Jumat, 13 Januari 2012

Budaya Jawa

BUDAYA JAWA


NILAI-NILAI MORAL DALAM  BUDAYA  JAWA
  1. PENDAHULUAN
Perbedaan antara manusia dengan binatang adalah manusia  memiliki akal sedangkan binatang tidak memilikinya. Akal manusia dapat dikembangkan sehingga pengembangan akal ini akan melahirkan kebudayaan.
Setiap manusia di muka bumi ini tidak ada satupun yang tidak mempunyai budaya. Budaya merupakan sebuah bukti eksistensi manusia. Dengan demikian jika tidak ada budaya maka berarti tidak ada manusia.
“Budaya jawa” merupakan dua kata yang terdiri dari “budaya” dan “Jawa”. Budaya dan kebudayaan menurut para ahli antropologi memiliki makna yang sama. Apabila Budaya diartikan dari paduan kata budi dan daya, maknanya daya dari budi, maka daya dari budi mewujud pada 3 hal atau 3 wujud kebudayaan yaitu system ide, aktivitas dan hasil karya. Sedangkan jawa menunjuk pada nama suku di Indonesia yaitu suku Jawa. Dengan demikian budaya jawa dapat diartikan sebagai kebudayaan orang suku Jawa. Biasanya yang dikelompokkan ke dalam bagian suku jawa adalah orang Jawa Tengah, Jawa Timur dan Jogjakarta untuk Jawa Barat termasuk dalam suku Sunda sedangkan Jakarta dalam aspek kebudayaan lebih banyak dikenal dengan Suku Betawi.
Kebudayaan menurut Koentjaraningrat terdiri dari berbagai unsure yaitu system kepercayaan, bahasa, system mata pencaharian, system pengetahuan, system peralatan dan teknologi, organisasi social dan kesenian. Dalam pembahasan makalah ini budaya yang dimaksud adalah dari unsur keseniannya. Dengan demikian makalah ini akan menyoroti masalah-masalah nilai-nilai moral yang terdapat dalam kesenian Jawa dan symbol-simbol Jawa yang memiliki makna.
  1. PEMBAHASAN
Orang jawa sangat terkenal dengan budaya simbolnya, hampir semua kehidupan orang jawa dipenuhi dengan symbol maka tidak heran jika disebut wong jawa anggone semu . Yang menarik setiap symbol yang dimiliki oleh orang jawa selalu memuat pesan dan nilai-nilai yang adi luhung.
Symbol-simbol yang memiliki makna tersebut misalnya pada tulisan ha na ca ra ka da ta sa wa la pa da ja ya nya ma ga ba tha nga. Huruf abjad ini tidak hanya sebagai  sebuah urutan huruf tetapi dalam urutan ini memiliki sebua makna.  Makna dibalik urutan huruf ini adalah  bahwa ada dua utusan (hana caraka), kedua utusan ini terjadi salah paham akibatnya mereka bertengkar (data sawala)  dan keduanya sama-sama kuat (pada jayanya) namun pada akhirnya mereka sama-sama meninggal menjadi batang (maga bathanga). 
Pemaknaan tersebut diawali dari sebuah mitologi mengenai Ajisaka. Pada saat itu raja Ajisaka mengutus dua utusan namun karena adanya kesalahpahaman itu justru utusan Ajisaka ini saling berkelahi dan keduanya sama-sama kuat namun pada  akhirnya keduanya sama-sama meninggal dunia. Dari cerita yang diambil dari penafsiran huruf jawa ini ada nilai moral yang dapat kita ambil yaitu :
Bagi pemimpin hendaknya ;
1.      seorang pemimpin harus arif, bijak, berwawasan luas serta tepat dalam memili pembantu-pembantunya.
2.      pemimipin harus membagi tugas dengan jelas sehingga tidak menimbulkan salah tafsir
3.      pemimpin harus menunjuk petugas yang layak.
4.      pemimpin harus selalu mengontrol pelaksanaan tugas
5.      pemimpin perlu membimbing dan memperbaiki kekeliruan
6.      pemimpin perlu menghindari jatuhnya korban yang mungkin karena kelalaiannya.
