut misalnya pada tulisan ha
na ca ra ka da ta sa wa la pa da ja ya nya ma ga ba tha nga. Huruf abjad
ini tidak hanya sebagai sebuah urutan
huruf tetapi dalam urutan ini memiliki sebua makna. Makna dibalik urutan huruf ini adalah bahwa ada dua utusan (hana caraka), kedua utusan ini terjadi salah paham akibatnya mereka
bertengkar (data sawala) dan keduanya sama-sama kuat (pada jayanya) namun pada akhirnya mereka
sama-sama meninggal menjadi batang (maga
bathanga).
Pemaknaan tersebut diawali
dari sebuah mitologi mengenai Ajisaka. Pada saat itu raja Ajisaka mengutus dua
utusan namun karena adanya kesalahpahaman itu justru utusan Ajisaka ini saling
berkelahi dan keduanya sama-sama kuat namun pada akhirnya keduanya sama-sama meninggal dunia.
Dari cerita yang diambil dari penafsiran huruf jawa ini ada nilai moral yang
dapat kita ambil yaitu :
Bagi pemimpin hendaknya ;
1. seorang pemimpin harus arif, bijak,
berwawasan luas serta tepat dalam memili pembantu-pembantunya.
2. pemimipin harus membagi tugas dengan jelas
sehingga tidak menimbulkan salah tafsir
3. pemimpin harus menunjuk petugas yang
layak.
4. pemimpin harus selalu mengontrol
pelaksanaan tugas
5. pemimpin perlu membimbing dan memperbaiki
kekeliruan
6. pemimpin perlu menghindari jatuhnya korban
yang mungkin karena kelalaiannya.
Bagi bawahan hendaknya
memiliki moralitas seperti :
1. Setia kepada perintah
2. disiplin
3. bersikap ksatria atau perwira
4. siap mempertinggi kemampuan diri dan siap
menanggung risiko.[1]
Itulah pesan (sasmita)
yang terdapat dalam huruf abjad Jawa.
Untuk menjaga atau menghindari
konflik batin, orang jawa sering menyampaikan pesan moralnya dengan
bahasa-bahasa semu bahkan orang tuapun sering mengajarkan sesuatu kepada
anaknya dengan bahasa yang semu (sasmita) misalnya ketika orang tua mengajarkan seks
atau mencari jodoh yang baik, cukup menunjukkan melalui metafora: ”Goleka wader, aja kleru urang”
maksudnya carilah jodoh yang baik, jangan hanya seperti udang, kurang berbobot
dan tidak baik.[2]
Penyampaian sikap dan perilaku
yang tersamar merupakan betuk kehalusan budi berarti pula orang jawa memang
tidak berlaku vulgar kendati memang harus bertindak kasar, misalnya marah
sekalipun tetap disampaikan dengan semu. Demikian juga dalam menyampaikan pesan
moral orang jawa juga sering dengan menggunakan bahasa-bahasa semu misalnya ada
istilah ”ora elok” yang ditujukan
kepada hal-hal yang terlarang untuk dilakukan. Ketika orang mengatakan ”ora elok aja lungguh neng ngarep lawang
sore-sore”(tidak elok, jangan duduk di depan pintu sore-sore) berarti perbuatan tersebut memang terlarang
untuk dilakukan. Contoh lain yang mengandung pesan moral misal : ora elok
aja lungguh neng mbantal artinya tidak elok jangan duduk di atas bantal.
Kata ini sebetulnya mengandung pesan tentang kesopanan namun kemudian tidak
dikatakan ”ajalungguh neng bantal ora sopan” tetapi tetap hanya menggunakan
sasmita kata ora elok. Orang yang melarang dengan menggunakan ”ora elok”
lebih efektif dibanding dengan melarang langsung misalnya ”ojo lungguh neng
mbantal ora sopan”. Perkataan ”ora elok” ini juga merupakan bentuk simbol
yang mengandung makna larangan.
Dalam menyampaikan pesan
moral, orang jawa menggunakan berbagai macam sarana selain seperti yang telah
diterangkan di atas. Sarana lain yang sering dipakai adalah seni baik itu seni
musik, seni sastra, seni ukir, seni suara dan seterusnya. Dalam dunia seni
sastra dapat kita jumpai berbagai karya sastra yang sarat dengan pesan-pesan
moral misalnya serat Wulangreh
karya Sri Susuhanan Pakubuwana IV, Serat Wedhatama karya Mangkunegara
IV, Serat Pitutur, Serat Panitisastra, Serat Wasita Diyah
Utama dan lain sabagainya.
Dalam serat Wedhatama misalnya
disebutkan :
Ilmu iku kalakone kanthi
laku, lekas lawan khas, tegese khas anyantosani, setya budya pangekese dur
angkara.[3]
Makna ajaran moral dalam serat
Wedhatama di atas adalah bahwa mencari ilmu
itu harus dilakukan dengan laku (usaha) dengan tekad yang kuat dan menyentausakan
serta mampu menumpas angkara murka.
Dalam serat Wulangreh
misalnya yang mengandung pesan moralnya antara lain :
Pitutur bener iku, sayektine
kang iku tiniru, nadyan melu saking wong sudra papeki, lamun becik
wurukipun,iku pantes siro anggo.
Ana pocapanipun, adiguna,
adigang,adigung, pan adigang kidang adingung pinasti, adiguna ula iku, telu
pisan mati sampyoh.
Sikidang umbagipun
angendelaken kebat lumpatipun pan si gajah angendelaken gung ainggil, ula
ngendelaken iku mandine kalamun nyokot.
Ambek digang puniku,
angungasaken kasuranipun, para tantang candala anyenyampahi, tinemenan boya
purun, satemah dadi geguyon
Ing wong urip puniku, aja
nganggo ambek kang tetelu anganggowo rereh ririh ngati-ati, den kawawang barang
laku, den waskhitha solahing wong.[4]
.
Adapun pesan moral dalam surat
Wulangreh sebagaimana telah tertulis di atas mengandung pesan :
1.
hendaknya
kita meniru nasehat yang baik walaupun
nasehat itu keluar dari orang sudra (orang kelas sosial rendah).
2.
hidup
itu hendaknya jangan adiguna,adigang,adigung atau memiliki watak gumbede
(sombong) seperti seekor rusa (kidang) yang menyombongkan kemampuannya dalam
melompat atau seperti gajah yang mnyombongkan badannya yang tinggi besar dan
seperti ular yang menyombongkan bisanya yang ampuh.
Selaian ke dua serat itu ada
juga ajaran moral yang terdapat dalam Serat Paniti Sastra yang menulis
demikian :
Kathah kemawon para sujana
ingkang andamel suka bingahing putra,
mboten limrah anggenipun angungung sarta angrengga mekaten punika dados putra wisa,
mboten sinihan ing tiyang jaler estri, sebab punika kirang rahayuning budi,
sarta kirang panembah dhateng dewa, ing wekasan dados tiyang dursila (durjana),
putra awon punika upami kajeng, aking satemahan laku saged ambasmi sirna
gampang.
Artinya
: banyak saja para cendikia yang membuat senang anaknya, tidak lumrah dalam
menuruti kehendaknya dan memberi pakaian serba baik itu artinya menjadikan anak
bisa tidak dicintai oleh orang laki-laki perempuan, sebab itu kurang baik
budinya dan kurang menyembah kepada Tuhan, akhirnya menjadi orang dursila
(kurang kesusilaannya) atau durjana (orang yang bertabiat jahat), anak jelek
itu andaikan pohon kering, akhirnya api dapat membakarnya dengan mudah.[5]
Ajaran moral dalam serat
Panitisastra ini ditujukan kepada para orang tua agar tidak memenjakan
anak. Karena memanja anak justru akan membuat anak menjadi orang yang memiliki
sifat buruk, kurang taat ibadah, kurang baik budi pekertinya dan justru akan
mendorong anaknya menjadi anak yang durjana.