Bagi bawahan hendaknya memiliki moralitas seperti :
1.      Setia kepada perintah
2.      disiplin
3.      bersikap ksatria atau perwira
4.      siap mempertinggi kemampuan diri dan siap menanggung risiko.[1]
Itulah pesan (sasmita) yang terdapat dalam huruf abjad Jawa.
Untuk menjaga atau menghindari konflik batin, orang jawa sering menyampaikan pesan moralnya dengan bahasa-bahasa semu bahkan orang tuapun sering mengajarkan sesuatu kepada anaknya dengan bahasa yang semu (sasmita)  misalnya ketika orang tua mengajarkan seks atau mencari jodoh yang baik, cukup menunjukkan melalui metafora: ”Goleka wader, aja kleru urang” maksudnya carilah jodoh yang baik, jangan hanya seperti udang, kurang berbobot dan tidak baik.[2]
Penyampaian sikap dan perilaku yang tersamar merupakan betuk kehalusan budi berarti pula orang jawa memang tidak berlaku vulgar kendati memang harus bertindak kasar, misalnya marah sekalipun tetap disampaikan dengan semu. Demikian juga dalam menyampaikan pesan moral orang jawa juga sering dengan menggunakan bahasa-bahasa semu misalnya ada istilah ”ora elok” yang ditujukan kepada hal-hal yang terlarang untuk dilakukan. Ketika orang mengatakan ”ora elok aja lungguh neng ngarep lawang sore-sore”(tidak elok, jangan duduk di depan pintu sore-sore)  berarti perbuatan tersebut memang terlarang untuk dilakukan. Contoh lain yang mengandung pesan moral misal : ora elok aja lungguh neng mbantal artinya tidak elok jangan duduk di atas bantal. Kata ini sebetulnya mengandung pesan tentang kesopanan namun kemudian tidak dikatakan ”ajalungguh neng bantal ora sopan” tetapi tetap hanya menggunakan sasmita kata ora elok. Orang yang melarang dengan menggunakan ”ora elok” lebih efektif dibanding dengan melarang langsung misalnya ”ojo lungguh neng mbantal ora sopan”. Perkataan ”ora elok” ini juga merupakan bentuk simbol yang mengandung makna larangan.
Dalam menyampaikan pesan moral, orang jawa menggunakan berbagai macam sarana selain seperti yang telah diterangkan di atas. Sarana lain yang sering dipakai adalah seni baik itu seni musik, seni sastra, seni ukir, seni suara dan seterusnya. Dalam dunia seni sastra dapat kita jumpai berbagai karya sastra yang sarat dengan pesan-pesan moral  misalnya serat Wulangreh karya Sri Susuhanan Pakubuwana IV, Serat Wedhatama karya Mangkunegara IV, Serat Pitutur, Serat Panitisastra, Serat Wasita Diyah Utama dan lain sabagainya.
Dalam serat Wedhatama misalnya disebutkan :
Ilmu iku kalakone kanthi laku, lekas lawan khas, tegese khas anyantosani, setya budya pangekese dur angkara.[3]
Makna ajaran moral dalam serat Wedhatama di atas adalah bahwa mencari ilmu  itu harus dilakukan dengan laku (usaha)  dengan tekad yang kuat dan menyentausakan serta mampu menumpas angkara murka.
Dalam serat Wulangreh misalnya yang mengandung pesan moralnya antara lain :
Pitutur bener iku, sayektine kang iku tiniru, nadyan melu saking wong sudra papeki, lamun becik wurukipun,iku pantes siro anggo.
Ana pocapanipun, adiguna, adigang,adigung, pan adigang kidang adingung pinasti, adiguna ula iku, telu pisan mati sampyoh.
Sikidang umbagipun angendelaken kebat lumpatipun pan si gajah angendelaken gung ainggil, ula ngendelaken iku mandine kalamun nyokot.
Ambek digang puniku, angungasaken kasuranipun, para tantang candala anyenyampahi, tinemenan boya purun, satemah dadi geguyon
Ing wong urip puniku, aja nganggo ambek kang tetelu anganggowo rereh ririh ngati-ati, den kawawang barang laku, den waskhitha solahing wong.[4]
.
Adapun pesan moral dalam surat Wulangreh sebagaimana telah tertulis di atas mengandung pesan :
1.            hendaknya kita meniru nasehat yang  baik walaupun nasehat itu keluar dari orang sudra (orang kelas sosial rendah).
2.            hidup itu hendaknya jangan adiguna,adigang,adigung atau memiliki watak gumbede (sombong) seperti seekor rusa (kidang) yang menyombongkan kemampuannya dalam melompat atau seperti gajah yang mnyombongkan badannya yang tinggi besar dan seperti ular yang menyombongkan bisanya yang ampuh.
Selaian ke dua serat itu ada juga ajaran moral yang terdapat dalam Serat Paniti Sastra yang menulis demikian :
Kathah kemawon para sujana ingkang andamel suka bingahing  putra, mboten limrah anggenipun angungung sarta angrengga mekaten punika dados putra wisa, mboten sinihan ing tiyang jaler estri, sebab punika kirang rahayuning budi, sarta kirang panembah dhateng dewa, ing wekasan dados tiyang dursila (durjana), putra awon punika upami kajeng, aking satemahan laku saged ambasmi sirna gampang.
Artinya : banyak saja para cendikia yang membuat senang anaknya, tidak lumrah dalam menuruti kehendaknya dan memberi pakaian serba baik itu artinya menjadikan anak bisa tidak dicintai oleh orang laki-laki perempuan, sebab itu kurang baik budinya dan kurang menyembah kepada Tuhan, akhirnya menjadi orang dursila (kurang kesusilaannya) atau durjana (orang yang bertabiat jahat), anak jelek itu andaikan pohon kering, akhirnya api dapat membakarnya dengan mudah.[5]  
Ajaran moral dalam serat Panitisastra ini ditujukan kepada para orang tua agar tidak memenjakan anak. Karena memanja anak justru akan membuat anak menjadi orang yang memiliki sifat buruk, kurang taat ibadah, kurang baik budi pekertinya dan justru akan mendorong anaknya menjadi anak yang durjana.
Demikian juga dalam Serat Pitutur
Polah kang nora patut, nora pantes lamun sira turut nora wurung rusak awake pribadi mulane wong urip iku sabarang dipun waspaos, polah kang nora jujur iku wajib lamun sira singkur, ungkarana ywa kongsi bisa kawijil, ujubena kang tuwajuh, kang wajib weruh Hyang Manon, mila wong urip iku den padha akarep marang ngelmu, ala becik ngelmu iku den kawruhi karana atungga wujud mung kacek omel lan batos.
Terjemahan : perbuatan yang tidak pantas, tidak pantas jika engkau ikuti tidak ayal lagi rusak badan sendiri, karena itu orang hidup, segala sesuatu harus waspada. Perbuatan yang tidak jujur, itu wajib tidak engkau perhatian, tidak dipikirkan lagi jangan sampai timbul nyatakan dengan niat yang taat, yang wajib, tahu Tuhan, oleh karena itu orang hidup, berniatlah terhadap ilmu, ilmu itu buruk baik diketahui, karena wujudnya satu, bedanya karya mantera dan batin.[6]
Dalam serat Pitutur tersebut  memberikan sebuah pesan moral mengenai perlunya diri kita agar tidak meniru perbuatan yang tidak pantas untuk ditiru karena hal itu akan membawa kerugian pada diri kita dan hendaknya orang hidup selalu berniat untuk menuntut ilmu, segala ilmu hendaknya dipelajari sekalipun ilmu yang buruk sekalipun karena pada dasarnya ilmu itu satu. Anjuran untuk mempelajari ilmu termasuk ilmu yang buruk sesungguhnya ilmu itu perlu dipelajari agar kita dapat mencegah keburukan itu misalnya ilmu kriminologi, ilmu ini mempelajari menganai masalah kriminal namun demikian mempelajari ilmu ini bukan digunakan untuk berbuat kriminal melainkan untuk mencegah kriminalitas.