Demikian
juga dalam Serat Pitutur
Polah kang nora patut, nora
pantes lamun sira turut nora wurung rusak awake pribadi mulane wong urip iku
sabarang dipun waspaos, polah kang nora jujur iku wajib lamun sira singkur, ungkarana
ywa kongsi bisa kawijil, ujubena kang tuwajuh, kang wajib weruh Hyang Manon,
mila wong urip iku den padha akarep marang ngelmu, ala becik ngelmu iku den
kawruhi karana atungga wujud mung kacek omel lan batos.
Terjemahan
: perbuatan yang tidak pantas, tidak pantas jika engkau ikuti tidak ayal lagi
rusak badan sendiri, karena itu orang hidup, segala sesuatu harus waspada.
Perbuatan yang tidak jujur, itu wajib tidak engkau perhatian, tidak dipikirkan
lagi jangan sampai timbul nyatakan dengan niat yang taat, yang wajib, tahu
Tuhan, oleh karena itu orang hidup, berniatlah terhadap ilmu, ilmu itu buruk
baik diketahui, karena wujudnya satu, bedanya karya mantera dan batin.[6]
Dalam
serat Pitutur tersebut memberikan sebuah
pesan moral mengenai perlunya diri kita agar tidak meniru perbuatan yang tidak
pantas untuk ditiru karena hal itu akan membawa kerugian pada diri kita dan
hendaknya orang hidup selalu berniat untuk menuntut ilmu, segala ilmu hendaknya
dipelajari sekalipun ilmu yang buruk sekalipun karena pada dasarnya ilmu itu
satu. Anjuran untuk mempelajari ilmu termasuk ilmu yang buruk sesungguhnya ilmu
itu perlu dipelajari agar kita dapat mencegah keburukan itu misalnya ilmu
kriminologi, ilmu ini mempelajari menganai masalah kriminal namun demikian
mempelajari ilmu ini bukan digunakan untuk berbuat kriminal melainkan untuk
mencegah kriminalitas.
Pesan moral tersbut ditulis
dengan menggunakan seni sastra yang indah dan disampaikan dalam bentuk tembang
macapat sehingga pesan moral tersebut sangat mudah diterima oleh siapapun
karena menggunakan seni sebagai medianya. Penyampaikan pesan melalui seni
sangat efektif dalam membentuk moralitas individu karena seni akan menyentuh
rasa sehingga terinternalisasi dalam diri setiap individu yang akan membentuk
perilku dalam kehidupan. Untuk itu bagi orang jawa mencari hiburan atau mencari
tontonon selalui diikuti degan mencari tuntunan. Ketika mendengarkan lagu
(gending atau langgam) mereka selalu ”ngelaras” yang bararti menyelaraskan
rasa.Itulah keunikan orang jawa, hampir seluruh aspek kehidupan selalu penuh
dengan pesan-pesan moral dan filosofi yang dalam mengenai kehidupan.
Nama-nama tembang macapat
bukan berarti tanpa pesan luhur, nama-nama seperti mijil, kinanthi,
sinom,asmarandana,dhandanggula, gambuh, maskumambang, durma,
pagkur,megatruh,pocung. Nama-nama macapat ini memiliki makna mengenai
perjalanan hidup manusia di dunia ini. mijil
memiliki makna bahwa manusia awalnya adalah lahir ke dunia
(mijil), ketika manusia lahir dimuka bumi ini manusi belum mengetahui apa-apa
maka dari itula manusia perlu dituntun (dikanthi) maka disebut kinanthi. Perkembangan berikutnya setiap
manusia itu akan beranjak ke usia muda (enom) sehingga disebut sinom. Dimasa muda ini, rasa cinta
dengan lawan jenis mulai tumbuh dan
mendorong mereka untuk menjalin hubungan cinta (asmara) sehingga diberikan
istilah asmarandana. Ketika anak muda
menjalani hubungan cinta maka suasana yang sering muncul adalah suasana yang
menyenangkan bagaikan manisnya gula maka disebut dengan Dhananggula. Sampai pada akhirnya setelah mereka dewasa (gambuh) mereka akan membangun rumah
tangga.