Pesan moral tersbut ditulis dengan menggunakan seni sastra yang indah dan disampaikan dalam bentuk tembang macapat sehingga pesan moral tersebut sangat mudah diterima oleh siapapun karena menggunakan seni sebagai medianya. Penyampaikan pesan melalui seni sangat efektif dalam membentuk moralitas individu karena seni akan menyentuh rasa sehingga terinternalisasi dalam diri setiap individu yang akan membentuk perilku dalam kehidupan. Untuk itu bagi orang jawa mencari hiburan atau mencari tontonon selalui diikuti degan mencari tuntunan. Ketika mendengarkan lagu (gending atau langgam) mereka selalu ”ngelaras” yang bararti menyelaraskan rasa.Itulah keunikan orang jawa, hampir seluruh aspek kehidupan selalu penuh dengan pesan-pesan moral dan filosofi yang dalam mengenai kehidupan.
Nama-nama tembang macapat bukan berarti tanpa pesan luhur, nama-nama seperti mijil, kinanthi, sinom,asmarandana,dhandanggula, gambuh, maskumambang, durma, pagkur,megatruh,pocung. Nama-nama macapat ini memiliki makna mengenai perjalanan hidup manusia di dunia ini. mijil  memiliki makna  bahwa manusia awalnya adalah lahir ke dunia (mijil), ketika manusia lahir dimuka bumi ini manusi belum mengetahui apa-apa maka dari itula manusia perlu dituntun (dikanthi) maka disebut kinanthi. Perkembangan berikutnya setiap manusia itu akan beranjak ke usia muda (enom) sehingga disebut sinom. Dimasa muda ini, rasa cinta dengan lawan jenis mulai tumbuh  dan mendorong mereka untuk menjalin hubungan cinta (asmara) sehingga diberikan istilah asmarandana. Ketika anak muda menjalani hubungan cinta maka suasana yang sering muncul adalah suasana yang menyenangkan bagaikan manisnya gula maka disebut dengan Dhananggula. Sampai pada akhirnya setelah mereka dewasa (gambuh) mereka akan membangun rumah tangga.
Semakin bertambah usia manusia semakin mempertimbangkan dua kebutuhan yaitu kebutuhan untuk kebahagian dunia dan akhirat atau diistilahkan dengan maskumambang. Ketika usia semakin tua maka manusia hendaknya sudah mulai mundur dari hal-hal duniawiyah atau disebut durma yang kemudian mungkur ing kadunyan sehingga sering disebut Pangkur. Hidup manusia akan diakhiri dengan berpisahnya ruh dan jasad maka dalam tembang macapat disebut megatruh. Setelah antar ruh dan jasad itu pegat (pisah) maka manusia akan dipocong sehingga ada tembang macapat bernama pocung.
Ketika orang jawa sedang melakukan macapatan biasanya diiringi dengan instrumen musik yang disebut gamelan. Dari berbagai macam nama gamelan Jawa, ternyata merupakan gambaran proses berdakwah, yakni Rebab dari kata reb dan bab. Reb  dari kata karep  ( keinginan, harapan), dan bab (masalah). Untuk menyebarkan agama, harus terumuskan jelas masalahnya, agar jelas yang dicita-citakan, harapan. Agar jelas arah dan tujuannya, masalah  apa yang paling menarik perhatian jamaah perlu dikedepankan. Siapa yang akan dituju, umur, dan tempat, perlu dipertimbangkan masak-masak.
Gender dari kata gendera  (bendera), tempatnya di depan dan paling atas. Maksudnya dalam syi’ar agama, harus ada imam atau pimpinan yang di depan. Harus ada yang mengambil inisiatif demi kemajuan. Gender juga ada yang menyebut Barung, dari kata bar (sabar) dan ung (unggul). Maksudnya, imam harus sabar memimpin jamaah, agar unggul (menang), berhasil. Kesabaran berdakwah akan lebih cemerlang, karena apabila tergesa-gesa, orang jawa waktu itu belum mau menerima secara utuh kehadiran Islam.
Penerus, bentuknya seperti gender, hanya lebih kecil. Dalam menyebarkan agama, dimaksudkan jangan sampai putus, harus kontinue. Saron  dari kata seron (keras). Maksudnya dakwah harus dilandasi niat yang kencang, keteguhan. Gambang dari kata gamblang (jelas). Penyebaran agama tidak boleh ragu-ragu, harus jelas, bijaksana. Kendhang dari kata ken (kendali) dan dhang (pepadhang). Dakwah harus memagang kendali, yakni pikiran yang jernih (padhang). Harus berjiwa sepi ing pamrih kecuali hanya mengharap ridla Allah.