Semakin bertambah usia manusia
semakin mempertimbangkan dua kebutuhan yaitu kebutuhan untuk kebahagian dunia
dan akhirat atau diistilahkan dengan maskumambang.
Ketika usia semakin tua maka manusia hendaknya sudah mulai mundur dari hal-hal
duniawiyah atau disebut durma yang
kemudian mungkur ing kadunyan
sehingga sering disebut Pangkur.
Hidup manusia akan diakhiri dengan berpisahnya ruh dan jasad maka dalam tembang
macapat disebut megatruh. Setelah
antar ruh dan jasad itu pegat (pisah)
maka manusia akan dipocong sehingga ada tembang macapat bernama pocung.
Ketika orang jawa sedang
melakukan macapatan biasanya diiringi dengan instrumen musik yang
disebut gamelan. Dari berbagai macam nama gamelan Jawa, ternyata
merupakan gambaran proses berdakwah, yakni Rebab dari kata reb dan
bab. Reb dari kata karep
( keinginan, harapan), dan bab
(masalah). Untuk menyebarkan agama, harus terumuskan jelas masalahnya, agar
jelas yang dicita-citakan, harapan. Agar jelas arah dan tujuannya, masalah apa yang paling menarik perhatian jamaah
perlu dikedepankan. Siapa yang akan dituju, umur, dan tempat, perlu
dipertimbangkan masak-masak.
Gender dari kata gendera (bendera), tempatnya di depan dan paling atas.
Maksudnya dalam syi’ar agama, harus ada imam atau pimpinan yang di depan. Harus
ada yang mengambil inisiatif demi kemajuan. Gender juga ada yang menyebut
Barung, dari kata bar (sabar) dan ung (unggul). Maksudnya, imam
harus sabar memimpin jamaah, agar unggul (menang), berhasil. Kesabaran
berdakwah akan lebih cemerlang, karena apabila tergesa-gesa, orang jawa waktu
itu belum mau menerima secara utuh kehadiran Islam.
Penerus, bentuknya seperti gender, hanya
lebih kecil. Dalam menyebarkan agama, dimaksudkan jangan sampai putus, harus
kontinue. Saron dari kata seron
(keras). Maksudnya dakwah harus dilandasi niat yang kencang, keteguhan. Gambang
dari kata gamblang (jelas). Penyebaran agama tidak boleh ragu-ragu, harus
jelas, bijaksana. Kendhang dari kata ken (kendali) dan dhang
(pepadhang). Dakwah harus memagang kendali, yakni pikiran yang jernih (padhang).
Harus berjiwa sepi ing pamrih kecuali hanya mengharap ridla Allah.
Seruling/suling dari su (nepsu) dan ling
(eling). Dakwah harus berusaha mengingatkan kepada jama’ah, agar jangan takabur,
riya, gila pujian, dan lain-lain. Panembung, dakwah harus bisa mengg
bisa menggiring jamaah agar mau minta kasih Allah. Agar doanya dikabulkan. Celempung
dari kata ce (cepet), lem
(lempeng, lurus), dan pung (rampung, selesai). Maksudnya dalam memohon
itu hendaknya disertai cepat-cepat mohon ampun, tobat, lalu akan berbuat lurus,
akan dikabulkan.