Seruling/suling dari su (nepsu) dan ling (eling). Dakwah harus berusaha mengingatkan kepada jama’ah, agar jangan takabur, riya, gila pujian, dan lain-lain. Panembung, dakwah harus bisa mengg bisa menggiring jamaah agar mau minta kasih Allah. Agar doanya dikabulkan. Celempung  dari kata ce (cepet), lem (lempeng, lurus), dan pung (rampung, selesai). Maksudnya dalam memohon itu hendaknya disertai cepat-cepat mohon ampun, tobat, lalu akan berbuat lurus, akan dikabulkan.
Bonang dari kata bon (baboning) dan nang (kemenangan). Tujuan berdakwah agar jamaah dapat mencapai kemenangan hidup. Kethuk dari kata ke (kecandak) dan thuk (manthuk). Tercapai apa yang dikehendaki. Kempul  dari kata kempel, padat, kompak. Untuk mencapai kehendak, jamaah harus rukun. Kenong dari kata ke (keparenge) dan nong (Hyang Winong ). Semua keinginan tercapai, semua itu berkat dari gong artinya agung atau akbar, yakni Allah.
Karena itu, dalam mencapai cita-cita hidup, manusia (jamaah) perlu memperhatikan bunyi gamelan :neng-ning-nung-nong (meneng, anteng, diam, dzikir dan tafakur, menjernihkan pikiran). Karena itu, jika ada panggilan Allah untuk menunaikan ibadah jamaah harus segera pung-pung-pung (suara kempul) segera berkumpul, dan ndang-ndang-ndang (bunyi kendang), cepat-cepat menjalankan. Itulah makna dari nama-nama gamelan yang memberikan pesan mengenai bagaimana proses dakwah itu hendaknya dilakukan.[7]
Bentuk seni lain yang juga sangat sarat dengan tuntunan moral adalah wayang kulit. Kesenian wayang tidak hanya sebagai sebuah hiburan bagi orang jawa tetapi wayang selalu sarat dengan makna dan kandungan filosofis di dalamnya. Wayang merupakan kesenian hasil budaya manusia yang adiluhung dimana dalam pewayang terkandung beberapa unsure seni lain seperti seni suara, seni musik, seni sastra, seni rupa yang keseluruhannya membentuk harmoni yang mengandung nilai-nilai estetika tinggi.
Seorang dalang selain harus menguasai ceritera pewayangan yang sarat dengan sastra jawa juga dituntut untuk memeliki suara yang baik dan merdu (gandem) dan memiliki seni cengkok dalam suluknya. Disamping itu penguasaan akan seni musik sebagai instrument saat pergelaran wayang berlangsung juga menjadi hal penting yang harus dimiliki oleh seorang dalang.
Pertujukan wayang yang jalan ceritanya banyak digubah dari kitab Mahabarata semuanya mempunyai tujuan utama yaitu memberi petunjuk kepada manusia ke jalan yang baik dan benar, ke jalan yang dikehendaki oleh Tuhan Yang Maha Esa, untuk memacu cipta, rasa, dan karsa manusia agar tergugah untuk ikut memperindah bebrayan agung untuk ikut mahayu hayuning bawana. Dengan demikian, pertunjukan wayang tidak hanya sebagai tontonan dan alat penghibur tetapi juga memuat tuntunan hidup manusia.
Perlunya menonton pertunjukkan  wayang kulit semalam suntuk adalah untuk memperoleh cakrawala baru. Pandangan dan sikap hidup manusia juga perlu untuk menentukan kebijakan dalam mengatasi tantangan dan sikap hidup. Kisah-kisah dalam pewayangan biasanya menggambarkan pertarungan dua kekuatan yang berlawanan dalam diri manusia yakni kekuatan konstruktif dan destruktif. Kekuatan konstruktiflah yang akhirnya dimenangkan dalam peperangan dan itulah yang menuju keutamaan atau kebenaran.