Bonang dari kata bon (baboning) dan nang
(kemenangan). Tujuan berdakwah agar jamaah dapat mencapai kemenangan hidup. Kethuk
dari kata ke (kecandak) dan thuk (manthuk). Tercapai apa yang
dikehendaki. Kempul dari kata kempel,
padat, kompak. Untuk mencapai kehendak, jamaah harus rukun. Kenong dari
kata ke (keparenge) dan nong (Hyang Winong ). Semua keinginan
tercapai, semua itu berkat dari gong artinya agung atau akbar, yakni
Allah.
Karena itu, dalam mencapai
cita-cita hidup, manusia (jamaah) perlu memperhatikan bunyi gamelan :neng-ning-nung-nong
(meneng, anteng, diam, dzikir dan tafakur, menjernihkan pikiran). Karena itu,
jika ada panggilan Allah untuk menunaikan ibadah jamaah harus segera pung-pung-pung
(suara kempul) segera berkumpul, dan ndang-ndang-ndang (bunyi kendang),
cepat-cepat menjalankan. Itulah makna dari nama-nama gamelan yang memberikan
pesan mengenai bagaimana proses dakwah itu hendaknya dilakukan.[7]
Bentuk seni lain yang juga
sangat sarat dengan tuntunan moral adalah wayang kulit. Kesenian wayang
tidak hanya sebagai sebuah hiburan bagi orang jawa tetapi wayang selalu sarat
dengan makna dan kandungan filosofis di dalamnya. Wayang merupakan kesenian
hasil budaya manusia yang adiluhung dimana dalam pewayang terkandung beberapa
unsure seni lain seperti seni suara, seni musik, seni sastra, seni rupa yang
keseluruhannya membentuk harmoni yang mengandung nilai-nilai estetika tinggi.
Seorang dalang selain harus menguasai ceritera pewayangan yang sarat
dengan sastra jawa juga dituntut untuk memeliki suara yang baik dan merdu (gandem)
dan memiliki seni cengkok dalam suluknya. Disamping itu penguasaan akan
seni musik sebagai instrument saat pergelaran wayang berlangsung juga menjadi
hal penting yang harus dimiliki oleh seorang dalang.
Pertujukan wayang yang jalan ceritanya banyak digubah dari kitab
Mahabarata semuanya mempunyai tujuan utama yaitu memberi petunjuk kepada
manusia ke jalan yang baik dan benar, ke jalan yang dikehendaki oleh Tuhan Yang
Maha Esa, untuk memacu cipta, rasa, dan karsa manusia agar tergugah untuk ikut
memperindah bebrayan agung untuk ikut mahayu hayuning bawana.
Dengan demikian, pertunjukan wayang tidak hanya sebagai tontonan dan alat
penghibur tetapi juga memuat tuntunan hidup manusia.
Perlunya menonton pertunjukkan
wayang kulit semalam suntuk adalah untuk memperoleh cakrawala baru.
Pandangan dan sikap hidup manusia juga perlu untuk menentukan kebijakan dalam
mengatasi tantangan dan sikap hidup. Kisah-kisah dalam pewayangan biasanya
menggambarkan pertarungan dua kekuatan yang berlawanan dalam diri manusia yakni
kekuatan konstruktif dan destruktif. Kekuatan konstruktiflah yang akhirnya
dimenangkan dalam peperangan dan itulah yang menuju keutamaan atau kebenaran.
Dari sedikit uraian di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa pertunjukan
wayang selain memiliki fungsi sebagai hiburan juga berfungsi sebagai media
edukatif untuk memberikan gambaran tentang kehidupan sehingga sering disebut wewayangane
urip yang tujuan akhirnya terbentuknya sebuah perilaku yang baik dalam
kehidupan. Untuk itu seni pewayangan banyak mengandung pesan moral. Selain itu
wayang bisa menjadi media suluh gesang bagi anak muda dalam memahami dan
menapaki hidup sehingga akan menumbuhkan perilauku mulia (berbudi bawa
laksana) bukan hanya berbondo bandung
sentono(orang yang kaya harta dan saudara).