Dari sedikit uraian di atas, maka jelaslah bagi kita bahwa pertunjukan wayang selain memiliki fungsi sebagai hiburan juga berfungsi sebagai media edukatif untuk memberikan gambaran tentang kehidupan sehingga sering disebut wewayangane urip yang tujuan akhirnya terbentuknya sebuah perilaku yang baik dalam kehidupan. Untuk itu seni pewayangan banyak mengandung pesan moral. Selain itu wayang bisa menjadi media suluh gesang bagi anak muda dalam memahami dan menapaki hidup sehingga akan menumbuhkan perilauku mulia (berbudi bawa laksana) bukan hanya berbondo bandung sentono(orang yang kaya harta dan saudara).
Itulah beberapa uraian mengenai betapa tingginya seni budaya jawa, seni bagi orang jawa tidak hanya sebagai alat penghibur (tontonan) tetapi juga mengandung tuntunan. Kecerdasan dan kecerdikan para wali tanah jawa yang menyebarkan Islam dengan seni ternyata sangat efektif, hal ini terbukti  bahwa penyebaran Islam di Jawa dapat berjalan dengan cepat berkat strategi ini. Hal inilah yang seharusnya ditiru oleh guru PAI masa kini.
Guru hendaknya dapat memanfaatkan seni budaya local sebagai sarana untuk mengajarkan nilai-nilai bagi peserta didik. Sebagaimana para wali masa lalu yang telah mengajarkan agama dengan memanfaatkan seni budaya local sebagai medianya. Wali atau da’I masa lalu adalah sebagai penganalisis budaya, penafsir budaya, penyelaras budaya dan penemu budaya. Jika ternyata dakwah semacam ini berhasil dan efektif tentunya tidak ada salahnya guru PAI untuk mengadopsi strategi itu dan tentunya tidak semua strategi itu relevan sehingga perlu adanya penyesuain-penyasuain dengan masa kini.
  1. PENUTUP
Sebagai penutup makalah ini, penulis akan menyampaikan kesimpulan dari uraian di atas. Berdasarkan uraian makalah di atas maka dapat kita simpulkan bahwa bagi orang Jawa internalisasi nilai dilakukan secara terintegrasi sehingga setiap hal dalam kehidupan orang jawa selalu mengandung makna dan nilai di dalamnya bahkan huruf abjad sekalipun. Penyampaian moral ataupun nilai-nilai terkadang juga disampaikan dalam bentuk kesenian. Hampir seluruh kesenian baik dari seni sastra, seni musik, seni pedalangan, seni suara ataupun seni ukir semua itu memiliki makna dan pesan yang adiluhung. Inilah keunggulan seni dan budaya Jawa. Aspek nilai tidak bisa ditinggal dari setiap aktivitas orang Jawa.
Demikianlah uraian makalah ini, mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
 Astiyanto, Heniy,2006.Filsafat Jawa : Menggali Butir-Butir Kearifan Lokal .Yogyakarta : Warta Pustaka,
Endraswara, Suwardi, 2006. Filsafat Kejawen Dalam Aksara Jawa. Yogyakarta : Gelombang Pasang,
-------------  , 2006. Falsafah Hidup Jawa.Yogyakarta: Cakrawala
Koentjaraningrat, 1996. Pengantar Antropologi 1. Jakarta : PT. Rieneka Cipta
Mangkunegara IV, Wedhatama Jinarwa . Surakarta : Cendrawasih
Wulangreh Yasan-Dalem Sri Susuhunan Pakubuwana IV. Surakarta : Cenrawasih
           


[1] Suwardi Endraswara, Filsafat Kejawen Dalam Aksara Jawa. (Yogyakarta : Gelombang Pasang, 2006) hal.136
[2] Suwardi Endrawara, Falsafah Hidup Jawa (Yogyakarta: Cakrawala, 2006) cet ke II hal 24.
[3] Mangkunegara IV, Wedhatama Jinarwa (Surakarta : Cendrawasih) hal. 5
[4] Wulangreh Yasan-Dalem Sri Susuhunan Pakubuwana IV(Surakarta : Cenrawasih) Hal 3-4
[5] Heniy  Astiyanto, Filsafat Jawa : Menggali Butir-Butir Kearifan Lokal (Yogyakarta : Warta Pustaka, 2006) hal. 13-14
[6] Ibid, hal 16-17
[7] Suwardi Endrawara, Falsafah Hidup Jawa ………. hal 94-95

Tidak ada komentar:

Posting Komentar