Itulah beberapa uraian mengenai betapa tingginya seni budaya jawa, seni
bagi orang jawa tidak hanya sebagai alat penghibur (tontonan) tetapi juga
mengandung tuntunan. Kecerdasan dan kecerdikan para wali tanah jawa yang
menyebarkan Islam dengan seni ternyata sangat efektif, hal ini terbukti bahwa penyebaran Islam di Jawa dapat berjalan
dengan cepat berkat strategi ini. Hal inilah yang seharusnya ditiru oleh guru PAI
masa kini.
Guru hendaknya dapat memanfaatkan seni budaya local sebagai sarana untuk
mengajarkan nilai-nilai bagi peserta didik. Sebagaimana para wali masa lalu
yang telah mengajarkan agama dengan memanfaatkan seni budaya local sebagai
medianya. Wali atau da’I masa lalu adalah sebagai penganalisis budaya,
penafsir budaya, penyelaras budaya dan penemu budaya. Jika ternyata
dakwah semacam ini berhasil dan efektif tentunya tidak ada salahnya guru PAI
untuk mengadopsi strategi itu dan tentunya tidak semua strategi itu relevan
sehingga perlu adanya penyesuain-penyasuain dengan masa kini.
- PENUTUP
Sebagai penutup makalah ini, penulis akan menyampaikan kesimpulan dari
uraian di atas. Berdasarkan uraian makalah di atas maka dapat kita simpulkan
bahwa bagi orang Jawa internalisasi nilai dilakukan secara terintegrasi
sehingga setiap hal dalam kehidupan orang jawa selalu mengandung makna dan
nilai di dalamnya bahkan huruf abjad sekalipun. Penyampaian moral ataupun
nilai-nilai terkadang juga disampaikan dalam bentuk kesenian. Hampir seluruh
kesenian baik dari seni sastra, seni musik, seni pedalangan, seni suara ataupun
seni ukir semua itu memiliki makna dan pesan yang adiluhung. Inilah keunggulan
seni dan budaya Jawa. Aspek nilai tidak bisa ditinggal dari setiap aktivitas
orang Jawa.
Demikianlah uraian makalah ini, mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi
pembaca.
DAFTAR
PUSTAKA
Astiyanto,
Heniy,2006.Filsafat Jawa : Menggali
Butir-Butir Kearifan Lokal .Yogyakarta : Warta Pustaka,
Endraswara, Suwardi, 2006. Filsafat Kejawen Dalam Aksara Jawa. Yogyakarta
: Gelombang Pasang,
------------- , 2006.
Falsafah
Hidup Jawa.Yogyakarta: Cakrawala
Koentjaraningrat,
1996. Pengantar Antropologi 1. Jakarta
: PT. Rieneka Cipta
Mangkunegara IV, Wedhatama
Jinarwa . Surakarta
: Cendrawasih
Wulangreh Yasan-Dalem Sri Susuhunan Pakubuwana IV. Surakarta
: Cenrawasih
[1] Suwardi
Endraswara, Filsafat Kejawen Dalam Aksara
Jawa. (Yogyakarta : Gelombang Pasang,
2006) hal.136
[2] Suwardi
Endrawara, Falsafah Hidup Jawa (Yogyakarta: Cakrawala, 2006) cet ke II hal 24.
[3]
Mangkunegara IV, Wedhatama Jinarwa (Surakarta : Cendrawasih)
hal. 5
[4] Wulangreh
Yasan-Dalem Sri Susuhunan Pakubuwana IV(Surakarta : Cenrawasih) Hal 3-4
[5]
Heniy Astiyanto, Filsafat Jawa : Menggali Butir-Butir Kearifan Lokal (Yogyakarta : Warta Pustaka, 2006) hal. 13-14
[6] Ibid,
hal 16-17
[7] Suwardi
Endrawara, Falsafah Hidup Jawa ……….
hal 94-95